Antara Tauhid dan Kontestasi Ketuhanan: Analisis Wacana Teologis Islam-Kristen (Review Artikel Adam Dodds)
8 mins read

Antara Tauhid dan Kontestasi Ketuhanan: Analisis Wacana Teologis Islam-Kristen (Review Artikel Adam Dodds)

Muhammad Syafirin, 23/06/2024

Islam dan Kristen merupakan dua bentuk sistem ajaran dengan konsep teologis yang sama. Yakni, meyakini adanya Tuhan yang satu (monoteism), tidak plural (politeism). Namun, sejauhmana kedua agama ini mengejawantah keberadaan Tuhan, adalah alasan kenapa penelitian Adam Dodds ini dilakukan. Dodds dalam artikelnya ini yang berjudul “How do Conceptions of Allah’s Being in Islam Compare with those of God’s Being in Christianity?” melakukan eksplorasi terhadap konsepsi-konsepsi mengenai keberadaan Tuhan yang terkonstruksi dalam doktrin teologis Islam dan Kristen. Melalui pendekatan komparatif, Dodds berusaha menelaah lebih jauh konsep-konsep tersebut, mencari argumen yang lebih kompatibel, serta mencari titik persamaan maupun perbedaannya.

Dari perspektif Islam, Dodds menyoroti dua ayat al-Qur’an yang dianggap populer berbicara tentang eksistensi Allah, yaitu QS. al-Ikhlash [112]: 1, dan QS. an-Nūr [24]: 35, dengan mengacu pada penafsiran teologis Muhammad al-Fudhali (w. 1821 M), seorang ulama Syafi’iyah dan guru besar di al-Azhar University, Mesir. Menurut Dodds, kedua surah di atas telah melahirkan dua klaim sentral yang berkembang dalam ajaran Islam, yaitu bahwa Allah adalah zat yang Maha Esa, dan Dia adalah cahaya (Nūr). Sedangkan dari perspektif Kristen, ia menggali secara serius ayat-ayat dalam al-Kitab serta penjelasan-penjelasan para penafsir Bible untuk mengungkap persoalan yang sama. Meskipun saya kira, Dodds dalam hal ini kurang konsisten dalam memberi perbandingan. Karena ia tidak menyebut siapa tokoh yang menjadi acuannya memahami konsep teologi Kristen seperti yang dilakukannya terhadap al-Fudali.

Tauhid-nya Islam Versus Kristen

Bagi ajaran Islam, konsep tentang tauhid sebagaimana ditegaskan dalam QS. al-Ikhlas ayat pertama, berarti meniadakan adanya keberagaman atau pluralitas dalam diri Allah. Artinya, mustahil Allah memperanakkan makhluk yang bersifat Ilahi, karena bagi Islam istilah memperanakkan mengandung kesan menciptakan, sedangkan sifat Ilahi bermakna tidak diciptakan. Tentu, ini merupakan dua hal yang kontradiktif. Konsep tentang keesaan Allah memberi konsekuensi pada keesaan-Nya dalam segala hal. Termasuk tindakan-tindakan yang dibuat oleh makhluk pada hakikatnya adalah tindakan yang diciptakan oleh Allah itu sendiri.

Adapun konsep keesaan Allah dalam Kristen dinilai oleh Dodds sebagai pandangan yang bertentangan dengan konsepsi dalam ajaran Islam. Kenapa demikian? Karena, konsep Tuhan dalam Kristen terdiri atas tiga uqnum dalam trinitas yaitu Tuhan Bapa, Tuhan Anak dan Roh Kudus. Namun bagi Kristen, Tuhan Bapa yang secara kekal memperanakkan “Tuhan Anak” tidak bisa dipahami dalam konteks bahwa “Anak” tersebut adalah makhluk ciptaan. Apa yang dinapikan oleh QS. al-Ikhlas menyangkut Tuhan yang beranak pinak adalah suatu gagasan yang juga ditolak oleh imannya Kristen.

Dalam Perjanjian Baru disebutkan bahwa “Bapa”, “Anak”, dan “Roh Kudus” adalah satu kesatuan yang bekerja secara koheren, dalam artian tidak parsial. Barangkali, dalam hal ini, pandangan Hitchcock sangat relevan untuk dipegang dalam mendudukkan pertentangan di atas. Menurut Hitchcock, Islam dan Kristen seringkali menggunakan kata/istilah yang serupa untuk menunjuk atribut-atribut tertentu, tetapi mengarah pada konsepsi pemaknaan yang berbeda, bahkan bertentangan. Dari sini, Dodds kemudian memberi kesimpulan bahwa, konsep keesaan Allah yang dipahami Islam dengan konsep keesaan tritunggal menurut Kristen mengandung perbedaan yang sangat signifikan alias tidak bisa dikompromi. Bahkan, lanjut Dodds, penggunaan istilah yang sama seperti “kesatuan”, “kekuasaan”, “diperanakkan”, dan “penciptaan”, dalam dua ajaran di atas, berangkat dari konsep-konsep dasar yang bukan hanya berlainan tafsir, tetapi juga bertentangan satu sama lain.

Konsep Antara “Cahaya” dan “Terang”

Dalam al-Qur’an, ayat yang menyetir tentang Allah sebagai ‘cahaya’ (an-Nūr) terdapat dalam QS. An-Nūr [24]: 35, sedangkan Allah sebagai “terang” dijelaskan di dalam 1 Yohanes 1:5. Dalam analisisnya, Dodds mengemukakan bahwa, dalam ajaran Islam, apa yang digambarkan dengan “cahaya” (nūrun ‘alā nūr) pada ayat tersebut tidak merujuk pada konsep tentang keberadaan Allah, melainkan berbicara tentang af’al atau perbuatan-Nya. Sementara dalam iman Kristen, kata “terang” atau cahaya justru menggambarkan keduanya, yakni keberadaan Tuhan sekaligus perbuatan-Nya. Memang harus diakui—lanjut Dodds—bahwa, Islam maupun Kristen memiliki kemiripan [bukan sama] dalam konteks kali ini. Tetapi, hal tersebut menjadi berbeda ketika masuk pada penafsiran atas konsep tersebut. Di situ, terlihat jelas adanya ketidaksinambungan yang terjadi sebagaimana Shummack mengistilahkannya sebagai “pola legislasi interaksi Ilahi/manusia” dalam sudut pandang Islam, dan “persekutuan interaksi Ilahi manusia” dalam imannya Kristen.

Karena itu, berdasarkan analisisnya, Dodds memberi kesimpulan yang cukup sederhana, bahwa konsepsi keberadaan Allah menurut Islam dan Kristen tidak bisa disamakan. Karena, meskipun adanya sebagian aspek yang terkesan mirip, tapi pada akhirnya tetap melahirkan penafsiran atau pemahaman teologis yang berbeda. Maka, dalam konteks ini, Dodds menilai bahwa Islam bukanlah lantai kedua yang dikonstruksi di atas lantai pertama Kekristenan, teapi, ia adalah sebuah konstruksi bangunan yang sama sekali baru. Inilah poin inti dari apa yang Dodds lakukan dalam kajiannya.

Apa yang dilakukan Dodds dalam kajiannya ini, memberikan kontribusi yang penting dalam melihat bagaimana struktur teologis yang dimani umat Islam maupun Kristen. Dapat dikatakan bahwa, Dodds ingin memberi penegasan di mana Islam sebagai agama yang muncul belakangan setelah Kristen merupakan sebuah konstruksi ajaran yang bukan bertujuan untuk menghapus bangunan teologis sebelumnya (Kristen), tetapi Islam hendak membangun konsep teologis baru yang berdiri sendiri. Itu sebabnya, dari hasil analisis di atas tampak adanya perbedaan yang ketat antar keduanya. Namun, satu hal yang perlu garisbawahi, kendati perbedaan dan pertentangan tersebut niscaya dan tidak bisa dihindari, namun mereka sepakat atas keyakinan tentang ketunggalan Tuhan. Hanya saja, perdebatan kompleks di atas terjadi pada ranah yang sifatnya legal struktural.

Salah satu kelebihan Dodds dalam penelitiannya ini terletak pada sumber literatur yang sangat kaya. Dia tidak hanya melakukan analisis berdasarkan pandangan al-Fudali semata, tetapi dia menampilkan begitu banyak pendapat-pendapat lainnya dari tokoh-tokoh mufasir kenamaan, seperti Ibnu Katsīr, Jalāluddīn al-Suyūṭī, Ṭabāṭabā‘ī dan lain sebagainya. Di samping itu, dia juga merujuk pada kitab-kitab hadis dan sirah Nabi untuk memperkuat argumentasinya. Demikian juga ketika dia menganalisis pandangan teologis Kekristenan, dia menelaah sebanyak mungkin keterangan melalui Perjanjian Lama dan Perjanjian  Baru, yang ditopang dengan berbagai pandangan dari sarjana Barat, dan penafsiran-penafsiran dari tokoh-tokoh Kristen populer tentunya.

Meski demikian, ada beberapa catatan yang perlu ditengadahi dari kajian Dodds. Yang pertama, dalam kaitannya dengan al-Fudali sebagai rujukan pemikiran tokoh. Dalam artikelnya, Dodds tidak menjelaskan di awal tulisannya mengenai alasan memilih al-Fudali. Bukankan kajian yang dilakukannya berkaitan dengan konsep teologis? Seharusnya, yang dirujuk adalah pandangan ulama-ulama yang berkecimpung dalam bidang teologi, misalnya Imām Ḥasan al-Asy‘arī sebagai peletak dasar mazhab teologi Sunni. Atau tokoh kaliber seperti  al-Ghazālī yang memiliki reputasi ternama dalam Islam terutama di bidang teologi. Terlebih al-Ghazālī juga memiliki satu kajian kritis tentang konsep ketuhan ‘Isa dalam pandangan Kristen dalam karyanya yang berjudul ar-Radd al-Jamīl. Sejauh pengamatan saya terhadap artikel Dodds, ia tidak pernah sekalipun merujuk pada pandangan al-Ghazali. Yang ada, ia justru merujuk pada litaratur tafsir yang bercorak non-teologis seperti tafsir Ibnu Katsiī dan tafsirnya Ṭabāṭabā‘ī.

Selain itu, dalam melakukan analisis tokoh, seharusnya Dodds menunjukkan sikap proporsionalnya sebagai peneliti. Dari tulisannya, nampak bahwa pandangan al-Fudhali dari pihak Islam sangat mendominasi artikelnya, sedangkan tokoh yang mewakili argumentasi Kristen tidak dilakukannya. Di sini, terdapat ketidakseimbangan dalam perbandingan yang dilakukan. Kemudian, menyangkut kesimpulan yang ia bangun, bahwasanya Islam bukanlah lantai kedua dari bangunan lantai pertama agama Kristen, adalah sebuah kesimpulan yang perlu ditinjau kembali. Karena, ayat-ayat al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa Islam hadir untuk menyempurnakan ajaran/syariat sebelumnya. Dalam konteks keilahian Yesus, mestinya dijelaskan secara komprehensif bagaimana konsep Ilahi dapat melekat pada diri seorang Yesus, sebagaimana sifat keilahian al-Qur’an yang mewujud dalam rupa kertas dan lafaz. Jika Islam meyakini adanya keilahian pada diri al-Qur’an, maka apa bedanya dengan Kristen yang meyakini keilahian pada diri Yesus. Dalam hal ini, yang bertentangan bukanlah prinsip tentang keesaan Allah itu sendiri, melainkan konsep yang berbeda dalam mendudukkan posisi al-Qur’an dan Yesus yang sama-sama sebagai wahyu Ilahi yang termanifestasi.

Namun demikian, saya mendapat banyak pengetahuan baru dari kajian Dodds ini, sebuah kajian yang dibangun berdasarkan sikap kesarjanaan yang serius. Sebetulnya, banyak kajian serupa yang dilakukan peneliti-peneliti sebelumnya, namun kesimpulan yang dihasilkan Dodds dalam artikelnya ini melanjutkan diskusi itu sekaligus membuka ruang diskurusus berikutnya. Kesimpulannya cukup berani dan menegaskan bahwa Islam dan Kristen memang tidak bisa disamakan atau disatukan. Bangun teologis yang ada pada keduanya adalah dua dimensi yang bukan hanya berbeda dalam pemahaman, tetapi juga berbeda dalam keyakinan. Sekian!

Sumber artikel: Adam Dodds, “How do Conceptions of Allah’s Being in Islam Compare with those of God’s Being in Christianity,” EQ, 90.1 (2019), 38-60

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *