Puisi-puisi et Thalib
1 min read

Puisi-puisi et Thalib

Kisah Seorang Penyair Amatir

 

Inilah kisah seorang penyair amatir yang terisolir

Kebingungan ia tak punya perkumpulan susastra

Kemudian terburu-buru ia memburu kelas-kelas menulis puisi termutakhir

“Mohon maaf kelas sudah penuh” pesan singkat mengakhiri pencariannya

 

Ia tak habis pikir

Semua kelas menutup jaringannya rapat-rapat

Membungkam jari-jarinya yang mulai ketar ketir

“Aku memang tak punya bakat untuk membayar terlalu mahal!” hampir-hampir ia mengumpat

 

Tak ingin karir puisinya mati suri

Ia mulai membuka kolom pencarian menziarahi penyair-penyair favoritnya

Tak perlu permisi tanpa komat-kamit wirid dan doa

Dibacanya beberapa puisi

Direkanya berpuluh-puluh diksi

Tiba-tiba rima dan irama sudah diadopsi menjadi milik sendiri

 

Semalaman suntuk penyair amatir memenjara rasa kantuk

Di penghujung pagi matanya mengalir tangis haru

Sebuah puisi pertama hasil perselingkuhannya lahir ke dunia yang baru

Bertitikmangsa whatsapp  instagram twitter dan facebook

 

Layaknya bayi pada umumnya ia merayakannya seolah-olah puisi itu bersih dari dosa dan lupa

Di sana sini ia menyiar kabar sambil menepuk dada menyapa pengikutnya di mana-mana

Orang-orang itu pun berbondong-bondong menodongnya dengan sejumlah pertanyaan

“Bagaimana aku bisa seperti anda?”

“Siapa yang mengajari anda?”

“Lalu berapa honor anda?”

 

Hihih Hihih  ia terkekeh  membaca pertanyaan pemirsa

Ia seperti menonton komedi yang dipenuhi humor belaka

Hampir-hampir ia membanting gawainya

Trauma sang penyair amatir campur aduk masih tersisa

 

Lombok,  September 2021

 

Puisi tanpa Kertas

 

Ini bukan soal harga kertas yang terus menjadi korban pembalakan

Semua tahu hutan-hutan kita sudah tak tahan

Sudah waktunya kita kembali kepada Tuhan

 

Napas puisi-puisi itu mulai ikut sesak menyesakkan

Hingga ia tersesat berserakan di jejaring sosial

Ke sana sini mengais rezeki mencari makan

 

Di jalanan sajak-sajak meneriakkan kebebasan

Demokrasi puisi disuarakan

Para pegiat literasi turun mendemontrasi headline koran-koran

 

Puisi-puisi yang kau baca tak lagi sakral

Kata-kata tak lagi mewakili suara rakyat dengan vokal

Tak lama lagi ruang-ruang puisi kita berkamuflase menjadi wisata museum lokal

 

Lombok, September 2021

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *