Qur’an Edisi Kritis dan Hegemoni Qira’at: Dari Kompleksitas Sejarah Hingga Relasi Kekuasaan
Ada satu kitab menarik berjudul “al-Muṣḥaf wa-Qirā’atuhu” yang disusun oleh sejumlah peneliti Tunisia di bawah koordinasi Abdulmajid Syarafi, salah seorang pemikir asal Tunis. Kitab ini berisi teks al-Qur’an yang disertai catatan bacaan (qirā’at) berbeda atas kata-kata tertentu dalam setiap ayatnya. Juga disebutkan sumber periwayatan dari mana qira’at yang berbeda itu diperoleh.
Hasil kerja sejumlah peneliti ini mengingatkan kita pada proyek “Qur’an edisi kritis” yang dulu direncanakan oleh dua sarjana Barat. Yakni, Gotthelf Bergstrasser dari Jerman dan Arthur Jeffery dari Australia. Dua teman dekat itu mempelajari berbagai qira’at dari sumber-sumber klasik sekaligus manuskrip-manuskrip Qur’an kuno dengan rencana menerbitkan Qur’an edisi kritis. Edisi kritis yang dimaksud ialah sebuah al-Qur’an yang dilengkapi dengan aparatus bacaan yang berbeda-beda, baik yang didasarkan pada riwayat maupun kajian manuskrip.
Rencana tersebut mendapat sambutan dari sejumlah sarjana lain, seperti Baumstark, Fischer, Kahle, dan Ritter. Pada tahun 1930, mereka bersepakat bekerjasama untuk mengembangkan penelitian hingga melahirkan Qur’an edisi kritis tersebut.
Namun sayangnya, rencana besar itu tak terwujud karena perintisnya keburu meninggal dunia. Dalam sebuah ekspedisi naik gunung, Bergstrasser terjatuh dan meninggal. Menyusul kematiannya, muncul usulan supaya proyek penerbitan Qur’an edisi kritis dilanjutkan.
Menurut informasi, kolega Bergstrasser di Munich, yakni Otto Pretzl, yang juga mendalami studi Qur’an, mengambil-alih tugas tersebut. Di tengah-tengah usahanya itu Perang Dunia II meletus, dan Pretzl mendapat panggilan masuk militer sehingga proyek penerbitan Qur’an edisi kritis pun terbengkalai. Dan pada tahun 1941 Pretzl meninggal dalam peristiwa pesawat yang terjatuh.
Juga disebutkan bahwa seluruh catatan dan bahan-bahan untuk penerbitan Qur’an edisi kritis hancur luluh terkena bom Perang Dunia II. Cerita tersebut dapat ditemukan dalam tulisan Jeffery berjudul “The Textual history of the Qur’an” yang terbit tahun 1946. Jeffery tak lagi bersemangat melanjutkan penelitian dan meninggal tahun 1959.
Belakangan baru ketahuan bahwa Jeffery salah. Bahan-bahan yang dihimpun untuk rencana penerbitan Qur’an edisi kritis itu ternyata tidak sepenuhnya hilang dihantam bom. Memang betul bangunan yang menyimpan bahan-bahan Qur’an terkena bom, namun sejumlah dokumen terselamatkan.
Sebelum meninggal di tahun 2003, seseorang yang menyimpan dokumen/bahan berharga itu (namanya Anton Spitaler) menyerahkannya kepada muridnya di Berlin, yang tak lain dan tak bukan adalah Profesor Angelika Neuwirth. Yang disebut terakhir ini sekarang memimpin proyek yang disebut “Corpuscoranicum.”
Hingga proyek penerbitan “The Qur’an in a critical edition” itu betul-betul terwujud, karya para peneliti Tunisia “al-Muṣḥaf wa-Qirā’atuhu” itu agaknya menarik untuk dijadikan pegangan membaca Qur’an. Kitab ini menjadikan Qur’an edisi Kairo sebagai teks utama dan – seperti disebutkan tadi – dilengkapi dengan catatan bacaan-bacaan yang berbeda. Kita tahu, Qur’an standar (maksudnya, cetakan al-Qur’an yang sekarang umum digunakan) yang pertama terbit tahun 1924 itu didasarkan pada bacaan “Ḥafṣ ‘an ‘Āṣim.” Satu dari sekian banyak qira’at yang dianggap valid.
Jelas, Qur’an terbitan Kairo memang bukan edisi kritis, dalam pengertian yang umum dipahami para sarjana. Saya kira kita tak perlu berdebat soal itu. Pertanyaan yang menarik ialah: Kenapa al-Qur’an yang sekarang menjadi versi standar itu menggunakan qira’at “Ḥafṣ ‘an ‘Āṣim,” padahal dulunya qira’at tersebut tidak diterima luas?
Sebetulnya ada banyak faktor, namun yang utama adalah karena faktor kekuasaan. Bagi orang yang membaca dua karya besar dalam ilmu qira’at, yakni Kitab al-sab‘ah fi al-qirā’āt karya ibnu Mujāhid (w. 324/936) dan al-Nasyr fī qirā’āt al-‘asyr karya Ibnu al-Jazari (w. 833/1429), informasi bahwa bacaan tertentu masyhur digunakan di daerah tertentu sudah menjadi pengetahuan umum.
Dari keduanya kita tahu bahwa bacaan Ḥafṣ ‘an ‘Āṣim tidak masyhur digunakan di wilayah kekuasaan Islam abad pertengahan. Dengan kata lain, bacaan Ḥafṣ ‘an ‘Āṣim yang sekarang menjadi satu-satunya bacaan al-Qur’an standar dahulu bukanlah bacaan yang dominan, bahkan di tanah kelahiran Ḥafṣ sendiri, yakni Kufah.
