Diskursus Asbāb al-Nuzūl Perspektif Kesarjanaan Revisionis (Rekonstruksi Pemikiran Andrew Rippin)
12 mins read

Diskursus Asbāb al-Nuzūl Perspektif Kesarjanaan Revisionis (Rekonstruksi Pemikiran Andrew Rippin)

Asbāb al-Nuzūl: Diskusi yang Belum Usai

Sejak munculnya disertasi doktoral seorang pakar tafsir dari Universitas Victoria, Kanada, Andrew Rippin, “The Quranic Asbab al-Nuzul Material: an Analysis of Its Use and Development in Exegesis” (McGill University, 1981), diskursus kesarjanaan yang menyoal kembali asbāb al-nuzūl sebagai fakta historis yang menjelaskan kronologi ayat-ayat al-Qur’an ataukah bagian dari kesenjangan tafsir, menemukan momentumnya. Tentu saja Rippin bukan satu-satunya yang menyuarakan tema ini. Pada tahun 1977, John Wansbrough  (gurunya Rippin) juga pernah membahas persoalan yang sama dalam tesisnya Quranic Studies. Wansbrough memperlihatkan  bahwa fungsi utama asbāb al-nuzūl dalam tradisi penafsiran al-Qur’an adalah sebagai “halakhik”, sebuah istilah yang dikenal dalam tradisi Yahudi yang merujuk pada aspek hukum dalam penafsiran kitab suci.

Di kalangan sarjana Islam kontemporer, persoalan historisitas asbāb al-nuzūl turut mendapat perhatian bukan hanya dari beberapa pemikir Arab modern seperti Ḥassan Ḥanafi, Naṣr Ḥāmid Abū Zayd, Muḥammad Arkoun, tetapi juga dari sejumlah mufasir ternama, baik dari kalangan Sunni maupun Syi’ah. Dari kalangan Sunni, misalnya, Ṭahir ibn ‘Āsyūr (w. 1973) mengkritik tindakan mufasir yang seringkali menggunakan riwayat-riwayat lemah dalam penafsiran (lihat, Tafsīr al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, vol. 1: 46). Muhammad Ḥusain Ṭabāṭabā‘ī  (w. 1981) dari kalangan Syi’ah, ia mengklaim bahwa asbāb al-nuzūl itu tidak lebih dari penjelasan teoritis dan bukan peristiwa historis. Kecenderungan para mufasir, kata Ṭabāṭabā‘ī, selalu mengaitkan ayat-ayat dengan peristiwa tertentu agar supaya mudah dipahami (lihat, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān, vol. 5: 285).

Diskusi yang lebih dalam tentang pandangan Ṭabāṭabā‘ī  dijelaskan secara detail dalam artikel M. J. Elmi yang diterbitkan dalam Journal of Shi’ite Islamic Studies, 2006, “The View of Ṭabāṭabā‘ī on Traditions (Ahadits) and Occasions of Revelation (Asbāb al-nuzūl) in Interpreting the Qur’an”. Dalam artikel ini dijelaskan mengapa Ṭabāṭabā‘ī  bersikap skeptik alias meragukan otentisitas asbāb al-nuzūl digunakan sebagai perangkat penafsiran al-Qur’an. Salah satu alasannya, bahwa, dalam periwayatan asbāb al-nuzūl kerap dijumpai kontradiksi dan bahkan inkonsistensi. Misalnya, pada satu ayat tertentu namun memiliki narasi sabab yang tidak sama. Dengan demikian, patut dicurigai bahwa asbāb al-nuzūl memang merupakan produk/bikinan orang belakangan dan tidak terkait dengan konteks historis turunnya ayat-ayat tertentu dalam al-Qur’an. Walaupun narasi-narasi asbāb al-nuzūl dapat dibuktikan, teks-teks al-Qur’an dapat dipahami tanpa merujuk kepada narasi-narasi tersebut. Demikian ungkap Ṭabāṭabā‘ī.

Dari argumen di atas menunjukkan, perdebatan menyangkut historisitas asbāb al-nuzūl dalam konteks penafsiran al-Qur’an memang belum selesai. Melalui tulisan ini, saya akan merefleksikan bagaimana Rippin melanjutkan perdebatan sebelumnya (terutama hasil tesis gurunya, Wansbrough) sembari menawarkan rekonstruksi baru yang dituangkan dalam artikel berjudul The Function of “Asbāb al-Nuzūl” in Qur’anic Exegesis (1988). Dalam artikel ini, Rippin mengajukan sejumlah pertanyaan: Mengapa asbāb al-nuzūl muncul dalam kitab-kitab tafsir seperti al-Ṭabarī misalnya? Apa yang ingin dibangun dari penggunaan narasi itu? Apakah narasi-narasi itu menyediakan konteks historis atau hanyalah bagian dari gaya penafsiran belaka? Atau jika terbukti merupakan tafsir, apakah masuk dalam kategori ‘halakhik’ (hukum) atau ‘haggadik’ (narasi/cerita)?

Watak Asbāb al-Nuzūl: Eksegetikal or Historis?

Rippin dalam artikelnya mengidentifikasi bahwa penggunaan narasi-narasi asbāb dalam berbagai penafsiran al-Qur’an lebih mengarah kepada proyek yang bersifat teologis. Dalam sejumlah kasus, misalnya, para mufasir menambah keterangan riwayat/asbāb tanpa alasan yang jelas, dalam arti mereka mengutipnya tapi kadang tidak menghiraukannya. Rippin dalam hal ini berasumsi bahwa asbāb al-nuzūl memang “sengaja” dikonstruksi dalam literatur-literatur tafsir “karena keinginan umum untuk memberikan konteks sejarah terhadap teks al-Qur’an, sehingga terbuktilah bahwa Tuhan menurunkan kitab suci itu buat manusia di muka bumi”. Secara jelas Rippin katakan: ‘But, addition ally, such reports are cited in these instances, out of a general desire to historicize the text of the Qur’an in order to be able to prove constantly that God really did reveal his book to humanity on earth’ (Rippin, 1988: 2).

Argumen utama yang ingin dikembangkan Rippin dalam artikelnya adalah bahwa asbāb al-nuzūl sejatinya berfungsinya sebagai perangkat eksegesis, bukan bukti historis. Atau, dalam bahasa Rippin, sebagai fungsi ‘penafsiran naratif’ (haggadically exegetical). Terlepas dari genre penafsiran di mana asbab itu ditemukan, yang jelas, menurut Rippin, ia memberikan penjelasan naratif di mana penafsiran dasar dari suatu ayat dapat diwujudkan (lihat h. 3). Artinya, narasi-narasi tersebut dipahami sebagai alternasi menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dimungkinkan muncul karena ketidakjelasan maksud suatu ayat, dan tidak harus dipahami sebagai rujukan historis terhadap peristiwa munculnya suatu wahyu. Untuk membuktikan argumen tersebut, Rippin menganalisis keseluruhan surah al-Baqarah beserta asbāb al-nuzūl-nya. Hampir separuh artikelnya dihabiskan untuk itu. Berikut kita akan mendiskusikan beberapa contoh analisis Rippin di atas.

Pertama, fungsi asbāb al-nuzūl sebagai tafsir ‘masoretic’ (varian bacaan: qirā’ah), sebagaimana terlihat dalam Q. 2: 119:

اِنَّآ اَرْسَلْنٰكَ بِالْحَقِّ بَشِيْرًا وَّنَذِيْرًاۙ وَّلَا تُسْـَٔلُ عَنْ اَصْحٰبِ الْجَحِيْمِ

“Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Nabi Muhammad) dengan hak sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Engkau tidak akan ditanyai (pertanggungjawaban) tentang penghuni-penghuni neraka”.

Kata تسئل (tus’alu) dalam ayat ini, ungkap Rippin, memiliki dua bentuk/varian bacaan dalam literatur qirā’at, yaitu bacaan dalam bentuk pasif (tus’alu) dan imperative (tas’al), keduanya sama-sama memberikan indikasi pada arus penafsiran yang sangat berbeda. Dalam artian, perbedaan tafsir yang lahir sangat bergantung pada sifat masoretic dari sebuah kata/istilah dalam suatu ayat. Dalam konteks ayat ini, dua pola pembacaan di atas dijelaskan melalui asbāb yang berbeda. Rippin mengutip dua riwayat dari al-Wāḥidī dan naskah Berlin (no. 3578) yang konon milik al-Ja‘barī. Riwayat pertama sebagai penjelasan untuk mendukung pembacaan tus’alu: Nabi bersabda: “Jika Allah memperlihatkan kekuatan-Nya kepada orang-orang Yahudi, niscaya mereka akan beriman.” Maka Allah mewahyukan: “Kamu tidak akan ditanyai tentang penghuni neraka!”, yakni, mereka bukan tanggung jawabmu. Sementara riwayat kedua untuk mendukung pembacaan tas’al: Nabi Muhammad Saw. bersabda pada suatu hari: “Seandainya aku tahu apa yang terjadi pada kedua orang tuaku!” Maka turunlah ayat ini, “Janganlah kamu bertanya tentang penghuni neraka!”. Perbedaan redaksi sabab ini, memperkuat dugaan Rippin, bahwa memang narasi-narasi itu tampak ‘sengaja’ dirancang untuk menjelaskan makna yang sesuai (to explicate the appropriate meaning), sekaligus mengonfirmasi pilihan bacaan tekstual. (lihat h. 4).

Kedua, fungsi asbāb al-nuzūl sebagai tafsir etiologis (aetiological exegesis), kasus ini dapat dijumpai misalnya dalam Q. 2: 130:

وَمَنْ يَّرْغَبُ عَنْ مِّلَّةِ اِبْرٰهٖمَ اِلَّا مَنْ سَفِهَ نَفْسَهٗ ۗوَلَقَدِ اصْطَفَيْنٰهُ فِى الدُّنْيَا ۚوَاِنَّهٗ فِى الْاٰخِرَةِ لَمِنَ الصّٰلِحِيْنَ

“Siapakah yang dapat berpaling dari agama Ibrahim, sedang jiwanya tidak dibodohi? Sungguh, Kami telah memilihnya di dunia, dan di akhirat kelak ia termasuk orang-orang yang saleh.”

Mengenai asbāb al-nuzūl ayat ini, Rippin mengutip riwayat dari Suyūṭī, Ja‘barī yang berasal dari keterangan Tafsir Muqātil. Dikatakan: “Abdullah bin Salām mengajak kedua anak saudaranya, Salama dan Muhajir, untuk masuk Islam. Dia berkata kepada mereka: “Kalian tahu bahwa Allah berfirman di dalam Taurat: ‘Aku akan mengutus seorang nabi dari keturunan Ismā‘īl yang bernama Aḥmad. Barangsiapa yang beriman kepadanya akan mendapat petunjuk dan menjadi orang yang benar, dan barangsiapa yang tidak beriman kepadanya akan terkutuk’.” Maka Salama pun berpindah agama, tapi Muhajir berpaling. Maka Allah menurunkan ayat ini.

Jika dilihat dalam struktur ayat di atas, kita tidak menemukan penjelasan konkret tentang siapa sebetulnya yang dimaksud dengan orang yang ‘memperbodoh dirinya’ (safiha nafsah[u]) dan sosok yang disebut saleh (al-ṣaliḥīn)? Maka, melalui riwayat tersebut diketahui bahwa Muhajir adalah subjek yang disebut ‘bodoh’, sedangkan Salama adalah orang yang berpegang teguh pada agama Ibraham. Namun demikian, yang esensial dari sabab ini tampaknya lebih merujuk pada motif penolakan Yahudi secara terus menerus terhadap dugaan menyangkut ramalan kenabian Muhammad di dalam Taurat. Artinya, ayat ini diuraikan dalam bentuk narasi yang dibangun di sekitar motif polemik standar. Itu sebabnya, Rippin menyebut model narasi pada contoh kedua ini sebagai ‘narasi etiologis’ (aetiological narrative). (lihat h. 4).

Ketiga, asbāb al-nuzūl sebagai “fungsi naratif” (haggadic function), seperti kasus tentang larangan kaum Muslim untuk mengucapkan kata “rā‘inā” dalam Q. 2: 104: “Wahai orang-orang beriman! Janganlah berkata ‘rā‘inā’, tetapi katakanlah: “Unzhurnā”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.” Pertanyaan yang mungkin saja muncul: kenapa kaum beriman dilarang mengucap kata itu? Secara sepintas kita bisa saja menduga bahwa sebagian sahabat Nabi pernah mengucapkan kalimat itu, sebab narasi ayatnya menunjukkan larangan bagi kaum Muslim. Tetapi, mengenai siapa, kapan, di mana, dan dalam konteks apa mereka mengatakannya? Tidak ada yang tahu secara pasti! Namun demikian, Rippin di sini mendatangkan tiga narasi asbāb al-nuzūl untuk menjelaskan poinnya.

Poin pertama, kata “rā‘inā” berasal dari orang-orang Yahudi—yang digunakan untuk mengolok-olok—dan kaum Muslim keliru memahaminya sehingga mereka gunakan dalam percakapan mereka. Suyūṭī menulis: “Ketika dua orang Yahudi, Malik bin al-Saif dan Rifa’ bin Zaid, menemui dan berbicara dengan Nabi, mereka berkata “rā‘inā” sam‘aka ghair musma‘”. Sebagian sahabat yang mendengar percakapan itu mengira ucapan itu sebagai cara orang Yahudi menghormati Nabi-Nabi mereka. Maka, mereka sebagian sahabat itu juga mengucapkannya kepada Nabi, kemudian turunlah ayat Q. 2: 104 itu. Narasi ini, kata Rippin, memberikan kesan bahwa para sahabat “kurang cerdas” (atau lebih tepatnya sedikit ceroboh) karena secara asal-asalan mengucapkan kata itu tanpa tahu menahu makna dan maksud tujuannya. Dan Ṭabarī menolak narasi asbāb itu persis kerena alasan ini. Bagi Ṭabarī, larangan tersebut semata karena orang Yahudi mengucapkan “rā‘inā” untuk mengolok-olok Nabi. (lihat h. 17)

Poin kedua, kata “rā‘inā” dalam bahasa Ibrani berarti laknat, tetapi dalam bahasa Arab sifatnya lebih netral, yakni “gembalalah kami”. Wāḥidī menyebut sejumlah narasi asbāb al-nuzūl yang memperlihatkan betapa sebagian sahabat terkesima mendengar orang-orang Yahudi mengatakannya kepada Nabi, padahal kata itu berarti “laknat”. Wāḥidī menulis: “Mereka [orang-orang Yahudi] seringkali datang menemui Nabi dan berkata ‘Wahai Muhammad, rā‘inā. Kemudian mereka tertawa-tawa. Seorang sahabat dari Anshar, Sa’id bin ‘Ubadah, yang mengerti bahasa Yahudi, memperhatikan hal itu dan berkata, ‘Wahai musuh Allah! Semoga laknat Allah menimpa kalian! Demi Dia yang di tangan-Nya berada jiwa Muhammad, jika saya mendengarnya lagi dari salah satu di antara kalian, saya akan penggal lehernya!’ Mereka menjawab, ‘Bukankah kalian sendiri mengatakannya kepada Muhammad?’ Dan, Allah kemudian menurunkan ayat itu.” (lihat h. 17-18).

Poin ketiga, ada beberapa narasi yang lain dan tampak bertentangan, tapi tidak menyebutkan keterlibatan orang Yahudi. Suyūṭī, Ṭabarī, dan Jaṣṣāṣ menyebut beberapa versi bahwa orang-orang Arab biasa mengucapkan kata itu sebelum kedatangan Islam, dan karenanya Allah melarangnya.

Dari tiga poin yang dielaborasi Rippin di atas, ia akhirnya berkesimpulan bahwa narasi-narasi asbāb al-nuzūl—terutama beberapa contoh yang dipaparkan sebelumnya—memang dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak ditemukan jawabannya dalam al-Qur’an. Rippin menyebutnya sebagai “haggadic function” (fungsi naratif) (hal. 18). Di satu sisi, Rippin membenarkan tesis gurunya, John Wansbrough, di mana fungsi utama asbāb al-nuzūl adalah “halakhik” yakni fungsi eksegesis yang mengacu pada aspek-aspek legal formal. Dan dalam konteks tafsir al-Qur’an, aspek-aspek itu terletak pada kenyataan bahwa sejumlah mufasir, seperti Jaṣṣāṣ mengaitkan narasi itu dengan konsep nasakh (abrogasi). Yakni, kata “rā‘inā” awalnya diperbolehkan, tetapi kemudian dilarang.

Secara sederhana, pandangan-pandangan Rippin menyimpulkan bahwa fungsi narasi asbāb al-nuzūl ialah eksegetikal, bukan historikal. Artinya, asbāb al-nuzūl di sini tidak ada hubungan dengan peristiwa historis di zaman Nabi, melainkan dimunculkan belakangan sebagai alat untuk menafsirkan al-Qur’an. Sebagaimana Rippin simpulkan, “the sabab function to provide an interpretation of e verse within a basic narrative framework.” (h. 19). Jadi, asbāb al-nuzūl merupakan aspek penting dari strategi hermeneutik yang dapat digunakan untuk memahami dan menafsirkan arti ayat-ayat tertentu. Jika asbāb al-nuzūl bersifat eksegetikal, dan bukan historikal, maka dari mana ia bermula? Rippin dalam hal ini cenderung berpendapat bahwa narasi itu berasal dari para pendongeng/pencerita (quṣṣāṣ). Dalam literatur Islam awal, istilah “quṣṣāṣ” (pendongeng) itu tidak berkonotasi negatif, karena ulama-ulama Muslim awal yang memiliki keahlian bercerita sering kali diberi gelar itu. (h. 19).

Sumber: Andrew RippinThe Function of “Asbāb al-Nuzūl” in Qur’anic Exegesis” dalam Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London, Vol. 51, No. 1 (1988), pp. 1-20.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *