Nalar Tradisional Mistik Sasak [Analisis Pengaruh Kultur Sasak Terhadap Penggunaan Kosakata Ayat-Ayat Al-Qur’an]
Muhammad Syafirin, Ahad, 05 Desember 2021
Beberapa minggu yang lalu, saya mendapat sebuah pertanyaan dari seorang sahabat yang kebetulan juga mahasiswa ushuluddin seperti saya, dia bilang, ‘mengapa belian (dukun) Sasak di Lombok sering menggunakan ayat-ayat al-Qur’an secara inkonsistensional dalam praktik pengobatan tradisionalnya? Atinya ayat-ayat yang digunakan untuk menjampi itu terkadang tidak memiliki hubungan dan keterkaitan makna apapun dengan persoalan yang terjadi. Tetapi ajibnya mujarob juga!’. Lalu saya katakan, persepsi Anda benar, dan memang hal itu patut dicengangkan! Kita sering menyaksikan beberapa kenyataan absurd yang mengejutkan, seperti luka dengan kucuran darah yang dapat dihentikan seketika, belum lagi insiden patah tulang, bisul tumor, dan lain sebagainya yang mampu diatasi dengan jampi-jampi pelingsir Sasak.
Saya akan mencoba menjawab pertanyaan di atas menggunakan lensa kultural Sasak dan sudut pandang normatif, karena menurut saya, pertautan antara kultur budaya—dalam hal ini dialek bahasa—dengan nilai-nilai normatif masyarakat Sasak sendiri, melahirkan paradigma baru terhadap penggunaan kosa kata dalam ayat-ayat al-Qur’an. Di samping itu, sisi historis kebudayaan Sasak juga berperan penting dalam hal ini, sehingga persepsi dari pertanyaan di atas tidak sepenuhnya akan bertolak belakang dengan kenyataan yang berlaku.
Pada poin ini, saya akan menyetir beberapa contoh ayat mistik yang kerap kali digunakan para pelingsir-pelingsir (sesepuh) Sasak sebagai doa/mantra-mantra mereka, terutama dalam praktik pengobatan, untuk ‘sikep’ atau ‘semputer’ area persawahan dan lainnya. Sikep dan semputer sebetulnya memiliki makna yang sama; sebagai ‘pelindung, dan tameng’, namun objek penggunaannya saja yang berbeda. Sikep adalah istilah yang dipakai untuk prisai jasad diri (sikep awak), dan juga sebagai ‘pasek lambah’ pegedengan (baca: rumah), serta ‘pelindung’ kendaraan. Itu sebabnya sikep lebih identik dengan kebendaan, seperti azimat berkah, badik, keris, tombak, klewang, sabuk keramat, atum sakti dan banyak lagi lainnya. Sedangkan semputer biasanya berupa mantra-mantra ‘lelakaq’ (berupa lirik syair dan pantun), atau berupa asma’ dari ayat-ayat Qur’an maupun doa-doa keramat peninggalan para leluhur Sasak.
Pada tahun 2017 lalu, ini kisah nyata, saya pernah mengikuti tirakat ‘tongkat pituk’ (tongkat tujuh) bersama garda inti pasukan Hizbullah yang dilaksanakan di Aikmel Utara setiap malam Rabu selama tujuh minggu. Setelah tirakat ‘tongkat pituk’ tersebut memasuki minggu ketujuhnya, saya bersama anggota lainnya diijazahkan dua buah asma’ ayat al-Qur’an oleh seorang guru ‘tongkat pituk’ tersebut. Asma’ pertama, katanya, berkhasiat untuk mengobati dan menghentikan luka yang mengucurkan darah, sedangkan asma’ yang kedua khasiatnya untuk memagari (nyemputer) area persawahan. Waktu itu saya memang sempat bertanya dalam hati, apa kaitannya ayat ini dengan luka darah atau persawahan? Sama sekali tidak memiliki keterkaitan antara tujuan teks dengan persoalan yang terjadi. Namun ternyata, selang 5 bulan kemudian, tepat di waktu Ahad pagi, ketika saya sedang mengaji kitab Shahih Muslim di salah satu Kiyai sepuh NW bernama TGH. Solehuddin Ishak (Abah Soleh), terdengar satu qaul dari beliau yang, bagi saya, merupakan jawaban dari kegelisahan saya di atas. Beliau mengatakan, “Khuz minhu (al-Qur’an) mā syi’ta limā syi’ta”, artinya ‘ambil apa saja yang kamu mau dari al-Qur’an untuk apa saja yang kamu mau’.
Setelah saya teliti qaul ini, ternyata oleh sebagian kalangan ini dianggap sebagai hadits, tetapi mayoritas menyebutnya pernyataan ulama. Akan tetapi, terlepas apakah ini hadits atau tidak, yang jelas qaul ini telah menginspirasi banyak kaum muslimin sedunia, terutama dalam dimensi mistik kemujarobatan. Sehingga seseorang yang sebelumnya, hanya memakai ayat-ayat syifa’ yang skopnya ekslusif berdasarkan petunjuk Nabi, berubah menjadi bebas dan inklusif; sesuai dengan selera dan dzauq masing-masing. Inilah yang barangkali menurut saya telah melatarbelakangi perubahan mindset berpikir pelingsir-pelingsir Sasak masa dulu dalam memetik ayat Qur’an sebagai mantra dan jampi mujarobat, di samping juga atas pengaruh kultur bahasa dan dialek masyarakat Sasak pada masa-masa awalnya berinteraksi dengan bahasa al-Qur’an.
Sebagai contoh misalnya, asma’ pertama yang sangat fenomenal digunakan untuk mengobati dan menyetop pendarahan, yaitu ayat ke-72 QS. al-Baqarah [2]. Berikut ayatnya:
وَاِذْ قَتَلْتُمْ نَفْسًا فَادّٰرَءْتُمْ فِيْهَا ۗ وَاللّٰهُ مُخْرِجٌ مَّا كُنْتُمْ تَكْتُمُوْنَ ۚ
Artinya, “(Ingatlah) ketika kamu membunuh seseorang lalu kamu saling tuduh menuduh tentang itu. Akan tetapi, Allah menyingkapkan apa yang selalu kamu sembunyikan.”
Konteks ayat ini sama sekali tidak membicarakan persoalan sakit apalagi luka berdarah, tetapi mendeskripsikan sikap batin serta keculasan orang-orang Yahudi, (Tafsir al-Mishbah, vol. I, 228). Tetapi saya bisa menangkap satu signifikasi pada ayat ini yang, bagi saya, bisa dipersepsikan sebagai nalar tradisonal para pelingsir Sasak masa dulu saat pertama kali mengkaryakannya sebagai mantra/jampi pengobatan; yaitu pada kata ‘faddāra’tum’. Menurut saya kuncinya ada pada kata ini. Walaupun terjemah teksnya sangat rival dengan insiden luka darah, tetapi secara verbal (oral text) memiliki kaitan erat dengan kultur dialek masyarakat Sasak. Untuk menyebut luka berdarah, orang Sasak berkata luka bedara’ (dara’: darah), dan secara faktual kata dara’ ini terhimpit antara huruf fa’ dan dhamir ‘tum’ pada kata ‘faddāra’tum’ di atas, sehingga hal ini dapat memungkinkan alasan yang kuat bagi para pelingsir Sasak untuk menjadikan ayat 72 al-Baqarah di atas sebagai ayat jampi pengobatan luka darah atau dara’.
Kemudian mantra kedua yang populer dijadikan sebagai ‘sikep’ atau ‘semputer’ persawahan. Ayat yang sering dipakai adalah QS. al-Baqarah [2]: 7 sebagai berikut:
خَتَمَ اللّٰهُ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ وَعَلٰى سَمْعِهِمْ ۗ وَعَلٰٓى اَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَّلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ ࣖ
Artinya, “Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka. Pada penglihatan mereka ada penutup, dan bagi mereka azab yang sangat berat.”
Ayat ini mencitrakan orang-orang kafir yang telah tertutup hatinya dari hidayah Allah. Tetapi kenapa lantas kemudian dipakai sebagai mantra nyemputer sawah? Jawaban saya ada dua, pertama, karena adanya penekanan makna hati terkunci, pendengaran tuli dan peglihatan tertutup, dengan tujuan agar siapa saja yang mencuri hasil persawahan akan merasakan demikian. Kedua, karena ada kata “Sawah” di situ. Kata ‘sawah’ memang bukan bagian dari kosakata Sasak, melainkan bahasa persatuan nasional, dan jauh sebelumnya orang Sasak sudah menggunakan istilah ‘Bangket’. Tentunya kata ‘sawah’ ini baru diketahui masyarakat Sasak setelah mereka akrab dengan bahasa persatuan Indonesia. Maka menurut saya, ilmu semputer ini lahir dan hadir belakangan dibanding ilmu jampi dara’ sebelumnya, sebab jika melihat pernyataan Sven Cederroth dalam bukunya Prof. Jamaluddin, yang menetapkan kedatangan Sunan Prapen membawa misi Islam ke Lombok sejak tahun 1545 M (Sejarah Islam Lombok Abad XVI-XX, 17), maka dapat dipastikan bahwa masyarakat Sasak jauh berabad-abad sebelumnya telah mengenal dan berinteraksi dengan kosakata-kosakata al-Qur’an dibandingkan dengan bahasa persatuan Indonesia.
Adapun asma’ ketiga, dan ini pembahasan terakhir saya, adalah ilmu ‘perendoh buak’ atau ilmu pematang buah. Mantranya sederhana, dan pendek, yaitu “wal yatāma wal masākīn”. Mantra ini konon sering dipakai pelingsir dahulu untuk merenduh buah pisang, pepaya, mangga dan lainnya dengan cara membuat lubang dengan kedalaman sekitar 1 hasta lalu kemudian memasukkan buah-buah tersebut ke dalam lubang itu sambil mengkomat-kamitkan mantra ini. Mantra ini diambil dari potongan ayat al-Qur’an, namun tidak ada kepastian sumber darimana pengambilan ayat dan surahnya. Tetapi bila dilacak dalam al-Qur’an, kalimat “wal yatāma wal masākīn” tidak lebih dari tujuh macam terdapat dalam al-Qur’an, dan komplit ayatnya cukup panjang, tidak seperti asma’ dara’ dan semputer di atas. Sehingga di sini ada kemungkinan bahwa pelingsir Sasak dulu sengaja straight to the point mengambil kalimat-kalimat yang sesuai dengan dialek Sasaknya.
Kalimat yatāma lebih dekat dengan dialek Sasak bagian Timur Tengah; Aikmel misalnya, yang diartikan dengan ‘masuk’. Adapun kalau di bagian Barat, seperti Sakra, Keruak, hingga Praya sana, pengucapan huruf a sering dibaca é, sehingga pelafalan yatāma berubah menjadi yétamé. Selanjutnya kalimat masākīn, ini mirip dengan kata ‘masak’ yang berarti matang. Kalau digabung wal yatāma wal masākīn seolah-olah mengatakan yétamé yé masak, artinya ‘begitu dia masuk dia matang’. Saya merasa pergeseran makna tekstual di sini terjadi cukup menohok. Bayangkan dari wal yatāma wal masākīn yang berarti ‘anak-anak yatim dan orang-orang miskin’, terpaksa melebur diri dalam dialek Sasak menjadi yétamé yé masak ‘dia masuk dia matang’. MasyāAllah ada-ada aja orang Sasak ya! Tapi meski demikian, kita tidak bisa mengingkari eksistensinya memang cukup fenomenal hingga sekarang. Persoalan mujarob atau tidaknya, wallohu a’lam, sebab saya belum pernah mencobanya. Tetapi dengan eksistensi yang begitu lama bahkan telah mengkultur dalam tradisi masyarakat Sasak, pada akhirnya cukup mendukung aspek kemujaroban mantra tersebut.
Mantra-mantra atau ayat jampi Sasak yang teradopsi dari kosakata al-Qur’an sebetulnya tidak hanya terbatas tiga asma’ di atas, namun lebih banyak lagi lainnya yang tidak mungkin untuk dibahas semuanya di sini. Yang jelas, dari sekian mantra-mantra tersebut, esensi nalarnya tetap sama. Nilai normatif yang dipegang para pelingsir Sasak dalam menciptakan mantra dari penggalan-penggalan kata dan ayat-ayat al-Qur’an melahirkan kekuatan mistik yang dahsyat, sehingga hal itu memungkinkan sesuatu yang terlihat spektakuler kendati lehiriah teksnya tidak menghendaki demikian.
Sekian..!
#Salam Literasi Mahasiswa