Konflik Ulama Versus Penguasa dalam Sejarah Revolusi Afrika Barat Abad XVIII-XIX: Dari Dehumanisasi “Qur’an Berjalan” Hingga Resepsi “Qur’an Bertangan”
7 mins read

Konflik Ulama Versus Penguasa dalam Sejarah Revolusi Afrika Barat Abad XVIII-XIX: Dari Dehumanisasi “Qur’an Berjalan” Hingga Resepsi “Qur’an Bertangan”

Muhammad Syafirin

“The Walking Qur’an”: Siapakah Mereka?

Tulisan ini  merupakan  refleksi dari karya Rudolph T. Ware III berjudul “The Walking Qur’an: Islamic Education, Embodied Knowledge, and History in West Africa”. Buku ini terdiri dari 330-an halaman yang rincian bahasannya terbagi dalam lima chapter. Sebelum beranjak  lebih jauh,  perlu diketahui bagian ini hanya akan mengelaborasi bagian pokok dari tema yang bertajuk “The Book in Chains: Slevery and Revolution in Senegambia 1770-1890” pada chapter tiga. Alasannya, selain bab itu merupakan bagian yang sentral dan inheren dari buku ini, kisah-kisah di dalamnya juga mengandung gambaran bagaimana Al-Qur’an mengalami transmisi yang  dialogis dan diskursif pada kurun waktu yang sangat panjang. Satu sisi, Al-Qur’an diberlakukan sebagai Kitab Suci yang memberi petunjuk kehidupan, tetapi di sisi lain, Al-Qur’an juga dipercaya mewujud dalam rupa dan daging, ia bersuara, ia punya perasaan bahkan bisa bergerak. Ia adalah “The Walking Qur’an” (Qur’an Berjalan).

Buku The Walking Qur’an ini pada dasarnya menceritakan tentang sejarah perbudakan manusia yang terjadi di Afrika Barat pada kisaran abad ke-18 hingga abad ke-19. Chapter tiga buku ini, berisi tentang kisah gerakan revolusioner para ulama beserta masyarakat Afrika Barat dalam menghadapi tirani kekuasaan yang membelenggu dan memperbudak para penghapal Al-Qur’an (Ḥuffāzh al-Qur`ān) di Senegambia (Senegal), yang dimulai sejak tahun 1770-an hingga awal berdirinya pemerintahan kolonial Prancis pada tahun 1880-an.

Dalam buku ini, Rudolph T. Ware melakukan  investigasi terkait data-data sejarah Afrika yang terjadi dalam rentang abad ke-18–mulai dari penelitian terhadap tradisi lisan (verbal tradition), serta menelusuri berbagai manuskrip (makhṭūṭāt) Arab dan dokumen-dokumen arsip, hingga bukti-bukti laporan para pelancong Eropa dari abad ke-19–untuk mendapatkan data historis yang valid dan komprehensif tentang peristiwa perbudakan para ḥuffāzh al-Qur’ān beserta masyarakat Muslim lainnya, di mana praktik kejahatan inilah yang pada akhirnya melahirkan gerakan revolusi tersebut.

Apa yang T. Ware upayakan ini, pada hakikatnya, ingin  menepis berbagai tuduhan negatif kaum Orientalis yang disematkan kepada Islam, khususnya dalam konteks perbudakan manusia. Sebagaimana W. G. Clarence-Smith mencatat bahwa, para Orientalis cenderung memandang bahwa perbudakan adalah satu fenomena yang alamiah dalam doktrin ajaran Islam. Artinya, praktik perbudakan merupakan institusi yang tak pernah terhapuskan di dalam Islam. Dalam hal ini, T. Ware mengutip dua pendapat kritis mengenai tuduhan tersebut. Di antaranya,  pendapat Hans Müller, seorang ahli mengenai perbudakan dalam sumber-sumber Arab, Persia dan Turki, yang menyatakan: “That slavery was best undertood as an economic rather than religious institution” (Perbudakan paling baik dipahami sebagai intitusi ekonomi daripada agama).

Selain Müller, sebetulnya penolakan serupa juga pernah digaungkan seabad sebelumnya oleh G. W. Leitner. Ia menentang klaim Inggris yang mengasumsikan praktik perbudakan sebagai konsekuensi yang tak terelakkan dari pemerintahan Islam. Leitner dengan tegas menyanggah hal tersebut. Menurutnya, sikap Inggris itu tidak lain hanyalah sebuah propaganda dan fitnah yang ditujukan kepada Islam. Dalam fakta sejarah–kata Leitner–perbudakan bukanlah bagian dari prinsip agama, ia justru adalah tragedi yang pernah terjadi dalam sejarah umat manusia, dan agama hadir untuk menghapusnya.

Apakah Islam Membenarkan Perbudakan?

Dalam diskursus kesarjanaan Islam, konsep tentang perbudakan masih debatable, sebagian ulama menolaknya secara tegas, sebagian lainnya malah bersikap sebaliknya. Golongan yang kedua ini berargumen bahwa, tidak ada ayat-ayat al-Qur`an yang secara spesifik menghapus perbudakan, dan ini menunjukkan perbudakan memang dibolehkan dalam Islam. Alasan kedua adalah pembebasan atas seorang budak berpotensi mem-back up orang yang melakukannya dari siksaan api neraka kelak. Dengan demikian, menghapuskan perbudakan sama saja dengan menghilangkan jalan pem-back up-an tersebut. Pandangan inilah yang dipegang oleh para ahli hukum arus utama (fuqahā’) yang memiliki kontrak kepentingan dengan penguasa Deenanke di Afrika kala itu.

