Robohnya surau kami
Judul buku : Robohnya surau kami
Penulis : A.A .Navis
Kota terbit : Jakarta
Desain sampul : Muliono
Penerbit : PT Gramedia pustaka utama
Tahun terbit : 1956
Jumlah halaman : 139 hal
Inti sari :
Cerpen ini mengisahkan tentang seorang tokoh utama bernama Pak Salleh, seorang imam yang sangat mencintai surau tempat ia mengajar agama. Surau tersebut merupakan pusat kegiatan keagamaan dan menjadi tempat berkumpulnya masyarakat desa. Namun, suatu hari, surau tersebut roboh akibat hujan deras dan angin kencang.
Kejadian ini mengguncang masyarakat desa, terutama Pak Salleh yang merasa sangat sedih dan kehilangan. Surau yang merupakan tempat ibadah dan tempat berbagi ilmu agama bagi masyarakat desa, sekarang hanya tinggal reruntuhan. Masyarakat desa merasa kehilangan tempat yang mereka anggap sebagai pusat spiritual dan kehidupan mereka.
Namun, meskipun terguncang oleh kejadian tersebut, masyarakat desa tidak menyerah. Mereka bersatu untuk membangun kembali surau mereka. Masyarakat desa bekerja sama, saling membantu, dan mengumpulkan dana untuk memulai rekonstruksi surau. Semangat gotong royong dan kebersamaan masyarakat desa tercermin dalam upaya mereka untuk membangun kembali surau yang roboh.
Cerpen ini menggambarkan nilai-nilai kebersamaan, kekuatan komunitas, dan semangat untuk bangkit dari keterpurukan. Meskipun surau mereka roboh, masyarakat desa tidak menyerah dan tetap berjuang untuk memulihkan tempat ibadah mereka. Cerita ini juga mengajarkan tentang pentingnya menjaga dan menghargai tempat-tempat suci serta pentingnya kebersamaan dalam menghadapi cobaan.
Biografi pengarang :
- A. Navis, yang nama lengkapnya Ali Akbar Navis, lahir di Kampung Jawa, Padang Panjang, Sumatra Barat pada 17 November 1924 dan meninggal pada 22 Maret 2003 di Padang setelah menjalani perawatan di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta. A. A. Navis menikah dengan Aksari Yasin tahun 1957 dan dikaruniai tujuh orang anak, yaitu Dini Akbari, Lusi Bebasari, Dedi Andika, Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan Rika Anggraini. Julukan yang diberikan pada Navis adalah “pencemooh nomor wahid” dan “sastrawan satiris ulung”. Julukan itu muncul dalam berbagai tulisan tentang Navis, antara lain sebagaimana yang muncul dalam majalah Sastra, Volume I, Edisi 3 Juli 2002. Gelar sebagai “pencemooh nomor wahid” atau “satiris ulung” itu tentu saja berkorelasi dengan gaya penulisan dan penggambaran karakter tokoh-tokoh yang kritis terhadap berbagai persoalan kehidupan dalam karya-karyanya. Sejak cerpen pertamanya “Robohnya Surau Kami” terbit dalam majalah Kisah tahun 1955, Navis mengejutkan pembaca sastra Indonesia dengan sindiran yang amat tajam terhadap pelaksanaan kehidupan beragama, disusul dengan novelnya yang berjudul Kemarau (1967). Novel ini menggambarkan bagaimana konyolnya manusia-manusia dalam menghadapi cobaan dari Tuhan, yaitu kemarau yang panjang. Penggambaran seperti itu muncul lagi dalam cerpennya yang berjudul “Jodoh”. Berbagai cemoohan terhadap tradisi, takhyul, rendahnya kedudukan perempuan, serta gaya hidup hedonis dengan menghamburkan uang untuk perhelatan sebagai “keharusan sosial” juga mewarnai karya-karyanya.
Kelebihan :
cerpen ini mampu mengungah emosi pembaca dengan menggambarkan kehilangan yang dirasakan yang di rasakan oleh masyarakat desa akibat robohnya surau mereka. cerpen ini menekankan pentingnya kebersamaan dan gotong royong dalam menghadapi cobaan, dan cerpen ini mengajarkan tentang ketahanan dan semangat untuk bangkit kembali setelah mengalami kehilangan.
Kekurangan :
Beberapa karakter dalam cerpen ini tidak memiliki pengembangan yang mendalam, karena penjelasan tentang latar belakang, motivasi, dan perasaan mereka.plot cerpen ini relatif sederhana dan tidak banyak memiliki konplik dan gaya penulisan dalam cerpen ini cenderung konsisten dan kurang variasi membuat pembaca merasa monoton atau bosan.
Kesimpulan : ada beberapa hal yang dapat di simpulkan dari cerpen di atas antara lain :
- Perubahan sosial dan politik dapat memiliki dampak yang signifikan pada kehidupan masyarakat.
- Nilai-nilai tradisional dan agama dapat terancam oleh modernisasi. Cerpen ini menggambarkan bagaimana surau, sebagai simbol kehidupan agama dan tradisi, terabaikan dan akhirnya roboh karena kurangnya perhatian dan perubahan sosial.
- Kehilangan identitas dan nilai-nilai budaya. Cerpen ini menyoroti bagaimana masyarakat desa Melayu kehilangan identitas dan nilai-nilai budaya mereka karena pengaruh modernisasi dan perubahan sosial yang cepat.
- Pentingnya mempertahankan dan menghargai warisan budaya dan agama. (Hasani)