
Islam Fundamental Vis a Vis Islam Tradisional: Sejauh Mana?
Muhammad Syafirin, 2/1/25
Esai ini sebetulnya adalah refleksi saya beberapa tahun silam yang naskahnya saya tulis tangan di buku harian (diary) saya. Kontennya memang cukup “lapuk” jika melihat konteks dinamika yang tengah berkembang hari ini—dan sejujurnya saya sendiri kurang setuju dengan beberapa poin gagasan dari catatan itu, tapi setidaknya ini sebagai gambaran bahwa wacana semacam ini pernah menjadi kegelisahan serius bagi seorang pembelajar “gamang” seperti saya.
Diskursus tentang al-fikr al-islami dalam konteks masyarakat Muslim Indonesia merupakan satu persoalan yang selalu menarik untuk didiskusikan. Islam Indonesia yang realitasnya sangat plural dan varied dengan kekhasan serta keunikannya (Einzigartigkeit) masing-masing, telah membentuk dialektika historis yang terus berkembang dan eksis sampai saat ini.
Dalam konteks Islam di Indonesia, saya membagi corak keberislaman—ditinjau dari ekspresi religius para penganutnya—dalam empat kluster utama. Pertama, corak Islam tradisionalis, yaitu corak keberislaman yang mengintegrasikan nilai-nilai agama dengan tradisi lokal yang telah terlestari sejak sebelum datangnya Islam ke bumi Nusantara. Tentu saja ciri-cirinya bisa bermacam-macam. Corak keberislaman semacam ini tergambar antara lain melalui beberapa ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU), Nahdlatul Wathan (NW), organisasi tarekat-sufi dan lain-lainnya. Sebagaimana kita tahu, ormas-ormas ini memiliki atensi yang kuat dalam melestarikan nilai-nilai tradisional dan warisan leluhur masa lalu yang relevan dengan ajaran Islam.
Kluster kedua, yaitu corak Islam fundamentalis. Kelompok yang tergolong dalam kategori ini biasanya memiliki ciri-ciri: mengajak masyarakat atau pengikutnya untuk kembali kepada nash al-Qur’an dan Sunnah Nabi serta menolak pembauran antara ajaran Islam dengan budaya lokal. Selain itu, gerakan purifikasi (pemurnian) dan penolakan keras terhadap arus westerniasasi (pembaratan) maupun sekularisasi merupakan bagian yang inheren dari kelompok ini. Bahkan, pada taraf tertentu (meski tidak keseluruhan) ada yang terjerumus kepada radikalisme. Di Indonesia, kelompok Islam fundamental biasanya diasosiasikan kepada kelompok Salafi-Wahabi, kelompok HTI dan yang sepaham dengan mereka.
Adapun kluster ketiga, yaitu corak Islam rasionalis-modernis. Kelompok ini biasanya terdiri dari jajaran akademisi dan kaum intelektual yang memiliki pandangan progresif terhadap Islam. Pada satu sisi, kelompok ini menekankan perlunya permurnian terhadap ajaran agama dari penyakit TBC (Thagut, Bid’ah, dan Churafat) termasuk tradisi lokal yang dianggapnya bertentangan dengan spirit ajaran Islam. Namun, kelompok ini berbeda dengan kelompok kedua sebelumnya. Jika kelompok fundamentalis lebih cenderung memahami teks-teks agama secara literal, harafiah, skripturalistik, parochial bahkan eksklusif, maka kelompok rasionalis-modernis bersikap sebaliknya. Mereka memiliki sikap yang terbuka, inklusif, dan juga kontekstual. Bahkan, mereka tidak “alergi” terhadap tawaran metodologi-metodologi yang lahir dari rahim pemikiran Barat, di mana hal tersebut adalah aspek yang sangat dibenci dan ditolak keras oleh kaum fundamentalis.
Saya kira, kelompok yang menjadi bagian dari kategori ketiga ini adalah mereka yang masuk dalam jajaran Islam liberalis, Islam progresif—atau katakanlah, Islam berkemajuan sebagaimana yang senantiasa digaungkan almarhum Buya Syafi’i Ma’arif.
Kluster yang terakhir, keempat adalah corak Islam mistik-heretic. Kelompok yang masuk kategori ini sebetulnya paling rendah kuantitas praksisnya. Namun demikian, eksistensi mereka tidak bisa dinafikan begitu saja. Dalam beberapa hal, kelompok ini memiliki kesamaan dengan kelompok pertama (Islam tradisionalis), misalnya tahlilan, atau ziarah kepada kubur para wali-wali keramat. Hanya saja, mereka tidak terpaku pada aspek ritualistik, seperti melakukan shalat fardu dengan cara kaum Muslim shalat pada umumnya (dengan melibatkan anggota badan).
Biasanya kelompok ini terdiri dari kalangan yang menekuni ajaran kebatinan (bukan tashawwuf ya!). Mereka tidak shalat seperti kita. Shalat bagi mereka adalah aktifitas “ingat” itu sendiri. Bertafakkur dan mendawam zikir di dalam hati adalah wujud dan esensi dari shalat menurut mereka. Sehingga, ketika rasa ingat dan tawajjuh kepada Allah sudah terpatri dalam diri mereka, maka shalat badaniah tidak relevan lagi. Kelompok mistik-heretic ini biasanya banyak terdapat di kawasan pedalaman atau di pelosok-plosok desa yang jauh dari kehidupan urban perkotaan. Mayoritas para pesuluknya juga terdiri dari orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan agama secara mendalam.
Terlepas dari perbedaan itu semua, yang ingin saya singgung dalam catatan ringkas ini adalah pergelutan panjang yang terjadi antar kelompok-kelompok tersebut. Dari keempat kluster yang saya sebutkan di atas, benturan-benturan dan gesekan-gesekan narasi yang berujung pada pertikaian intersektarian, itu lebih sering dimunculkan oleh kluster pertama dan kedua. Transformasi ajaran-ajaran agama yang dikonstruksikan keduanya, pada dasarnya, memiliki trayek ideologis yang tidak berbeda sama sekali dalam dua karpet sudut pandang. Demikian juga berbagai kontras wacana yang kita saksikan sampai saat ini, bagaikan mempersaingkan dua bayang dalam satu entitas yang sama. Jika sesuatu yang mereka perjuangkan adalah barang yang sama secara definit, lalu mengapa dua kelompok tersebut belum juga siuman dan akur satu sama lain??
Lalu pertanyaannya, apa “sesuatu” yang tidak berbeda sama sekali itu? Sesuatu itulah yang saya sebut sebagai sikap ekstrem sektoral monolitik. Ya! Secara jujur harus saya katakan bahwa keduanya sama-sama ekstrem dalam memperjuangkan keyakinan mereka masing-masing. Dan, tampaknya hal semacam itu tak akan pernah ada ujungnya!?