Transendensi dan Historisitas: Kritik Terhadap Paradigma Pred M. Donner dalam Studi Qur’an
8 mins read

Transendensi dan Historisitas: Kritik Terhadap Paradigma Pred M. Donner dalam Studi Qur’an

Muhammad Syafirin, 29/4/2025

Dalam lanskap akademis kontemporer, ketegangan antara pendekatan historis-kritis dan perspektif teologis dalam studi teks keagamaan telah menjadi arena perdebatan metodologis yang signifikan. Diskursus ini menjadi semakin kompleks ketika berhadapan dengan teks-teks yang dianggap memiliki otoritas transenden seperti Al-Qur’an. Tulisan ini bertujuan menganalisis secara kritis kontribusi Fred M. Donner melalui tulisannya “The Historian, the Believer and the Qur’an” yang dimuat dalam koleksi esai berjudul “New Perspectives on the Qur’an” (2011) yang disunting oleh profesor Gabriel Said Reynolds. Sebagai seorang otoritas terkemuka dalam kajian Islam awal, intervensi Donner dalam perdebatan metodologis ini menawarkan wawasan berharga mengenai kompleksitas epistemologis yang melekat dalam studi Al-Qur’an.

Dalam catatan ini, saya akan mengeksplorasi bagaimana Donner berupaya mendekonstruksi dikotomi tradisional antara perspektif “believer” dan “historian”, menganalisis pendekatan kritisnya terhadap historisitas dan otentisitas Al-Qur’an, serta mengevaluasi kritiknya terhadap aliran revisionis dalam studi Qur’an kontemporer. Lebih jauh, saya juga akan membedah dimensi epistemologis yang terkandung dalam kerangka argumentasi Donner serta melakukan evaluasi kritis terhadap signifikansi intelektual dan limitasi paradigmatik pemikirannya dalam lanskap kontemporer studi Islam.

Konteks Historiografis dan Metodologis

Tulisan Fred Donner hadir dalam konteks perdebatan akademis yang telah berlangsung selama beberapa dekade mengenai pendekatan yang paling tepat dalam mengkaji Al-Qur’an. Dalam tradisi kesarjanaan Barat, terdapat tendensi untuk menerapkan metode historis-kritis yang ketat, yang sering kali menghasilkan kesimpulan yang bertentangan dengan narasi tradisional Islam tentang asal-usul dan transmisi Al-Qur’an. Donner menyoroti problematika fundamental dalam mengkaji teks yang dianggap sakral oleh komunitas Muslim sambil tetap mempertahankan objektivitas metodologis yang dituntut oleh disiplin sejarah modern.

Signifikansi intervensi Donner terletak pada upayanya untuk melampaui pendekatan biner yang telah mendominasi wacana akademis. Ia menawarkan perspektif yang lebih nuansir yang mengakui legitimasi baik pertimbangan historis maupun teologis dalam mengkaji teks keagamaan. Dengan demikian, tulisannya mewakili upaya untuk meredefinisi parameter metodologis dalam studi Al-Qur’an.

Dekonstruksi Dikotomi “Believer” dan “Historian”

Salah satu kontribusi paling signifikan dari Donner adalah kritiknya terhadap pembagian kaku antara pendekatan “believer” (penganut agama) dan “historian” (sejarawan) yang sering menjadi asumsi dalam kajian akademis. Donner secara meyakinkan berargumen bahwa polarisasi ini secara fundamental tidak produktif dan cenderung menyederhanakan kompleksitas diskursus intelektual. Ia menantang asumsi bahwa agnostisisme metodologis secara otomatis menghasilkan objektivitas ilmiah—suatu pandangan yang telah lama menjadi dogma dalam tradisi kesarjanaan positivistik.

Menurut Donner, baik pendekatan “believer” maupun “historian” sama-sama dipengaruhi oleh asumsi epistemologis yang tidak selalu diakui secara eksplisit. Perspektif “believer” berangkat dari keyakinan a priori tentang asal-usul ilahiah Al-Qur’an, sementara pendekatan “historian” sering kali didasarkan pada skeptisisme metodologis yang juga merupakan posisi epistemologis tertentu. Dengan mengidentifikasi bias yang melekat dalam kedua pendekatan tersebut, Donner berhasil mendekonstruksi dikotomi yang telah lama menghalangi dialog produktif antara tradisi kesarjanaan yang berbeda.

Meski demikian, kelemahan signifikan dalam konstruksi argumentasi Donner adalah ketidakmampuannya untuk mengartikulasikan secara jelas bagaimana pendekatan “middle ground” (‘jalan tengah’) yang ia usulkan dapat dioperasionalisasikan tanpa mengorbankan aspek metodologis tertentu. Tanpa kerangka praktis yang konkret, visinya tentang integrasi perspektif tetap pada tingkat teoritis dan sulit untuk diimplementasikan dalam praktik penelitian aktual.

Historisitas dan Otentisitas Al-Qur’an

Kekuatan utama analisis Donner terletak pada kemampuannya untuk menelaah bukti historis tentang Al-Qur’an dengan tingkat nuansa yang jarang ditemui dalam diskursus akademis. Berbeda dengan pendekatan revisionis radikal yang meragukan historisitas tradisional Al-Qur’an, atau pendekatan tradisionalis yang menerima narasi klasik tanpa kritik, Donner menawarkan evaluasi yang lebih seimbang terhadap bukti yang tersedia.

Dalam tulisannya, ia menyajikan bukti material dan tekstual yang mendukung klaim historisitas teks Al-Qur’an dengan cara yang meyakinkan. Ia memberikan perhatian khusus pada temuan epigrafis dan paleografis yang menunjukkan bahwa teks Al-Qur’an telah ada dalam bentuk yang secara substansial mirip dengan versi yang kita kenal saat ini sejak abad pertama hijriah. Namun, Donner tetap kritis terhadap aspek-aspek tertentu dari narasi tradisional, terutama yang berkaitan dengan kronologi pengumpulan dan kodifikasi teks.

Pendekatan Donner yang mengakui kemungkinan otentisitas substansial teks Al-Qur’an, sambil tetap mempertanyakan aspek-aspek kronologis dan kontekstual pengumpulannya, menawarkan keseimbangan yang sulit dicapai dalam studi tekstual Islam. Namun demikian, analisisnya tentang bukti epigrafi dan paleografi masih dapat diperdalam untuk menghasilkan kesimpulan yang lebih kokoh. Keterbatasan ini sebagian mencerminkan kondisi bidang studi pada saat tulisan tersebut diproduksi, di mana sejumlah temuan penting dalam manuskrip Al-Qur’an awal belum sepenuhnya diintegrasikan ke dalam wacana akademis.

Kritik terhadap Perspektif Revisionis

Kontribusi penting lainnya dari tulisan Donner adalah kritiknya yang tajam terhadap pendekatan revisionis radikal seperti yang diadvokasi oleh John Wansbrough dan Christoph Luxenberg. Donner mengidentifikasi kelemahan metodologis dan asumsi problematis dalam argumen-argumen revisionis dengan keahliannya yang mendalam dalam sejarah Islam awal.

Donner secara khusus mengkritik tesis Wansbrough yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah produk evolusi gradual yang mencapai bentuk finalnya pada abad ke-9 Masehi. Menurut Donner, pandangan ini tidak cukup memperhitungkan bukti material yang menunjukkan eksistensi teks Al-Qur’an dalam bentuk yang stabil sejak periode yang lebih awal. Demikian juga, ia menantang metodologi linguistik Luxenberg yang berupaya “menerjemahkan ulang” bagian-bagian Al-Qur’an melalui lensa bahasa Syro-Aramaic, dengan menunjukkan beberapa kelemahan filologis dalam pendekatan tersebut.

Akan tetapi, kritik reflektif perlu diajukan terhadap posisi Donner sendiri: apakah ia tidak terjebak dalam bentuk “middle ground fallacy” dengan mencoba menemukan jalan tengah antara skeptisisme akademis dan penerimaan tradisional? Kritiknya terhadap revisionisme terkadang kurang didukung oleh bukti kontrafaktual yang memadai, seolah-olah posisi moderat secara inheren lebih dapat dipertahankan daripada posisi yang lebih ekstrem. Ini menimbulkan pertanyaan apakah kompromi metodologis yang ia advokasi benar-benar merupakan sintesis yang koheren atau sekadar upaya untuk menghindari kesimpulan yang kontroversial.

Implikasi Epistemologis dalam Studi Teks Keagamaan

Aspek paling menantang dari tulisan Donner adalah eksplorasinya terhadap pertanyaan epistemologis mendasar tentang kemungkinan objektivitas dalam studi teks religius. Ia dengan meyakinkan berargumen bahwa “netralitas” absolut adalah ilusi, karena setiap pendekatan metodologis membawa asumsi filosofis yang melekat. Analisisnya tentang bagaimana politik pengetahuan memengaruhi studi Al-Qur’an sangat insightful dan tetap relevan dalam diskursus kontemporer.

Donner menantang asumsi bahwa pendekatan positivistik secara otomatis menghasilkan pemahaman yang lebih akurat tentang teks keagamaan. Sebaliknya, ia menunjukkan bagaimana skeptisisme metodologis yang berlebihan dapat mengakibatkan kesimpulan ahistoris yang paradoksalnya sama problematisnya dengan penerimaan tradisionalis yang tidak kritis. Dengan demikian, ia berhasil menunjukkan bahwa studi Al-Qur’an, seperti semua upaya intelektual, tidak dapat terhindar dari pertimbangan epistemologis yang lebih luas.

Meskipun Donner mengidentifikasi paradoks metodologis dengan tepat, ia tidak sepenuhnya mengatasi implikasi dari analisisnya sendiri. Pertanyaan tentang bagaimana sejarawan dapat mengakomodasi dimensi transenden dalam kajian teks religius tanpa melampaui batas-batas disiplin sejarah tetap tidak terjawab secara memuaskan. Ini menunjukkan ketegangan yang tidak terselesaikan dalam proyek intelektualnya sendiri—ketegangan yang mencerminkan dilema yang lebih luas dalam studi agama kontemporer.

Kontribusi dan Keterbatasan

Tulisan Donner merepresentasikan upaya intelektual yang serius untuk menjembatani jurang metodologis antara studi Al-Qur’an tradisional dan pendekatan historis-kritis modern. Kekuatan argumentasinya terletak pada penolakannya terhadap dikotomi sederhana dan pengakuannya terhadap kompleksitas epistemologis dalam studi teks keagamaan. Dengan demikian, ia berhasil membuka ruang untuk dialog yang lebih produktif antara tradisi intelektual yang berbeda.

Namun, esai ini memiliki keterbatasan dalam hal solusi praktis yang ditawarkan. Meskipun Donner dengan tepat mengidentifikasi masalah epistemologis dan metodologis dalam studi Al-Qur’an, ia kurang menawarkan kerangka metodologis alternatif yang koheren untuk mengatasi ketegangan yang ia gambarkan. Akibatnya, kontribusinya tetap sebagian besar pada tingkat diagnostik daripada preskriptif.

Terlepas dari keterbatasan tersebut, signifikansi tulisan Donner dalam diskursus akademis tentang studi Al-Qur’an tidak dapat diremehkan. Dengan menantang asumsi metodologis yang dominan dan mengadvokasi pendekatan yang lebih nuansir, ia telah memperkaya pemahaman kita tentang kompleksitas epistemologis dalam mengkaji teks yang berfungsi sekaligus sebagai sumber sejarah dan pedoman iman. Dalam era yang ditandai oleh polarisasi metodologis yang semakin meningkat, intervensi Donner mengingatkan kita pada pentingnya refleksi kritis tentang asumsi epistemologis kita sendiri dan kemungkinan dialog yang produktif di luar batas-batas tradisional.

 

Sumber: Fred M. Donner, “The Historian, the Believers and the Qur’an,” dalam Gabriel S. Reynolds, New Perspevtives on the Qur’an (London: Routledge, 2011), 25-37.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *