4 mins read

Dilema Musim Pemilu dan Responsibility Seorang Murid

Ada yang menyebut pemilu adalah biang kerok perpecahan, penyulut konflik dan akar  kesenjangan. Meski pendapat ini agak cukup berlebihan, tapi secara fenomenologis inilah yang sering kita saksikan. Ketika musim pemilu tiba, pertarungan politik mulai terjadi. Masing-masing paslon berkontestasi memperebutkan wacana kebenaran. Segala macam cara dilakukan demi memenangkan suara, maka tidak heran jika kemudian para pihak dari masing-masing pendukung paslon saling serang satu sama lain. Para simpatisan masyarakat bahkan tidak mau ketinggalan. Kita bisa melihat sekarang di media sosial, maraknya aksi-aksi dan postingan video bertebaran secara masif. Satu pihak menyudutkan pihak lainnya, tidak jarang pula menciptakan hoax opini untuk menjatuhkan kewibawaan rival politiknya.

Kenyataan yang sangat konfrontal ini, juga terjadi pada konteks hubungan “guru” dan “murid”. Hubungan antara dua martabat ini, kerapkali mengalami disharmonic di setiap tiba pemilu, yakni ketika si murid memiliki pilihan politik yang berbeda dengan pilihan politik gurunya, seringkali itu diartikan sebagai sebuah kedurhakaan si murid kepada gurunya. Murid dianggap tidak taat, tidak hormat, bahkan dianggap “melawan” gurunya. Benarkah demikian? Dalam tulisan ini saya akan mencoba menyinggung sekurang-kurangnya dua problem utama, dan ini adalah pertanyaan yang sering dilontarkan kawan-kawan kepada saya.

Problem pertama, apakah benar seorang murid harus manut secara mutlak kepada gurunya?

Pertanyaan ini mengingatkan saya kepada banyaknya postingan yang masif sekarang ini, yaitu sebuah perkataan Imam al-Ghazali tentang keharusan seorang murid untuk manut kepada gurunya. Kurang lebih al-Ghazali berkata begini: “pendapat seorang guru, meskipun salah, akan lebih bermanfaat bagi seorang murid ketimbang dia mengikuti pendapat dirinya sendiri walaupun pendapatnya itu ia anggap benar”. Saya tidak tahu persis siapa orang pertama yang menyebarkan kalimat ini. Meskipun saya sepakat dengan pernyataan ini, tetapi saya ingin garisbawahi di sini bahwa, ketika sebuah fatwa/pernyataan seorang ulama, digunakan dalam suatu konteks pembicaraan yang berbeda dengan konteks yang dimaksud ulama bersangkutan, maka pembicaraan itu mengarah kepada tindakan yang distorsif. Perkataan Imam Al-Ghazali tadi mesti dipahami sesuai konteks pembicaraannya. Apakah pernyataan itu berbicara tentang etika politik? Atau jangan-jangan itu persoalan spiritual?? Saya kira sangat absurd, sekali lagi absurd jika dikaitkan dengan persoalan politik.

Persoalan kedua, ketika si murid memiliki pendapat yang berbeda dengan apa yg dipahami gurunya,  apakah dia terhukumi durhaka?

Adab bagi seorang murid ialah menghormati gurunya. Semua sepakat dalam hal ini. Bahkan  ketika seorang guru melakukan kesalahan atau kekeliruan dalam menyampaikan sebuah  pandangan, maka murid tetap wajib menghormati gurunya. Namun demikian, dalam tradisi keilmuan, apa yang kita sebut sebagai sikap “hormat” tidak lantas bermakna menyetujui pendapat guru yang salah. Bahkan sikap hormat juga tidak bisa diartikan dengan keharusan untuk mengikuti pendapat gurunya walaupun itu benar. Imam Malik seorang pendiri Mazhab Maliki dan gurunya Imam Syafi’i, beliau tidak melarang muridnya untuk berbeda mazhab dengan dirinya.  Ibnu ‘Arabi yang sekian lama mengajarkan kitab Ihya` al-Ghazali, tidak  kemudian menjadikan dirinya sebagai konsumen pasif pandangan-pandangan al-Ghazali. Demikian juga Sayyid Rasyid Ridha dengan gurunya Syaikh Muhammad ‘Abduh, dia tidak  segan-segan menyebut pendapat gurunya “aneh” jika terbukti kekeliruannya. Jadi, perbedaan pendapat guru dan murid itu sebenarnya merupakan bagian dari keunikan di dalam tradisi keilmuan Islam.

Tesis saya sbagai jawaban atas kesenjangan di atas adalah bahwa antara si murid dan guru, mestinya sama-sama memiliki sikap keterbukaan, inklusifitas dan saling memahami satu sama lain (open minded). Murid dalam kpasitasnya sebagai anak didik, kewajibannya adalah menghormati gurunya. Demikian seorang guru juga harus menyayangi dan memahami muridnya. Seorang guru yang baik adalah guru yang selalu membuka jendela pengetahuan bagi muridnya dan membiarkan si murid berkembang tumbuh secara mandiri menemukan pengetahuan baru yg lebih luas. Karena keberhasilan seorang murid adalah bukti kesuksesan mengajar seorang guru. Dalam konteks politik (pemilu), saya sangat sepakat jikalau seorang guru memberikan arahan kepada muridnya agar memilih paslon tertentu yang sesuai dengan pilihannya, selama saran tersebut tidak bertujuan memaksakan kehendak murid, atau mengekang pendapatnya, apalagi sampai memutuskan “tali” keilmuan jika berbeda warna pilihan dengan dirinya. Sekian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *