DIVERSITAS MAKNA SHALAT DAN SEMBAHYANG [Telaah Kritis Berdasarkan Tinjauan Historis]
6 mins read

DIVERSITAS MAKNA SHALAT DAN SEMBAHYANG [Telaah Kritis Berdasarkan Tinjauan Historis]

Muhammad Syafirin, 21 Desember 2020

Shalat merupakan simbol audiensi seorang hamba dengan Tuhan. Dalam ajaran Islam, shalat dianggap sebagai tiang agama, karena dengannya seorang hamba akan merasa semakin dekat dengan Allah; berdialog dan berinteraksi dengan-Nya. Kebutuhan manusia terhadap shalat adalah hal yang wajar. Karena dalam pandangan agama, manusia tersusun dengan dua unsur yang berbeda, unsur jasmani dan rohani, yang keduanya sama-sama membutuhkan asupan energi menurut takaran dimensi masing-masing. Tubuh manusia yang berasal dari materi, tentunya mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang bersifat material. Demikian juga roh manusia yang bersifat immateri, ia mempunyai kebutuhan terhadap hal-hal yang bersifat spiritual.

Kata shalat adalah istilah yang diperkenalkan Islam sebagai tata cara seorang muslim dalam melakukan penyembahan kepada Allah SWT. Namun dalam konteks Nusantara, kata ‘shalat’ seringkali disamakan dengan ‘sembahyang’. Alasannya adalah di samping istilah ‘sembahyang’ telah akrab bagi penutur masyarakat Nusantara, juga dinilai lebih praktis penyebutannya daripada kata ‘shalat’.

Istilah ‘shalat’ dan ‘sembahyang’ ini, sempat menjadi wacana kelompok sektarian Islam di Indonesia. Dimana ada sebagian dari mereka yang alergi  menggunakan istilah ‘sembahyang’, dan sebagian lagi tetap membolehkannya. Golongan pertama, menganggap istilah ‘sembahyang’ bukanlah tradisi Islam yang diajarkan Nabi, sehingga tidak boleh dipakai untuk menggantikan kata ‘shalat’. Kemudian sekte kedua, tetap membolehkan hal tersebut, dengan alasan bahwa para Walisongo pernah menggunakan kata tersebut untuk menyebut ritual shalat. Kalaupun hukumnya tidak boleh, tentunya para Walisongo tidak akan menggunakannya waktu itu.

Terlepas dari kedua pendapat di atas, penulis bukan dalam posisi membenarkan atau menyalahkan salah satu pendapat. Akan tetapi, dalam hemat penulis, ada baiknya bila kita melihat konteks sejarah dimana kedua istilah tersebut digunakan, sehingga dengan begitu, akan terlihat jelas relevansi keduanya dalam kultur Nusantara saat ini.

Dahulu pada zaman pra Islam, istilah ‘shalat’ telah dikenal dan digunakan oleh orang-orang Arab. Dan kata ‘shalat’ berasal dari bahasa Ibrani ‘shaluta’ yang bermakna ‘doa’. Jadi, kata ‘shalat’ pada dasarnya bukanlah kosakata Islami. Ia kemudian mengalami spesifikasi makna setelah Islam menggunakan kata tersebut dalam ritual keagamaannya. Hal ini diungkapkan oleh seorang ulama besar, Muhammad Khudlari Bik, dalam Tarikh Tasyri’ al-Islami.

Adapun istilah ‘sembahyang’, berasal dari dua kata; Sembah dan Hyang, yang artinya menyembah Sanghyang/Sangiang. Dalam konsepsi teologis Sunda pra Hindu, Sanghyang diyakini sebagai Sang Pencipta Yang Esa (Batara Tunggal). Hyang diyakini menguasai seluruh roh-roh dan mengendalikan seluruh kekuatan alam. Kemudian, setelah pengaruh Hindu berkembang di Nusantara, konsep ke-esa-an Hyang ini tetap terpelihara dalam keyakinan masyarakat. Karena semua dewa-dewa tunduk dan takluk pada Sanghyang, serta kekuatannya dianggap melebihi dewa-dewa yang muncul kemudian. Maka, istilah ‘sembahyang’ ini lahir berdasarkan tradisi ritus penyembahan terhadap Hyang (Yang Tunggal), sebagaimana shalat di dalam tradisi Islam, sebagai penyembahan kepada Allah Yang Maha Esa.

Ketika Islam mulai tersebar ke Nusantara, para Da’i Islam (Walisongo) menggunakan pendekatan budaya untuk mensyiarkan Islam. Termasuk memakai kosakata populer seperti  ‘sembahyang’ untuk menyebut perintah shalat. Tujuannya adalah agar masyarakat Nusantara memeluk Islam dengan tulus dan tanpa kekerasan. Konsep demikian dalam istilah Azyumardi Azra, disebut sebagi vernakularisasi.

Kalau kita mengacu pada konteks sejarah kemunculannya, baik kata ‘shalat’ maupun ‘sembahyang’, keduanya memiliki sisi persamaan dan perbedaan yang subyektif. Persamaan keduanya dapat dilihat dari substansinya yang sama-sama digunakan sebagai penyembahan kepada kekuatan gaib yang Maha Tunggal. Namun jika dilihat dari persepsi masyarakat dan prosesi ritualnya, penulis menilai, keduanya memiliki perbedaan yang cukup rival.

Seorang cendekiawan Islam Indonesia, Harun Nasution, menolak istilah ‘sembahyang’ jika disamakan dengan ‘shalat’, karena ‘sembahyang’ berasal dari suatu bahasa yang menggunakan falsafah lain dari falsafah Islam. Dahulu, sembahyang digunakan oleh masyarakat primitif (dinamisme, animisme, politeisme) untuk melakukan penyembahan terhadap kekuatan gaib atau dewa-dewa yang diyakini sebagai penguasa alam. Dan pada masa itu, orientasi ketuhanan dalam persepsi masyarakat masih terkesan misterius, ditakuti dan mesti disembah disertai pemberian sesajen agar ia tidak murka dan memberikan bencana bagi alam.

Kemudian dalam masyarakat yang sudah maju, agama yang dianut bukan lagi dinamisme, animisme, politeisme, tetapi agama monoteisme; agama tauhid (Islam, Kristen, Yahudi). Agama monoteisme, bukan lagi mencari keselamatan hidup material (duniawi) saja, sebagaimana yang dilakukan agama primitif di atas, tetapi yang terpenting juga mencari keselamatan hidup yang bersifat spiritual (ukhrawi) dengan cara menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak-Nya.

Di sinilah letak perbedaan besar antara agama-agama primitif dengan agama monoteisme. Dalam agama-agama primitif manusia mencoba menyogok dan membujuk kekuasaan supranatural dengan penyembahan dan saji-sajian supaya mengikuti kemauan manusia, sedangkan dalam agama monoteisme manusia sebaliknya tunduk kepada kemauan Tuhan.

Maka, kata ‘sembahyang’ yang mengandung arti demikian, ketika dibawa ke dalam konteks Islam (shalat), akan menimbulkan perubahan dalam konsep Tuhan yang ada dalam Islam. Dalam Islam Tuhan bukanlah suatu zat yang misterius dan ditakuti, tetapi Tuhan adalah suatu zat yang mesti dikasihi. Hal ini dapat kita lihat dalam ayat pertama dalam Al-Qur’an yang berbunyi, bismillahirrahmanirrahim. Rahman dan Rahim berarti Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kedua sifat pada lafaz ini memiliki makna universalitas bagi seluruh alam semesta. Jadi, Tuhan tidak pantas untuk ditakuti (dalam pengertian ibadah), karena bertentangan dengan makna yang terkandung pada lafaz basmalah tadi.

Dalam Islam sendiri, seorang hamba yang menyembah Allah karena menaruh rasa takut akan siksa-Nya, menempati posisi terendah dalam ibadah. Berbeda dengan mereka yang menyembah Allah dengan rasa kasih dan ridla, telah dijanjikan maqam (tingkatan) tertinggi di sisi-Nya. Bahkan, Islam juga memandang tujuan ibadah bukanlah untuk menyembah dalam pengertian yang sempit, karena pada dasarnya Tuhan tidak berhajat untuk disembah atau dipuja manusia. Tuhan adalah zat Yang Maha Sempurna dan tidak membutuhkan siapapun. Akan tetapi, Tuhan memerintahkan beribadah sebagai sarana bagi manusia untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Lalu bagaimana dengan konteks Islam di Nusantara yang masih menggunakan kata ‘sembahyang’, apakah mereka patut disalahkan? Penulis menilai hal ini boleh-boleh saja selama tujuannya tepat, toh juga keduanya hanyalah sebuah istilah. Namun alangkah elegannya, apabila kita sebagai masyarakat muslim yang ingin menjiwai tujuan ibadah itu sendiri, menggunakan istilah ‘shalat’. Sebab, di samping ibadah shalat itu memiliki nilai filosofis yang berbeda dengan sembahyang, dia juga merupakan istilah yang diperkenalkan oleh Allah dalam Al-Qur’an.

Semoga bermanfaat..!

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *