11 mins read

Fitrah sebagai sumber Kepemimpinan Spiritual

Salah satu komponen dasar dari spiritual leadership adalah inner life sebagai sumber intrinsik. Inner life dalam konteks Islam bisa disebut dengan istilah fitrah. Fry (2013) memberikan makna inner life adalah proses memahami dan memanfaatkan kekuatan yang lebih besar dari diri kita sendiri, serta memahami cara memanfaatkan kekuatan tersebut untuk menjalani kehidupan lahiriah yang lebih memuaskan dan utuh. Ia juga berbicara tentang perasaan individu, tentang makna mendasar dari siapa dia, apa yang dia lakukan, dan kontribusi yang dia buat. Kehidupan batin dalam kepemimpinan spiritual adalah pencarian sumber kekuatan yang memicu harapan/iman dalam visi transenden untuk mencintai dan melayani orang lain. Ini mencakup praktik pribadi seperti meditasi, do’a, praktik keagamaan, yoga, jurnal, berjalan di alam, dan konteks organisasi misalnya ruang untuk keheningan dan refleksi batin untuk membantu individu menjadi lebih sadar diri dan sadar dari waktu ke waktu dan menarik kekuatan dari keyakinan dia. Karena itu, inner life dinilai dan telah dibuktikan menjadi sumber kepemimpinan spiritual.

Komponen inner life merefleksikan bagian-bagian terdalam diri seseorang tentang perasaan, intuisi, nilai-nilai, keyakinan, kepribadian, pikiran, emosi, fantasi, spiritualitas, hasrat, dan tujuan. Dengan demikian, eksistensi batin diri yang kuat dapat membantu seseorang mengatasi emosi, tetap sadar diri, menjaga kejelasan dan nilai-nilai, dan merasakan tujuan dalam hidup. Ini juga dapat membantu seseorang tetap tenang dan tangguh dalam menghadapi kesulitan. Secara pysikologi, manusia yang tidak memperoleh kebutuhan intrinsik cendrung menjadi gelisah, tidak puas dan tidak stabil dalam menjalani kehidupan. Atau balance antara dimensi batin dan luar batin terganggu juga akan melahirkan sikap kegelisahan dan ketidakpuasaan. Karena itu sebesar apapun kebutuhan non batin tercukupi tetap saja manusia akan merasa tidak pernah cukup dalam kehidupan ini. Karena itu kehidupan batin berbicara tentang siapa sebenarnya diri ini dan apa tujuan hidup ini?

Dalam tulisan ini, inner life ditransposisi ke konteks kepemimpinan Islam lebih mendekati dengan sebutan fitrah (Egel, et al, 2017). Karena inner life tentang menjawab siapa manusia, apa tujuan mereka hidup, dan apa peran mereka? Berbagai definisi tentang fitrah dari para peneliti misalnya, pandangan Shihab tentang al Qur’an surat Rum [30]: 30) mengatakan bahwasanya fitrah adalah suatu sistem atau tata kerja yang diciptakan oleh Allah SWT kepada makhluk ciptaannya dari pertama kejadian makhluk tersebut diciptakan sehingga menjadi bawaan, inilah yang disebutnya dengan arti asal kejadian atau bawaan sejak lahir (Oktori, 2021). Fitrah yaitu kemampuan dasar atau pembawaan. Ia merupakan sistem aturan atau potensi yang diciptakan kepada setiap makhluk sejak keberadaannya baik dia makhluk manusia atau lainnya. Makna fitrah dapat dipandang dalam dua sisi, dari bahasa dimaknai dengan kecenderungan bawaan alamiah manusia dan dari agama yaitu bawaan sejak lahir manusia memiliki fitrah beragama tauhid yakni mengakui ke-Esa-an Tuhan (Miftah, 2020).

Pada awal penciptaan manusia dengan jelas al-Qur’an surah Al-Araf, 7:172 menunjukan bahwa  ada proses dialog antara manusia dan Pencipta Alloh SWT. Dialog yang mendeskripsikan sebuah kesaksian manusia atau sebuah pengakuan manusia [sumpah atau janji] bahwa Tuhan itu Esa. Janji dengan Tuhan adalah janji tentang ke-tauhid-an di mana manusia dituntut untuk terus mengesakan-Nya dan selalu untuk berada di jalan-Nya. Atas kesanggupan ini, maka Alloh SWT tiupkan ruh kepada manusia [saat itu masih dalam bentuk daging yang berada di dalam kandungan ibunya selama kurang lebih selama 9 bulan), dan dilahirkan ke muka bumi ini dalam kondisi yang bersih, suci, lurus [tanpa dosa], dan sebaik-baik ciptaan-Nya (QS, surah At Tin, 95:4).

Agar kehidupan manusia tidak sia-sia tetapi harus mengikuti keteraturan dan jalan yang lurus (sirat), Alloh SWT bekali manusia dengan anugrah aqal untuk memutuskan mana yang benar menghasilkan kebaikan dan salah menghasilkan keburukan (haqq dan bathil) sebagai bentuk keistimewaan sekaligus distingsi dengan makhluk lain. Dengan aqal, manusia memiliki pengetahuan dan dengan pengetahuan manusia bisa membedakan mana yang harus diikuti dan dijauhi (al Qur’an, surat al Isra’, 35-37). Manusia diingatkan akan implikasi janji awal pasca lahir sekaligus pembuktian komitmen manusia yaitu Alloh SWT menciptakan manusia dengan tujuan agar manusia mengabdi kepada Nya. Dalam konteks ini, peneliti lebih cendrung memilih term “abdi”-“mengabdi” daripada term “ibadah”-“beribadah” merujuk pada al Qur’an surah Adz-Dzaariyaat, 51:56 dan surah al Baqorah, 2:21. Dengan manusia mengabdi maka implikasinya adalah melakukan segala yang diperintahkan dan menjauhi segala yang dilarang (taqwa) oleh Alloh SWT.

Untuk membuktikan manusia sebagai makhluk ciptaan yang sebaik-baik ciptaan di antara ciptaan lainnya bahkan Malaikat diminta sujud kepada manusia sebagai bentuk penghormatan (al Qur’an surat al A’raaf, 11), di saat makhluk lain tidak ada yang sanggup menerima amanah (al Qur’an, surah al-Ahzab; 22:72), Alloh SWT memberikan penghargaan berupa amanah menjadi khalifah di muka bumi ini. Dengan demikian, manusia dihadapan Alloh sebagai abdi, dan di antara manusia dan makhluk lainnya di muka bumi sebagai khalifah bagi dirinya, keluarga, masyarakat, negera dan lingkungan. Sebutan khalifah menunjukkan sebuah peran atau jabatan manusia untuk mengelola dunia dan isinya dengan modal akal.  Sementara itu, istilah khalifah telah banyak disebutkan di beberapa ayat dalam al Qur’an dengan konteks yang beragam, misalnya al Qur’an surah al Baqorah, 2:30. Kata khalīfah (QS, Fathir ayat 39) memiliki makna pengganti (QS, Yunus 10:43), pemimpin (QS, Yunus ayat 73), penguasa (QS, al-An’am 6:165), atau pengelola alam semesta. Jika menganalisis alur deskripsi penciptaan manusia di atas dalam menempatkan fitrah sebagai sumber kekuatan kepemimpinan spiritual, maka peneliti mengambil posisi mengamini transposisi inner life dalam konteks Islam dengan istilah fitrah oleh Egel dan Fry (2016) dengan perspektif yang berbeda. Egel sendiri menjelaskan term fitrah menggambarkan rasa keterhubungan bawaan dengan Tuhan. Hubungan ini ada karena Allah telah menghembuskan ruhnya (ruh) ke dalam manusia. Tanpa hubungan ini, manusia hanya mementingkan kepentingan diri sendiri, cenderung melakukan tindakan jahat, dan tidak mampu memenuhi tujuan mereka di bumi. Untuk menjaga kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari, umat Muslim menggunakan praktik yang penuh perhatian.

Dalam konteks tulisan ini, fitrah adalah roadmap dan atau blueprint dari prototype kepemimpinan ideal secara global. Ia menggambarkan sebuah proses prosedural yang komprehensif melalui dialog antara Tuhan dan manusia tentang sebuah hakikat kepemimpinan, di mulai dari adanya kesanggupan, kesiapan, pengakuan manusia tentang ke-Tauhid-an. Pengakuan ini (janji atau sumpah) menjadi urgen agar kelak manusia tidak lalai menjalankan peran dan menyalahkan orang lain. Kesanggupan ini juga sebagai bentuk kontrak perjanjian manusia yang harus dijaga ketika masuk pada tahap implementasi sebagai “abdi” dan menunaikan peran khalifah pada level diri sendiri, keluarga dan sosial serta lingkungan yang lebih luas. Dengan demikian, jika fitrah dalam konteks kepemimpinan spiritual benar-benar berfungsi dalam tingkat pengetahuan dan kesadaran seorang pemimpin maka akan melahirkan kepemimpinan spiritual berbasis pada nilai, sikap dan prilaku yang berkualitas dan ideal.

Oleh karena itu, fitrah manusia adalah tentang sebuah keyakinan akan ke-Esa-an Alloh SWT. Ini berarti ada pengakuan dan sumpah manusia (QS: 7: 172) sebelum ditiupkan roh oleh Alloh SWT (QS: 38:72) sekaligus sebagai pembuktian bahwa hanya manusialah yang berani menerima amanah sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi ini (QS. Al-Baqarah Ayat 30). Pengakuan akan ke-Esa-an Tuhan mengindikasikan adanya Islam dalam diri setiap diri manusia secara universal.

Manusia menjadi khalifah (pemimpin) bermakna mengelola isi bumi. Menjadi pemimpin meliputi mengelola dirinya (self), keluarga (family), komunitas sosial atau organisasi sosial (social), dan lingkungan (environment). Menjadi pemimpin adalah amanah yang harus ditunaikan dan mengandung perintah wajib bagi manusia. Ketentuan ini merupakan fitrah manusia itu sendiri. Fitrah manusia bukan tentang potensi manusia, tetapi fitrah merupakan Islam (bukan agama Islam) yang bersifat transenden dalam diri manusia. Manusia diciptakan karena kesanggupan manusia itu sendiri menjadi khalifah (mengelola bumi dan seisinya) dengan bekal anugrah akal yang makhluk lain tidak miliki, dan memposisikan manusia menjadi pemimpin pada dasarnya sedang menjalankan perannya sebagai khalifah dan abd. Ini merupakan sumber motivasi intrinsik seorang menjadi pemimpin dalam konteks kepemimpinan spiritual.

Dalam menerapkan perannya sebagai khalifah (pemimpin), manusia kadang berlebih-lebihan bahkan bertindak zolim. Karena itu manusia diberikan batasan-batasan oleh Alloh SWT dengan kembali ke fitrah manusia itu sendiri. Sederhananya, fitrah tentang ke-Tuhan-an atau Islam (bukan agama) dalam diri setiap manusia. Fitrah manusia tentang ke-Tuhan-an atau Islam (bukan agama) dalam diri setiap manusia. Sebagai pemimpin, manusia lahir dari fitrahnya yaitu iman dan Islam, dan kemudian dalam praktik kepemimpinannya sampai berakhir tetap kembali ke fitrahnya yaitu muslim. Transposisi inner life menjadi fitrah dalam konteks kepemimpinan spiritual Pesantren dinilai paling mendekati makna inner life itu sendiri berdasarkan pemaknaan perspektif emik komunitas Pesantren. Fitrah menggambarkan rasa keterhubungan bawaan dengan Tuhan (lihat Tabel1). Hubungan ini ada karena Allah telah menghembuskan ruhnya (ruh) ke dalam manusia. Tanpa hubungan ini, manusia hanya mementingkan kepentingan diri sendiri, cenderung melakukan tindakan jahat, dan tidak mampu memenuhi tujuan mereka di bumi. Menjaga kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari melalui taffakur, menunaikan rukun Islam, zikir, , afakkur(refleksi) (2:66, 3:13, 59:21) Contoh: Rukun Islam yang Lima (2:183, 2:197, 9:103, 20:14, 29:45) Zikir(keadaan kehadiran/kesadaran akan Tuhan bila tidak doa dilakukan) (4:103, 24:37, 33:41, 63:9). Hasil: takwa(keadaan hubungan dengan Tuhan: akal bahwa Dia selalu mengawasi) (2:177, 49:13, 53:32); khusho (keadaan perhatian yang meliputi kesabaran, ketenangan, ketentraman, ketentraman, martabat, dan kerendahan hati) (39:23, 33:35, 8:45, 13:28, 89:27–28).

Karena itu, Fitrah berkerja sebagai sumber intrinsik kekuatan kepemimpinan spiritual. Kesadaran dan pengetahuan eksistensi fitrah dari seorang pemimpin dapat ditemukan dari kehidupan sehari-hari yang selalu merujuk atau bersandar kepada Alloh SWT melalui al Qur’an dan hadist, dan aktualisasi 5 pilar Islam meliputi rutinitas ibadah sehari-hari menjadikan batin dan qalbu tenang dan selalu optimis. Sikap mental dari spiritual leadership yang ditunjukkan melalui rasa syukur dalam kondisi apapun. Rasa syukur tidak saja dalam bentuk ucapan (lafazd alhamdulillah), tetapi indikator bentuk pengakuan, penghargaan, dan keta’atan terhadap kehendak Allah SWT. Dengan kata lain, sikap syukur manusia merupakan bentuk ucapan terima kasih manusia kepada Alloh SWT yang ditunjukkan berdasarkan iman (QS. Al-Baqarah Ayat 152) atas pemberian amanah sebagai “khalifah” (mengelola bumi dan isisnya). Pernyatan lain, syukur ialah terlihatnya pengaruh nikmat Allah Ta’ala pada lisan hamba-Nya dalam bentuk pujian, pada hati dalam bentuk pengakuan, dan pada anggota badan dalam dimensi ketaatan atau kepatuhan. Maksudnya ialah membalas nikmat Allah Ta’ala dengan cara ucapan, perbuatan, dan disertai dengan niat untuk selalu mengingat-Nya (Zaman, et al 2023). Dengan kata lain, syukur adalah menunjukkan adanya nikmat Allah pada dirinya. Dengan melalui lisan, yaitu berupa pujian dan mengucapkan kesadaran diri bahwa ia telah diberi nikmat. Dengan melalui hati, berupa persaksian dan kecintaan kepada Allah. Melalui anggota badan, berupa kepatuhan dan ketaatan kepada Allah SWT.

Sikap syukur disandarkan pada nilai-nilai agama, sifat para Nabi (QS Al Isra : 3, QS An Nahl : 120-121), dan mengajarkan kepada para santri, guru dan masyarakat melalui praktik dalam kehidupan sehari-hari dan kegiatan pengajian agar selalu mensyukuri segala nikmat yang diberikan oleh Alloh SWT (QS, surah Ibrahim, 7). Sesuai pernyataan Shihab (2002) yaitu syukur mencakup tiga sisi yaitu syukur dengan hati tentang kepuasaan batin atas anugerah, syukur dengan lidah tentang mengakui anugerah dan memuji pemberi-Nya, dan syukur melalui perbuatan tentang memanfaatkan anugerah yang diperoleh sesuai dengan tujuan penganugerahan-Nya. Bersyukur adalah wajib bagi manusia khsusunya bagi Muslim karena merupakan salah satu perintah Allah SWT (QS An Nahl : 114). Bahkan filosof Immanual Kant (1996) mencirikan rasa syukur sebagai “kewajiban” dan rasa tidak berterima kasih sebagai “menjijikkan”. Dalam konteks kepemimpinan spiritual, maka sikap syukur seseorang akan berimplikasi pada kondisi yang selalu mengingat dan mengakui Nikmat Allah SWT (QS Fathir : 3), pengakuan atas kesempurnaan Allah SWT (QS Ad Dzaariyat : 21), terjaga dari prilaku sombong (QS An Nahl : 78), memberikan kebahagiaan hidup  (QS Thaahaa : 130), dan menciptakan hati jernih dan pikiran sehat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *