Tafsir Al-Qur’an Cross-discipline: Bayang-bayang Tafsir Masa Depan, Mungkinkah?
7 mins read

Tafsir Al-Qur’an Cross-discipline: Bayang-bayang Tafsir Masa Depan, Mungkinkah?

Beberapa tahun terakhir ini kita menyaksikan perkembangan riset/studi akademis terhadap Al-Qur’an beserta penafsirannya mengalami kemajuan yang begitu pesat, baik dalam hal populasi jumlah artikel yang diterbitkan maupun cakupan isu atau tema yang dibahas. Di Barat, misalnya, bidang kajian terhadap Al-Qur’an menjadi tren kesarjanaan yang telah menarik minat banyak kalangan, terutama para sarjana yang bergelut di bidang sejarah Islam awal.

Betapa semaraknya studi Al-Qur’an ini menjadikan Gabriel Said Reynolds, seorang profesor studi Islam di Universitas Notre Dame, Indiana, di Amerika Serikat, mengatakan bahwa studi Al-Qur’an di Barat saat ini memang tengah mencapai masa keemasannya (The Golden Age of Qur’anic Studies) (Reynolds, 2011: 1-21).

Di Indonesia, meski belum bisa disejajarkan dengan Barat, tetapi para sarjana Al-Qur’an di kawasan tersebut memperlihatkan adanya pertumbuhan dinamis yang patut disyukuri. Pada era tahun 90-an, progresifitas kajian al-Qur’an tampak begitu subur dan produktif. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai konstruksi metodologis dan penafsiran terhadap al-Qur`an.

Tokoh-tokoh yang populer di masa ini antara lain M. Quraish Shihab dengan metode tafsir tematik (mawḍū’ī) dan Tafsir Al-Misbah sebagai magnum opus-nya. M. Dawam Rahardjo dengan gagasan paradigma al-Fatihah dan tafsir sosial yang dikemas secara ensiklopedis, Mun’im Salim dengan konstruksi trio teknik penafsirannya, yakni teknik penafsiran sosio-historis, teknik penafsiran teologis, dan teknik penafsiran kultural, dan lainnya.

Di era tahun 2000-an, muncul juga metode-metode yang lebih progresif, antara lain diperkenalkan oleh Djohan Effendi, melalui penalaran sistematika al-Qur’an, Abdul Moqsith Ghazali dengan tawaran kaidah-kaidah uṣul al-fiqh sebagai basis hermeneutiknya, juga tokoh-tokoh lainnya seperti Taufik Adnan Amal, Syamsu Rizal Panggabean, dan Amin Abdullah.

Tiga tokoh terakhir, oleh Prof. Wardani, digolongkan sebagai kelompok rasionalis-eklektik. Disebut demikian, karena metodologi penafsiran yang mereka tawarkan merupakan serapan dari hasil perpaduan  kreatif antara unsur tradisi/khazanah Islam Klasik dan unsur dari pemikiran Barat kontemporer.

Kontestasi metodologi penafsiran tampaknya tidak hanya terhenti di situ. Di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, belakangan juga mempersembahkan setidaknya tiga pola baru metodologi penafsiran. Pertama, konstruksi tafsir maqāṣidi yang digagas oleh Abdul Mustaqim, Kedua, pendekatan ma’nā-cum-maghzā oleh Sahiron Sayamsuddin, dan Ketiga, metode tafsir tematik progresif oleh Muhammad Chirzin. Ketiga tokoh ini menduduki jabatan sebagai Guru Besar dalam bidang tafsir al-Qur’an di kampus tersebut.

Secara kuantitas, tentu apa yang disebut di atas hanyalah sebagian kecil dari sekian jumlah gagasan metodologis yang ada. Namun intinya, kita sepertinya harus sepakat bahwa, perkembangan metodologi tafsir al-Qur’an di Indonesia “tidak kalah maju” dibandingkan dengan perkembanan yang terjadi di Timur Tengah dan Eropa.

Bahkan, yang lebih menarik di sini adalah gagasan-gagasan itu tidak hanya lahir dari pemikiran sarjana-sarjana yang secara khusus mempelajari al-Qur’an saja, tapi juga dari kalangan sarjana-sarjana trans-disiplin keilmuan, katakanlah para sarjana ilmu sosial dan ekonomi, historian, filsuf bahkan kedokteran yang sebagian besar tokohnya telah saya sebutkan di atas.

Namun yang paling menarik untuk disoroti adalah pada bidang yang disebut terakhir. Dalam hal ini, tokoh yang sangat berperan penting adalah Prof. Dr. dr. Daldiono. Dia menulis buku babon berjudul Globe Al-Qur’an. Di buku ini, ia menawarkan satu formula baru untuk memahami al-Qur’an yang bertitik tolak dari peta diagonal surah al-Fatihah.

Konon, Daldiono menghabiskan waktunya selama 10 tahun untuk merancang metode dan menyusun bukunya itu. Beberapa pakar mempertanyakan kerangka teori yang dia bangun ini, misalnya bagaimana ia memastikan bahwa teorinya itu dapat memberikan kemudahan dalam arti sesungguhnya dalam memahami Al-Qur’an. Di samping itu, Daldiono juga tidak memberikan landasan epistemologis yang jelas dalam membangun gagasannya.

Terlepas dari pro-kontra terhadap pemikirannya, Daldiono patut diacungi jempol atas keberanian dan upaya kerasnya itu. Memang tidak mudah untuk merumuskan satu penalaran yang tepat, lebih-lebih menyangkut Al-Qur’an, untuk didistribusikan kepada masyarakat secara luas. Saya sendiri, sulit membayangkan bagaimana Al-Qur’an yang terdiri dari 6000 lebih ayat itu dapat dipahami secara mudah melalui tujuh tangga ayat-ayat al-Fatihah.

Namun demikian, maraknya tawaran metodologi dengan beragam bentuk maupun coraknya, setidaknya, bisa menjadi bahan evaluasi dini bagi kita untuk bagaimana melihat dunia tafsir Al-Qur’an di masa depan. Masa depan di sini dapat dipahami sebagai era di mana paradigma pengetahuan telah bergeser dari bentuk yang sebelumnya dan menemukan wajah baru sesuai dengan watak kontemporer di zamannya. Maka pertanyaan yang patut diajukan adalah sejauh mana kita mempersiapkan perubahan itu?

Kemajuan sains dan teknologi terutama Artificial Intelligance (AI) semakin memberikan kemudahan bagi semua orang dalam mengakses data dan informasi. Role keilmuan akademis juga kian berevolusi dan bertransformasi dari mono-disiplin menuju multi-disiplin keilmuan. Wajah filsafat yang sebelumnya dikenal dalam nomenklatur Islam saja, kini sedang dikembangkan dalam keseluruhan entitas keilmuan Islam.

Sehingga, disadari atau tidak, hal ini pada akhirnya, turut memberikan dampak yang radikal  terhadap pengembangan tafsir Al-Qur’an. Sebagai contoh, belakangan ini sebagian ulama tafsir kontemporer, termasuk Quraish Shihab, mencoba untuk mendialogkan kembali hal-hal etic yang bersifat final-fundamen pada era klasik, misalnya pendapat bahwa seorang penafsir dituntut memiliki akidah yang benar (siḥḥah al-‘aqīdah), ini bisa diganti menjadi sikap yang obyektif.

Dengan begitu, tafsir Al-Qur`an bukan lagi merupakan sebuah keberhakan bagi kelompok  insider (umat Muslim) semata, tetapi juga merupakan hak bagi kalangan  outsider atau orang non-Islam, asalkan mereka bersedia memenuhi persyaratan “obyektif” tadi dan tidak bertujuan untuk menyinggung persoalan yang bersifat doktrin-ideologis.

Saya cenderung melihat bahwa, ke depannya penafsiran Al-Qur’an khususnya di Indonesia, akan mengalami semacam ekologisasi yang dinamis-konstruktif-progresif, artinya tafsir Al-Qur’an akan semakin akrab dengan berbagai disiplin lini pengetahuan, bukan hanya masif di kalangan mufassir saja dan melalui produk “tafsir-tafsir parsial” dari sejumlah sarjana non-mufassir yang disebutkan sebelumnya.

Jika hari ini, penyusunan tafsir Al-Qur’an masih termediatisasi melalui tangan-tangan mono-mufassir dan atau multi-mufassir (kolektif), maka tidak mustahil—dan ini sekaligus menjadi harapan besar yang saya maksudkan dari judul artikel ini—ke depan bahwa tafsir Al-Qur’an akan lahir dari pena kesarjanaan yang cross-discipline. Dalam arti, proyek tafsir itu akan lahir melalui kerja sama dan olah nalar yang intens antara ulama/mufassir, ilmuwan dan cendekiawan yang ahli di bidangnya.

Dapat dibayangkan jika seandainya satu forum majelis tafsir (di masa depan nanti) diisi oleh para pakar yang membidangi keilmuan tertentu yang berbeda-beda, mereka membangun kesepakatan dan kolaborasi bersama untuk melahirkan sebuah karya tafsir Al-Qur’an yang komprehensif dan otoritatif. Tentu hasilnya akan sangat fantastis dan menjadi icon pertama penulisan tafsir berbasis trans plus inter-disipliner.

Maka, Saya sangat menyayangkan jika produk-produk tafsir di masa depan akan bernasip sama dengan hari ini, di mana tafsir Al-Qur’an masih berkutat pada level “pengungkapan makna” dan “penjelasan maksud” firman Tuhan belaka. Belum ada upaya yang “serius” untuk mengkapitalisasi Al-Qur’an sebagai “paradigma hidup” umat manusia lintas teologis. Al-Qur’an hari ini masih terproyeksikan sebagai “hudān lil-muttaqīn” saja, dan seolah-olah khusus untuk kalangan muslim saja. Padahal, secara terang benderang Al-Qur’an menyatakan dirinya sebagai “hudān lin-nās”, yakni  sebagai literatur kemanusiaan universal!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *