Belajar “Religius” dari Kristen Apiao Kepulauan Chiloé (Review Karya Samuli Schielke & Liza Debevec)
Muhammad Syafirin 28/05/2024
Tulisan ini merupakan review bagian keempat dari Ordinary Lives and Grand Schemes yang ditulis oleh Bacchiddu. Bagian ini secara spesifik akan menceritakan tentang aspek-aspek kekristenan yang menyatu padu di dalam kehidupan sosial masyarakat Apiao, yang pada gilirannya, menjadi cerminan kosmologis di wilayah tersebut. Bacchiddu dalam hal ini menyorot dua hal, pertama, memberikan gambaran tentang pengertian religius dalam masyarakat Apiao dengan memotret bagamaimana domain agama bisa merasuk ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di pulau itu; kedua, mengamati bagaimana cara masyarakat Apiao menjalankan agamanya dengan melihat perbandingan dengan sistem keberagamaan Gereja Katolik setempat yang menekankan doktrin yang bersifat normatif (ketat).
Apiao adalah sebuah pulau kecil yang terletak di kepulauan Chiloé. Masyarakat di tempat ini bertahan hidup melalui usaha tani dan ternak, yang ditopang dengan kerja sampingan seperti menangkap ikan, mengumpulkan kerang dan panen rumput laut. Penduduk pulau Chiloé sebagian besar memeluk agama Katolik dan ada sebagian kecil yang memeluk Protestan. Sejarah perjumpaan Apiao dengan ajaran Kristen dimulai dengan kedatangan para biarawan Fransiskan dan Yesuit setelah penjajahan Spanyol pada abad ke-16 dan ke-17. Sebelum masuknya ajaran Kristen di Chiloé, masyarakat di tempat ini terkenal dengan sikap ramah, rendah hati, dan tunduk pada perintah, sehingga dalam sejarahnya, tugas para misionaris kolonial Spanyol menjadi mudah untuk menyebarkan ajaran Kristen di Apiao.
Apa Yang Dimaksud ‘Menjadi Religius’ Bagi Masyarakat Apiao?
Berdasarkan apa yang diceritakan Bacchiddu, kita bisa memberi gambaran tentang bagaimana masyarakat Apiao memahami makna religius itu sendiri. Ada satu ungkapan yang populer di kalangan masyarakat Apiao yang bisa dijadikan ilustrasi makna “religius” di sini: “Pacey las cosas como coyyesponde” yang artinya ‘melakukan segala sesuatu dengan benar’. Agama di Apiao bisa dikatakan muncul begitu saja dalam kegiatan dan praktik sehari-hari, sebagaimana Joanna Overing katakan: “Lihatlah Apiao! kamu akan menemukan sebuah ekspresi religius”. Meski klaim religius sering disematkan kepada mereka, namun hal itu berbeda ketika mereka diminta berbicara tentang agama yang mereka anut dan imani. Mereka tidak bisa menjabarkan apa yang dimaksud iman Katolik dan sebagainya. Yang terpenting bagi mereka adalah satu keyakinan bahwa apa yang mereka praktikkan dalam kehidupan sehari-hari mereka adalah bagian dari nilai-nilai keagamaan yang telah berjalan sekian lama secara turun temurun. Artinya, mereka adalah umat Katolik, namun jika ditanya Katolik itu seperti apa, maka jawabannya adalah apa yang tercermin dari perilaku mereka. Kurang lebih begitu.
Secara gamblangnya, menjadi religius menurut masyarakat Apiao adalah menjadi pribadi yang memiliki etika dan moral, serta tanggung jawab sosial. Perwujudan religius tergambar dari pola pandang masyarakat yang memiliki kekhasan kuat pada otonomi individu. Dalam sudut pandang ini, seorang dewasa (laki-laki dan wanita) dikatakan baik apabila mereka mampu bekerja, tidak ada sistem hirarki yang membedakan jenis pekerjaan buat mereka. Anak-anak mereka diajarkan untuk patuh pada apa yang diperintahkan orang tua, hal itu menjadi kesempatan bagi mereka (anak-anak) untuk membuktikan kapasitas mereka sebagai orang yang punya keterampilan dan rasa tanggung jawab.
Orang yang ‘religius’ bagi masyarakat Apiao adalah mereka yang mengetahui urgensi bagaimana melakukan sesuatu dengan benar, baik kaitannya dengan diri sendiri maupun ketika berinteraksi dengan orang lain. Selain itu, perhatian utama yang ditekankan adalah menjaga tata krama, etika, moralitas, dan sebisa mungkin mendapat kepercayaan di masyarakat. Paling tidak punya image “baik”, tidak menjadi subjek keresahan di masyarakat. Mereka juga harus bisa bergaul secara harmonis dengan orang luar (Apiao), ketika didatangi tamu, mereka menyiapkan hidangan makanan (meski seadanya) sebagai tanda penghormatan kepada mereka. Demikian pula ketika menjadi tamu di rumah orang lain, mereka harus menerima apapun yang disediakan tuan rumah, tanpa memandang kuantias dan kualitas dari apa yang dihidangkan.
Demikianlah masyarakat Apiao memaknai ‘religius’ itu sendiri. Bacchiddu mengatakan, agama yang mereka anut mengalami afiliasi dengan alam semesta moral mereka yang unik, dan itulah yang dinamai keberagamaan sehari-hari. Adapun nilai-nilai yang dipandang tidak memiliki relevansi khusus dalam konteks kelokalan mereka, itu ditinggalkan, terlepas dari posisinya dalam doktrin Kristen konvensional. Seperti contoh, tidak ada penekanan pada pemujaan terhadap Bunda Maria, atau ajaran-ajaran yang terkait dengan doktrin arus utama Gereja Katolik. Kemudian juga, tidak ada wacana tentang surga, neraka, atau keselamatan. Tidak pula ada ketertarikan pada dogma, bahkan mereka tidak menganggap penting sebagian besar ritual keagamaan seperti acara komuni, sumpah pernikahan, atau menjadi orang tua baptis. Padahal, semua hal ini adalah status ritual keagamaan yang diresmikan oleh Gereja. Tetapi dari sekian banyak itu, terdapat dua pengecualian, yaitu pembaptisan dan upacara pemakaman. Karena bagi masyarakat Apiao, pembaptisan merupakan satu hal yang penting, karena hal itu diyakini dapat memberikan status sosial kepada seseorang. Jika anak kecil meninggal tanpa dibaptis misalnya, hal itu dianggap sebagai sesuatu yang fatal dan bisa membawa petaka bagi anak yang meninggal. Demikian halnya dengan pemakaman, di satu sisi mereka memandang ritual pemakaman sebagai cara penghormatan terhadap orang yang sudah meninggal, dan pada sisi lain, keluarga yang ditinggalkan memiliki kewajiban moral dan sosial untuk menjadi tuan rumah bagi orang-orang yang hadir berkumpul di rumah duka selama sembilan hari perayaan. Hal ini berlandaskan pada keharusan sosial untuk membalas budi, atau dengan kata lain membayar hutang jasa.
Demikianlah perwujudan dari orang-orang Apiao dalam “mempopulerkan” agama Kristen, mereka menciptakan versi yang unik dari agama tersebut melalui praktik moral yang berjalan sejak lama secara turun temurun. Gagasan dan pengalaman pertukaran timbal balik yang terus menerus merupakan pusat kosmologi bagi dunia kehidupan di Apiao. Oleh karena itu, pendekatan Apiao yang unik terhadap agama pada dasarnya bersifat relasional: Kekristenan di pulau ini berbaur dengan kewajiban sosial, dan secara efektif menyatu dengan keduanya. Fokus khusus pada aspek-aspek tertentu dari kekristenan (seperti, misalnya, memenuhi kewajiban sosial dan agama sesuai dengan nilai timbal balik), dan pengabaian total terhadap aspek-aspek lainnya (seperti pergi ke Gereja secara teratur atau mengikuti secara ketat doktrin resmi Gereja), memungkinkan penduduk pulau untuk menegaskan dan sejalan dengan pemahaman mereka tentang alam semesta dan diri sendiri. Sekian!
Sumber: Ordinary lives and grand schemes : an anthropology of everyday religion, edited by Samuli Schielke and Liza Debevec (New York: Berghahn Books, 2016)