Diriwayatkan oleh Ibnu Mujāhid bahwa Muḥammad bin Haitsam al-Muqri’ berkata: “Saya tahu Kufah dan masjid-masjidnya umumnya menggunakan bacaan Hamzah. Tak ada pengajian masjid jami’ yang menggunakan bacaan Ḥafṣ.” Ada beberapa riwayat lain disebutkan oleh Ibnu Mujāhid (tak perlu dirinci di sini) yang memberikan kesaksian sama bahwa orang-orang Kufah tidak membaca Qur’an dengan bacaan Ḥafṣ, kecuali hanya segelintir.
Dalam perkembangannya penduduk Kufah kemudian condong pada bacaan al-Kisā’ī. Di wilayah barat (maghrib), seperti Libya, Tunisia, Andalusia, dan wilayah Afrika) bacaan Ḥafṣ nyaris tak dikenal hingga akhir abad ke-5 Hijriyah. Mereka lebih menyukai bacaan Nāfi‘.
Dari Ibnu al-Jazari kita belajar informasi serupa tentang posisi marginal bacaan Ḥafṣ. Sebagai informasi tambahan: Ibnu Mujahid membakukan 7 bacaan al-Qur’an, sementara Ibnu al-Jazari membakukan 10 bacaan. Yakni, 7 bacaan yang diidentifikasi oleh Ibnu Mujahid, kemudian ditambah 3 bacaan. Jadi, 10 bacaan yang dianggap valid.
Ibnu al-Jazari mengutip beberapa riwayat yang disebutkan dalam karya Ibnu Mujahid. Dalam kitab “Ghayat al-Nihayah,” Ibnu al-Jazari menyebut beberapa riwayat bahwa penduduk Suriah (Syam), Hijaz, Yaman, dan Mesir menggunakan bacaan Abu ‘Amr. Katanya, kaum Muslim di Suriah mulai menggunakan bacaan Abu ‘Amr sejak tahun 500-an Hijriyah, setelah sebelumnya mereka menggunakan bacaan Ibnu ‘Amir.
Lalu, sejak kapan bacaan Ḥafṣ ‘an ‘Āṣim mulai masyhur digunakan? Jawabannya: Sejak kekuasaan Khilafah ‘Utsmaniyah mulai menguat di Timur Tengah. Ada yang menyebut sejak abad ke-10 Hijriyah. Sebagai informasi, Khilafah ‘Utsmaniyah mengadopsi dan mempromosikan bacaan Ḥafṣ.
Jadi al-Qur’an yang resmi diakui oleh negara (Khilafah ‘Utsmaniyah) ialah yang ditulis dengan bacaan Ḥafṣ. Para imam masjid dan khatib juga didorong menggunakan bacaan ini. Para ulama pun mulai ikut mendukung kebijakan negara. Dalam kitab ‘Juhd al-muqill,” al-Mar’asyi (w. 1150) menyarankan para guru ngaji, selain mengajarkan banyak qira’at, menegaskan bahwa “bacaan yang digunakan di wilayah kami ialah qira’at ‘Āṣim.”
Lebih dari itu, Ibnu ‘Abidin melarang penggunaan bacaan para qurra’, kecuali bacaan Abū ‘Amr dan Ḥafṣ ‘an ‘Āṣim. Perlahan bacaan Ḥafṣ menggantikan beragam bacaan yang digunakan di berbagai wilayah di bawah kekuasaan Khilafah ‘Utsmaniyah. Dalam perkembangannya, bacaan tersebut menjadi dominan di dunia Islam secara keseluruhan.
Ada banyak bukti menunjukkan pergeseran itu memang mulai terjadi pada akhir abad ke-10 Hijriyah. Pada abad ke-11, bacaan Hafsh menggantikan bacaan Abū ‘Amr di dua kota suci Islam: Makkah dan Madinah. Apa yang terjadi?
Pemerintah pusat Khilafah ‘Utsmaniyah menetapkan pembaca (qari’) bacaan Ḥafṣ sebagai imam di masjidil haram dan masjid nabawi. Salah satunya ialah Muhammad bin Badruddin atau juga dikenal dengan nama “Muḥyiddīn.”
Pertanyaan lanjutannya: Kenapa Khilafah ‘Utsmaniyah mengadopsi bacaan Ḥafṣ? Jawabannya karena negara menjadikan mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi. Dan orang-orang Hanafi dikenal menggunakan bacaan Ḥafṣ. Menarik dicatat, seorang qari’ Muḥyiddīn yang disebutkan di atas (dan ditunjuk oleh Sultan) adalah pengikut mazhab Hanafi.
Jika dikejar dengan pertanyaan lanjutan: Kenapa pengikut mazhab Hanafi menggunakan bacaan Ḥafṣ? Ada seorang penulis berspekulasi bahwa pilihan bacaan tersebut karena kesamaan daerah asal Abu Hanifah dan ‘Āṣim (yang darinya Ḥafṣ mengambil bacaannya). Yakni, keduanya berasal dari Kufah.
Saya tidak bisa memastikan sejauhmana jawaban spekulatif tersebut didukung oleh bukti-bukti. Yang bisa saya pastikan adalah faktor kekuasaan memang cukup kuat dalam menetapkan bacaan Ḥafṣ. Akhir dari segala cerita ialah ketika komite penerbitan Qur’an di Kairo (1924), yang disebutkan sebelumnya, mengadopsi bacaan Hafsh sebagai basis teks Qur’an. Sekian.