Puisi-puisi et Thalib
Kisah Seorang Penyair Amatir
Inilah kisah seorang penyair amatir yang terisolir
Kebingungan ia tak punya perkumpulan susastra
Kemudian terburu-buru ia memburu kelas-kelas menulis puisi termutakhir
“Mohon maaf kelas sudah penuh” pesan singkat mengakhiri pencariannya
Ia tak habis pikir
Semua kelas menutup jaringannya rapat-rapat
Membungkam jari-jarinya yang mulai ketar ketir
“Aku memang tak punya bakat untuk membayar terlalu mahal!” hampir-hampir ia mengumpat
Tak ingin karir puisinya mati suri
Ia mulai membuka kolom pencarian menziarahi penyair-penyair favoritnya
Tak perlu permisi tanpa komat-kamit wirid dan doa
Dibacanya beberapa puisi
Direkanya berpuluh-puluh diksi
Tiba-tiba rima dan irama sudah diadopsi menjadi milik sendiri
Semalaman suntuk penyair amatir memenjara rasa kantuk
Di penghujung pagi matanya mengalir tangis haru
Sebuah puisi pertama hasil perselingkuhannya lahir ke dunia yang baru
Bertitikmangsa whatsapp instagram twitter dan facebook
Layaknya bayi pada umumnya ia merayakannya seolah-olah puisi itu bersih dari dosa dan lupa
Di sana sini ia menyiar kabar sambil menepuk dada menyapa pengikutnya di mana-mana
Orang-orang itu pun berbondong-bondong menodongnya dengan sejumlah pertanyaan
“Bagaimana aku bisa seperti anda?”
“Siapa yang mengajari anda?”
“Lalu berapa honor anda?”
Hihih Hihih ia terkekeh membaca pertanyaan pemirsa
Ia seperti menonton komedi yang dipenuhi humor belaka
Hampir-hampir ia membanting gawainya
Trauma sang penyair amatir campur aduk masih tersisa
Lombok, September 2021
Puisi tanpa Kertas
Ini bukan soal harga kertas yang terus menjadi korban pembalakan
Semua tahu hutan-hutan kita sudah tak tahan
Sudah waktunya kita kembali kepada Tuhan
Napas puisi-puisi itu mulai ikut sesak menyesakkan
Hingga ia tersesat berserakan di jejaring sosial
Ke sana sini mengais rezeki mencari makan
Di jalanan sajak-sajak meneriakkan kebebasan
Demokrasi puisi disuarakan
Para pegiat literasi turun mendemontrasi headline koran-koran
Puisi-puisi yang kau baca tak lagi sakral
Kata-kata tak lagi mewakili suara rakyat dengan vokal
Tak lama lagi ruang-ruang puisi kita berkamuflase menjadi wisata museum lokal
Lombok, September 2021
