Pohon Suci: Warisan Ketuhanan Feminin Dalam Kosmologi Al-Qur’an (Refleksi atas   “Female Divinity in the Qur’an” Karya Emran El-Badawi)
11 mins read

Pohon Suci: Warisan Ketuhanan Feminin Dalam Kosmologi Al-Qur’an (Refleksi atas “Female Divinity in the Qur’an” Karya Emran El-Badawi)

Muhammad Syafirin, 29/11/2024

Sekilas Tentang El-Badawi dan Karya-karyanya

Emran El-Badawi adalah seorang sarjana didikan Chicago yang cukup intens dan ekstensif bergelut dalam bidang studi Al-Qur’an (Qur’anic Studies). Ia juga merupakan seorang sejarawan yang sangat produktif melakukan kajian-kajian tentang sejarah agama-agama (history of religions) dan peradaban di kawasan geografis Timur Dekat kuno dan abad pertengahan.

Prestasinya di dua bidang ini terbukti melalui berbagai karya penting yang ditulisnya. Pada tahun 2013, El-Badawi menerbitkan buku berjudul: The Qur’an and the Aramaic Gospel Traditions. Buku ini mengeksplorasi bagaimana pola interaksi antara teks Al-Qur’an dengan teks Bible berbahasa Aram khususnya pada konteks persinggungan yang terjadi di periode awal kemunculan Islam.

Ia juga menulis buku Queens and Prophets (2022) yang membahas tentang peran para wanita bangsawan Arab dan tokoh agamanya dalam membentuk kepercayaan pagan, Kristen, dan Islam di semenanjung Arabia. Sedang karya terbarunya terbit beberapa bulan yang lalu berjudul: Female Divinity in the Qur’an (2024). Buku ini membincang secara kritis tentang bagaimana pengaruh dewi-dewi (tuhan-tuhan wanita) pra-Islam terhadap Al-Qur’an, termasuk aspek teologi dan gender, serta transformasi kekuasaan feminin di masa peralihan ke Islam. Dari tiga judul di atas, bagian yang disebut terakhir inilah yang akan menjadi fokus perbincangan dalam tulisan ini.

Hubungan Antara Keilahian Perempuan (Female Divinity) dan Al-Qur’an

Dalam introduction-nya, El-Badawi menggambarkan bagaimana hubungan Al-Qur’an dengan keilahian perempuan yang begitu kompleks sehingga menghadirkan bidang studi yang cukup menarik, khususnya pada QS. An-Najm [53]: 19-22 yang menyebut secara eksplisit tentang dewi-dewi Arab (the Arabian goddesses) yaitu Allāt, al-‘Uzzā, dan Manāt. Deretan nama-nama ini memiliki fungsi yang sentral terutama pada zaman ‘antik akhir’ (late antique) di jazirah Arab.

Para periode yang juga disebut sebagai zaman kuno akhir ini (sekitar 106-632 M), masyarakat Arab sering menjadikan nama-nama dewi itu sebagai sarana untuk fungsi kebaktian, pengkultusan, dan sosialita. Hal ini menunjukkan, keilahian perempuan (female divinity) sebagaimana terekspresi melalui resepsi religius masyarakat Arab kuno akhir, mengarah pada simbol klasik tentang “kekuatan perempuan” (female power) yang tiada lain merupakan bagian dari agen sentral di berbagai ranah seperti agama, politik, dan institusi/kelembagaan yang dibentuk oleh kaum perempuan di area masyarakat. Dengan kata lain, dewi-dewi itu ada karena buah implikasi dari kekuatan dan pengaruh yang ditonjolkan kaum perempuan Arab masa pra-Islam.

Ketika Al-Qur’an hadir, narasi-narasi tentang female power tersebut banyak disinggung ulang dalam berbagai ayat. Namun demikian, narasi-narasi yang dikemukakan Al-Qur’an itu, menurut El-Badawi, lebih bersifat appropriation (membentuk atau mengarah kepada makna baru atau berbeda untuk tujuan tertentu) sehingga hal itu mengundang kontroversial (seismic) pada tataran makna.

Dari kompleksitas di atas, kita bisa menangkap satu poin penting yang menjadi landasan dasar El-Badawi dalam penelitiannya. Yakni, hendak mengeksplorasi bagaimana sejarah pergumulan antara tradisi Arab kuno akhir dan tradisi Islam di era awal kemunculannya serta bagaimana kemudian Al-Qur’an merespon keduanya. Hal ini tercermin melalui tiga pertanyaan krusial yang diajukan El-Badawi. Apa saja jejak-jejak historis yang ditinggalkan oleh dewi-dewi Timur Dekat Kuno di dalam Al-Qur’an? Kemudian bagaimana jejak-jejak itu menggambarkan kekuatan kaum perempuan di Arab? Dan bagaimana otoritas tersebut berubah setelah kemunculan Islam di jazirah Arab?

Pertanyaan di atas, sebetulnya, berangkat dari kenyataan bahwa Al-Qur’an membahas hubungan antara gender dan keilahian. Namun permasalahannya, kajian kesarjanaan mutakhir tentang Ilahi dalam Al-Qur’an biasanya mengabaikan unsur yang pertama, di mana gender diposisikan secara terpisah dari ketuhanan. Persoalan ini menjadi rumit ketika Al-Qur’an menggambarkan Tuhan (Allah) sebagai entitas tunggal tanpa jenis kelamin (lihat, QS. al-An‘ām [6]:101; Al-Isrā’ [17]:40; Aṣ-Ṣaffāt [37]:149-159; Al-Jinn [72]: 3), namun narasi tekstual yang digunakan untuk mencitrakan (imagery) keagungan dan kehendak-Nya justeru menggunakan konotasi yang maskulin.

Di sini, El-Badawi sepakat dengan Nicolai Sinai dan Aziz Al-Azmeh bahwa Tuhan yang bernama “Allah” itu memang pada awalnya disembah sebagai salah satu dari sekian banyak dewa yang  ada, tapi pada akhirnya diakui sebagai dewa yang tertinggi di antara dewa-dewa orang-orang Arab pagan (QS. Al-‘Ankabūt [29]: 61-63;  Luqmān [31]: 25; Az-Zumar [39]: 38; Az-Zukruf [43]: 87), yang berasal dari tradisi pemujaan Arab yang diabadikan dalam bukti-bukti epigrafis dan teks sastra.

Gagasan ini juga diperkuat oleh Gabriel Said Reynolds, profesor studi Islam di Universitas Notre Dame, Indiana, Amerika Serikat, namun Reynolds menambahkan dari sekian banyak atribut pribadi yang disandang oleh dewa-dewa Arab, “Allah” adalah nama dewa yang memiliki sifat welas asih (mercy) dan adil dengan pembalasannya (vengeance). Dua kategori ini memiliki kesamaan dengan narasi tentang sifat Allah yang digambarkan oleh Alkitab dan Sejarah Keselamatan pasca-Alkitab (misalnya, QS Al-Baqarah [2]:126). Sehingga, memahami konsep Tuhan dalam Alkitab, menurut El-Badawi, secara alamiah dapat membantu kita untuk menjelaskan padanannya dalam Al-Qur’an .

Selain itu, El-Badawi juga menganggap bahwa keilahian wanita dalam konteks ini tidak dapat dipisahkan dari dialog intertekstual Al-Qur’an. Al-Qur’an pada masa awal kemunculannya, banyak beromunikasi langsung dengan ekosistem tulisan, khotbah, syi‘ir, monumen, mural, seni, dan ritual kebudayaan yang kaya dan kompleks di semenanjung Arab kuno akhir. Dialog ini dapat dilacak melalui tradisi yang berkembang di Mesopotamia kuno, misalnya teks Hymne untuk dewi Inanna yang ditulis oleh Enheduanna, seorang imam besar dan putri raja Sargon Agung (w. 2277 SM), pendiri kekaisaran Akkadia. Enheduanna dikenal sebagai penulis yang paling awal berdasarkan catatan sejarah. Himne yang ia tulis berisikan perpaduan antara komunitas pertanian yang menetap di Sumeria dengan masuknya penggembala nomaden Semit. Pengaruh pengkultusan dewi Inanna yang luas berfungsi sebagai prototipe keilahian perempuan di seluruh Timur Dekat kuno dan Antik Akhir.

Secara metodologis, El-Badawi menggunakan beragam pendekatan dalam kajiannya. Di antaranya, pendekatan kritis. Pendekatan ini gunanya untuk mengkaji sumber-sumber sejarah dengan mempertimbangkan kemungkinan bias dalam sumber-sumber literatur pra-modern yang sering menggambarkan budaya Semitik dan Arab pra-Islam secara karikatural (El-Badawi: 5). Untuk memperkuat analisisnya, El-Badawi menggunakan pendekatan lainnya yaitu pendekatan intertekstual dan komprehensif. Pendekatan ini bertujuan untuk menganalisis teks Al-Qur’an dengan mempertimbangkan konteks yang lebih luas dalam setiap surah, tidak hanya menganalisis ayat-ayat secara terpisah. Selain itu, ia juga menggunakan pendekatan Filologi dan Historis-Arkeologis. Yang pertama untuk mengkaji teks Al-Qur’an melalui analisis bahasa Arab berirama (saj‘) dan mengaitkannya dengan literatur pasca-biblikal, sedang yang kedua untuk mendukung bukti epigrafik dari prasasti Arab Utara dan Selatan Kuno, serta sumber-sumber gerejawi dalam bahasa Syriac dan Yunani. Adapun sebagai perangkat analisis terhadap teks-teks Syriac yang merupakan kumpulan tradisi tekstual terbesar yang berdialog dengan Al-Qur’an, ia menggunakan pendekatan sastra.

Melalui pendekatan interdisipliner di atas, El-Badawi mampu mengungkap bagaimana Al-Qur’an akhirnya menundukkan semua kekuatan ilahi—laki-laki dan perempuan—di bawah satu dewa laki-laki. Transformasi ini memiliki implikasi yang signifikan terhadap dinamika gender, karena Al-Qur’an menganggap perempuan setara dengan laki-laki di hadapan Tuhan sekaligus menundukkan mereka pada otoritas laik-laki dalam masyarakat. Analisis komprehensif ini pada akhirnya menjelaskan bagaimana penghapusan keilahian perempuan memfasilitasi munculnya generasi-generasi berikutnya dari otoritas keagamaan dan politik kaum laki-laki.

Pohon dan Ritual: Manifestasi Kekuatan Feminin dalam Praktik Keagamaan Arabia

Simbol-simbol keilahian wanita tersebar di berbagai ayat dalam Al-Qur’an, dan sebagian besarnya diwarisi dari Alkitab. Yang menarik, simbol-simbol tersebut memiliki keterkaitan dengan wacana di Timur Dekat Kuno tentang “pohon”. Ini menjadikan citra tentang pohon (trees) memainkan peran penting dalam keseluruhan kosmologi Al-Qur’an. Menurut El-Badawi, semua narasi tentang pohon dalam Al-Qur’an—baik yang diilustrasikan sebagai ‘baik’ dan ‘jahat’—dapat ditemukan dalam wacana yang ekstensif dan kompleks di sekitar: (i) Dewi Inanna; (ii) Dewi Asherah dari Kanaan yang dikutip sekitar 40 kali dalam Alkitab Ibrani; (iii) dan dewi-dewi yang berasal dari Arab, Allāt dan al-‘Uzzā sebagaimana dinyatakan dalam QS. An-Najm 53:19 di atas.

Dalam Al-Qur’an, penyebutan pohon-pohon terulang sebanyak 56 kali di berbagai ayat, kesemuanya mengilustrasikan empat hal. Pertama, gambaran tentang karunia dan cobaan (godaan) yang terjadi di surga Firdaus (the bounty and temptation found in Paradise) (misalnya, QS. Al-Baqarah [2]: 35). Kedua, keilahian konstelasi surgawi (the divinity of heavenly constellations), misalnya QS. An-Nūr [24]: 35 yang menyebut pohon ‘zaitūn’ (olive trees) sebagai refresentasi dari pohon yang diberkahi, ia juga dilustrasikan sebagai simbol cahaya petunjuk Ilahi (hidāyah) yang menerangi hati manusia. Ketiga, sebagai simbol terrestrial (fisik) dari manifestasi Ilahi (terrestrial symbols of divine manifestation or blessing), yakni pohon-pohon itu melambangkan kehadiran atau perwujudan berkah dan kasih sayang Allah di bumi. El-Badawi memberi contoh dalam dua ayat yaitu QS. Maryam [19]: 25 (pohon kurma) dan QS. Al-Mu’minīn [23]: 20 (zaitun). Keempat, sebagai parables (dalam bahasa Arab, tamtsil: perumpamaan), sebagaimana QS. Al-Kahfi [18]: 32 yang menyebutkan dua kebun anggur yang di kelilingi pohon kurma sebagai pelajaran mendalam tentang kehidupan dunia, kesombongan dan ketergantungan kepada Allah.

Menarik untuk dicermati bahwa dalam taksonomi teks (klasifikasi kategoris/hierarkis), setiap kata benda yang merujuk pada “pohon” selalu dinyatakan dalam bentuk feminin, misalnya kata syajarah (شجرة) untuk pohon terrestrial sebagaimana disebutkan di atas, kemudian kata sidrah (سدرة) untuk menyebut pohon surgawi, kata nakhlah (نخلة) yang dianotasikan untuk pohon kurma (palm tres), dan līnah (لينة) untuk segala jenis pohon yang berbuah (fruit tree). Huruf tā’ marbuṭah (ة) yang terletak di akhir kata ini yang menunjukkan makna keperempuanan, mengisyaratkan adanya hubungan primordial antara feminin ilahi (divine feminine) dengan simbol pohon. Dimana pohon-pohon ini adalah simbol alam, simbol kesuburan bumi serta penciptaan. Dan kesemuanya itu mengarah pada aspek keberadaan atau eksistensi kekuatan kreatif kaum perempuan (creative power of female) (El-badawi: 12).

Jika kita melacak di berbagai literatur abad pertengahan, kita bisa temukan informasi menarik di mana orang Arab melakukan ritual pemujaan terhadap pohon yang dipersonifikasi dengan dewi al-‘Uzzā. Praktik ini masif terjadi sebelum masuknya ajaran monoteisme Kristen dan Islam di sekitaran abad keenam-ketujuh. Sejarawan Islam terkemuka, Ibnu Jarīr at-Ṭabarī, juga merekam dalam bukunya Tarīkh al-Ṭabarī. Ia mengatakan, orang-orang Arab Najran menyembah pohon palm yang mereka hiasi dengan ornamen halus, dan mereka adakan festival di sekelilingnya.

Hal serupa juga dinyatakan Ibnu Kalbī dalam tulisannya, Kitābu al-Asnām (Book of Idols), dewi al-‘Uzzā oleh orang Arab disembah di hutan pohon kurma di lembah Nakhlah, di luar kota Mekkah. Data ini juga diperkuat oleh para penulis sejarah Kristen. Dalam Histoire Nestorienne Inédite yang diterjemahkan Addai Scher ke dalam bahasa Inggris berjudul Chronicle of Seert, orang-orang Arab Kuno sering menyembah aneka bentuk berhala, antara lain pohon kurma, pepohonan yang berdaun lebar (broadleaf trees), dan berhala yang dibentuk seperti wujud manusia. Bagian terakhir inilah yang dikenal dengan dewi al-‘Uzzā, dibuat dalam bentuk patung emas oleh raja Lakhmid Nu’man III (w. 602 M) di kota al-Hira.

Sumber:

Aziz Al-Azmeh, The Emergence of Islam in Late Antiquity: Allah and His People, Cambridge: Cambridge University Press, 2014.

Emran El-Badawi, Female Divinity in the Qur’an: In Conversation with the Bible and the Ancient Near East, Houston: Palgrave Macmillan, 2024.

Gabriel Reynolds, Allah: God in the Qur’an, New Haven: Yale University Press, 2020.

Histoire Nestorienne Inédite (Chronique de Séert): Seconde partie (II), trans. Addai Scher, PO 13, 1919.

Muhammad b. Jarīr al-Ṭabarī, Tarīkh al-ṭabarī: tarīkh al-rusūl wal-mulūk wa man kan fī zaman kul minhum, ed. Sidqi al-‘Attar, Beirut: Dar al-Fikr, 2017.

Nicolai Sinai, Rain-Giver, Bone-Breaker, Score-Settler: Allah in Pre-Quranic Poetry, New Haven: American Oriental Society, 2019.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *