ANTARA TUAN GURU, GURU TUAN DAN TUAN USTAD
8 mins read

ANTARA TUAN GURU, GURU TUAN DAN TUAN USTAD

Muhammad Syafirin, 16/08/2022

Tidak dapat disangkal bahwa gelar ‘Tuan Guru’ merupakan bagian dari kekayaan/khazanah terpenting yang sampai saat ini masih eksis dipergunakan sebagai verbum tabik dalam kehidupan religius masyarakat Sasak (Lombok). Kita tahu, istilah ‘Tuan Guru’ merupakan gabungan dari dua kata; yaitu “Tuan” dan “Guru”. Secara bahasa, kata “Tuan” berarti seorang yang telah menunaikan kewajiban ibadah haji (bukan umrah), sedangkan “Guru” berarti sebagai seorang pembina/pembimbing suatu fan keilmuan tertentu, baik yang bersifat formal atau non-formal.

Pengertian ini membawa kepada dua identitas utama seorang Tuan Guru; pertama, ia adalah seorang haji yang memiliki tanggung jawab moral religius dalam kehidupannya sehari-hari, kedua, ia memiliki profesi sebagai seorang pengajar. Dalam masyarakat Sasak, seseorang yang dipanggil “Guru” adalah mereka yang mengajar, memiliki murid, atau memiliki jamaah pengajian.

Dalam sudut pandang historis, gelar Tuan Guru memiliki makna yang lebih spesifik dan mendalam jika dibandingkan pengertian di atas. Hal ini patut diperjelas bagi sebagian masyarakat kita yang belum memahami konsep “Tuan Guru” secara komprehensif, karena dikhawatirkan akan terjadi kekaburan/distorsi makna terhadap siapa yang sesungguhnya disebut sebagai ‘Tuan Guru’ (bi al-haqîqah). Karena belakangan ini kita kadang sulit membedakan mana ‘Tuan Guru,’ ‘Guru Tuan,’ atau bahkan ‘Tuan Guru Ustad’!? Keduanya kerapkali dipersepsikan sebagai entitas yang tunggal. Memang harus diakui bahwa, menentukan perbedaan keduanya tidaklah mudah. Kita dihadapkan dengan konteks sosial yang ambigu dalam ruang koeksistensi yang lazim. Di mana sorban, jubah maupun imamah tidak dapat dijadikan tolok ukur terhadap perbedaan tersebut. Demikian juga kepiawaian verbal dan retorika religius, tidak bisa dijadikan dalih untuk memantaskan seseorang sebagai ‘Tuan Guru.’ Lalu siapa sesungguhnya ‘Tuan Guru’ itu? Bagaimana kualifikasi yang lazim bagi seorang Tuan Guru?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, hal utama yang harus kita lakukan adalah memahami makna ‘Tuan Guru’ dalam konteks yang hakiki. Gelar ‘Tuan Guru’―sebetulnya―memiliki penekanan makna yang sama dengan gelar ‘Kiyai’ di pulau Jawa. Kiyai Saḥal Mahfuzh, seorang faqih asal Pati Jawa Tengah, menyebutkan bahwa Kiyai dalam pemaknaan periode awal ialah laqab khash (julukan khusus) bagi seorang ‘âlim ‘allâmah yang dihiasi dengan kepribadian luhur (akhlaq al-karîmah) dan bar al-fahhâmah (luas pengetahuan) dalam bidang syari’at. Seorang yang berhak mendapat laqab ini―menurut Kiyai Saḥal―adalah mereka yang memenuhi tiga syarat utama; yaitu ‘âlim (luas wawasan ilmu agama), muta’âmil (kontinuitas pengamalan), dan shûfiyyun (intuitif akhlaki).

Prof. Jamaluddin, seorang sejarawan Islam Lombok, dalam bukunya Sejarah Islam Lombok Abad XVI-XX, mengemukakan pengertian senada dengan Kiyai Saḥal. Namun di sini, Prof. Jamal memberi beberapa keterangan yang lebih luas, terutama pada aspek sosialitas dan hubungan rantai (sanad) ideologis seorang Tuan Guru. Prof. Jamal menyebutkan bahwa ‘Tuan Guru’ merupakan sebutan bagi seseorang yang memiliki keluasan wawasan ilmu agama (faqîh), di samping memiliki posisi kharismatik di tengah masyarakat dengan kreativitas religius-spiritual yang dibangunnya melalui majelis-majelis pengajian atau pondok pesantren, dan atau memiliki latar belakang hubungan (sanad keilmuan) dengan tokoh-tokoh (ulama) yang berpengaruh di Timur Tengah atau di belahan dunia Islam lainnya.

Prof. Jamal mengakui adanya dinamika yang terjadi dalam perjalanan masyarakat Sasak tentang pemberian gelar ‘Tuan Guru.’ Pada dekade sekitar abad ke-18 hingga akhir abad ke-19, pemberian gelar tersebut masih bersifat “ketat” dan “sakral”, bahkan seorang Tuan Guru juga diidentikkan dengan hal-hal yang supranatural (karâmah), mereka sering menampakkan sesuatu di luar kemampuan manusia pada umumnya, seperti mengobati, meramal atau keahlian yang berhubugan dengan dimensi ruhani (alam gaib). Pada periode ini, tokoh yang terkenal adalah TGH. Umar Buntimbe dengan kitab yang ditulisnya berjudul Kitâb Fâl. Kitab ini berisi tentang ramalan-ramalan masa depan atau kejadian-kejadian yang akan terjadi di masa mendatang. Demikian juga TGH. Abdul Ghafur (1754-1904) asal Sumbek, kitab yang ditulisnya dianggap memiliki kekuatan mistik yang luar biasa, bahkan hingga sekarang kitab itu dijadikan sebagai sarana pemenuhan hajat-hajat tertentu, terutama bagi kalangan pejabat-pejabat yang memiliki cita-cita sebagai pemangku jabatan pemerintahan. Selain itu, ada namanya Kitab Wariga, Kitab Pelinduran, Kitab Selawatan dan banyak lagi lainnya, yang kesemuanya menunjukkan bahwa eksistensi Tuan Guru pada periode-periode awal, memiliki kriteria syarat yang tidak mudah dimiliki banyak orang, sehingga pemberian gelar ‘Tuan Guru’ juga tidak semudah yang dibayangkan.

Akan tetapi, setelah memasuki abad ke-20, persyaratan-persyaratan menjadi Tuan Guru semakin melunak. Ntah siapa yang melunakkannya. Yang jelas, seorang Tuan Guru tidak mesti yang pernah mengilmu Islam di Timur Tengah, atau mempunyai karomah, tetapi cukup pernah naik haji dan memliki pondok pesantren, atau karena orang tuannya adalah seorang Tuan Guru. Kenyataan ini tidak sepenuhnya dapat dipertentangkan, karena dunia dengan sifat dinamisnya dapat meniscayakan perubahan-perubahan yang relatif cepat dan bahkan tak terbatas. Tetapi setiap dinamisasi konteks tentunya membutuhkan respon kritis guna menjaga vitalitas nilai yang dibangun sekian abad lamanya.

Dalam konsep Tuan Guru, kita perlu bersikap kritis, atau merevitalisasi pemahaman dan pandangan masyarakat sebagai agent pemberi “gelar” Tuan Guru. Karena ‘Tuan Guru’ merupakan ijazah masyarakat, bukan akademik, maka masyarakat dituntut selektif dan proporsional. Artinya mereka punya kesadaran dan tanggung jawab dalam pemberian gelar tersebut. Namun kenyataan yang sering merancu dan memainkan peran di sini adalah fanatisme dan banalitas sektarian. Terkadang, masyarakat kita cenderung memaksakan kehendak, mereka memberi gelar yang tidak sesuai dengan kapasitas orang yang diberi gelar atau belum masanya mendapatkan itu. Sama halnya dengan menyebut nasi kepada beras yang belum ditanak, atau menyebut minyak kepada air santan yang belum dibakar. Sehingga yang terjadi adalah kasus-kasus di mana kita melihat seorang Tuan Guru tidak bisa membaca kitab kuning (turost), kurang pandai membaca al-Qur’an, dan kekurangan-kekurangan lainnya.

Kasus lain dalam konteks yang sama sering juga terjadi ketika seorang ustad, belum naik haji,  namun oleh jamaahnya disebut sebagai Tuan Guru. Ini yang lebih ‘sesat’. Hal ini, menurut saya, terjadi karena dua faktor, boleh jadi si jamaahnya menganggap seorang ustad itu telah berhaji karena kebiasaannya memakai atribut seorang haji (peci putih, jubah, imamah, sorban), atau karena ketidaktahuan mereka tentang konsep Tuan Guru. Jika dilihat dengan kaca mata dialektik, maka faktor pertama ini agaknya lebih tepat, karena kalau kita lihat, masyarakat Lombok itu memiliki budaya yang masih kental dengan simbol-simbol. Masyarakat yang belum naik haji biasanya akan merasa malu bahkan enggan menggunakan peci putih atau jubah putih untuk tampil di halayak umum, karena itu adalah simbolitas haji. Demikian juga dengan imamah, karena itu secara khusus dipakai oleh seorang Tuan Guru atau masyarakat yang telah naik haji pada umumnya.

Saya di sini bukan dalam konteks ‘menyerang’ atau melawan arus masyarakat kita, tetapi saya hanya ingin mengungkap faktualitas yang terjadi dengan sikap kritis saya sebagai seorang akademisi. Saya menginginkan sebuah kesadaran kita bersama khususnya masyarakat Lombok, agar bersikap proporsional dalam hal ini. Karena bagi saya, Tuan Guru adalah warisan berharga dan khazanah terpenting masyarakat Lombok, yang sepatutnya kita lestarikan; bukan kita lunturkan. Berdasarkan pada salah satu kasus yang pernah saya saksikan dengan kepala mata saya sendiri, di mana seorang ustad penceramah (belum haji) dipanggil dengan sebutan “Tuan Guru Ustad” (bukan Tuan Guru Haji) oleh MC pengajian, di samping juga beberapa kasus serupa lainnya yang saya temukan dalam konteks perguruan tinggi dan di beberapa institusi-institusi keagamaan.

Saya tidak ingin menganggap bahwa masyarakat kita telah berpaling dari sikap acuh hanya karena perbuatan seorang MC atau segelintir golongan, tetapi saya ingin menyadarkan kita semua bahwa fenomena semacam ini ada, sedang terjadi dan menjadi asupan telinga kita sehari-hari. Kesadaran ini penting, agar masyarakat kita tidak terkungkung dalam puritan persepsi dan ideologis. Masyarakat harus semakin cerdas dan bijaksana, dan tugas kita sebagai kalangan terpelajar adalah memberikan penyegaran terhadap kekusaman yang terjadi. Saat ini kita hidup di era yang serba ambigu. Konsep ulamak dan selamak sudah menjadi bayang kenyataan dan sulit dibedakan. Realitas yang kita lihat hanyalah persepsi, bukan kenyataan dan ucapan yang kita dengar hanyalah siulan; bukan puisi, bukan pula syair; apalagi makna. Sekian…!