Sementara ulama yang menolak argumen di atas berpendapat bahwa, meskipun Al-Qur`an tidak menyatakannya secara eksplisit pelarangan tersebut, tetapi larangan itu bisa dilihat melalui sikap Nabi Muhammad yang membebaskan para budak sebelum beliau wafat. Clarene-Smith juga menguatkan argumen ini, dia mengatakan, pendapat para fuqaha` di atas jelas tidak dapat dibenarkan karena mengandung paradoksal yang mengarah pada penghinaan  terhadap kesucian Al-Qur`an. Selain itu, jika mereka cermat memahami kandungan Al-Qur`an, niscaya akan ditemukan sekian ayat yang mendukung agar praktik perbudakan tersebut dihapuskan. Begitu pula dalam banyak kesempatan, Nabi seringkali menyampaikan penegasan akan hal itu. Jika dalam sejarah kekhalifahan Islam praktik perbudakan masih diterapkan, itu tidak lain hanyalah sikap amoral dari khalifah itu sendiri, bukan dari ajaran Al-Qur`an ataupun Nabi, demikian kata Clarene-Smith.

Revolusi Al-Mammy ‘Abdul-Qādir Kan dan Ritual Esoterik-Qur’anic

Pemicu terjadinya gerakan revolusi Al-Mammy (sebuah istilah dalam bahasa Fuula, atau gelar Al-Imām dalam bahasa Arab) ‘Abdul-Qādir bersama beberapa tokoh ulama lainnya seperti Ceerno Sulayman Baal, Syekh ‘Abdul-Karīm dan sebagainya adalah praktik perbudakan yang dilakukan para penguasa terhadap “The Walking Qur’an” (Al-Qur’an Berjalan) di Senegal. Umat Muslim Afrika memiliki semacam kepercayaan bahwa, para ulama dan penghapal Al-Qur’an ialah representasi dari Kitab Al-Qur’an yang suci, maka memperbudak mereka sama halnya dengan merobek-robek kehormatan Kitab Suci umat Islam, dan memenjarakan mereka sama halnya dengan merantai Kitab Suci Ilahi itu.

Pada tahun 1770, aksi pemberontakan dimulai oleh gerakan Ceerno Sulayman Baal yang melakukan penyerangan terhadap kekuasaan Banī Ḥasan beserta pemuka Deenanke. Namun dalam pertempuran tersebut, Sulayman Baal gugur pada tahun 1776. Setelah kematiannya, kendali pasukan diambil alih oleh Al-Mammy ‘Abdul-Qādir. Dalam kurun waktu yang singkat, Al-Mammy bersama pasukan mampu berhasil merebut tampuk kekuasaan, dan kemudian membebaskan para “Qur’an Berjalan” yang ditawan penguasa sebelumnya.

Al-Mammy ‘Abdul-Qādir adalah seorang ulama bermazhab Maliki. Dia juga merupakan seorang guru Al-Qur’an di Appe, sebuah desa di penggiran timur Fuuta. Sebagai seorang ulama, dia kerap menjadi rujukan hukum (ḥākim) dalam berbagai persoalan umat Islam di tempat itu. Kemenangan yang diraihnya kian membawa perubahan yang signifikan bagi masyarakat Senegal di Afrika Barat. Ditambah dengan jiwa kepemimpinan yang luhur, ia begitu dicintai oleh masyarakatnya. Bahkan tidak sedikit dari mereka menyebutnya sebagai patron “Al-Mahdi” yang membawa misi keadilan dan pembebasan di akhir zaman. Anggapan ini, sebenarnya, sudah mulai muncul sejak Al-Mammy dan pasukannya bersiap-siap akan  menghadapi ‘Ali al-Kawri, seorang kepala suku Trarza, yang mana ia dan pasukannya pernah menghancurkan sungai Senegal pada pertengahan tahun 1770-an dan yang membunuh Ceerno Sulayman Baal.

Namun di balik kegemilangan yang dicapai Al-Mammy ‘Abdul-Qadir, siapa sangka bahwa di balik itu semua ada peran “Tangan-tangan Halus” yang bekerja. Salah satu sumber menyebutkan bahwa kemenangan Al-Mammy tidak terlepas dari resepsi mistikal-Qur`anic. Dalam sejarahnya, Al-Mammy memang dikenal sebagai sosok yang suci (waliyullāh) dan memiliki sekian banyak kemampuan metafisik (karāmah). Hal ini dapat kita lihat melalui keterangan Johnson dan Robinson, bahwa di dalam sumber-sumber internal seperti catatan Muusa Kamara misalnya, di situ diceritakan bagaimana Ceerno Sulayman Baal dan Al-Mammy ‘Abdul-Qādir Kan melakukan praktik mistik-esoterik (membuat semacam jimat) untuk membuka “kekuatan Ilahi” ketika hendak menghalau musuh-musuhnya. Mereka menulis suatu ayat dari Al-Qur`an (tidak dijelaskan secara spesifik ayat apa) kemudian menambahkan kalimat “Tinggalkan negeri kami atau masuklah ke dalam agama kami” pada sebuah segi lima, sementara bagian tengahnya dituliskan nama-nama para punggawa Deenanke.

Apa yang dipraktikkan Al-Mammy ‘Abdul-Qādir Kan di atas merupakan salah satu bentuk resepsi terhadap ayat-ayat Al-Qur`an. Dalam ilmu Living Qur`an, fungsi dari Kitab Suci terbagi dalam dua bagian, yakni fungsi informatif dan fungsi performatif. Dalam hal ini,  Al-Mammy sepertinya menerima fungsi tersebut dalam kategori yang kedua.

Demikian!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *