DIRASAH ISLAMIYAH
Dalam diskursus akademik, dewasa ini kita sering mendengar istilah insider dan outsider. Secara sederhana diartikan sebagai pemahaman yang dihasilkan oleh pemikiran islam itu sendiri dalam megngkaji Barat (insider), dan Barat mengkaji dunia keislaman (outsider).
Metodologi Studi Islam merupakan seperangkat disiplin-disiplin ilmu untuk memahami islam secara baik dan benar. Artinya bahwa, perkembangan ilmu pengetahuan yang dibangun oleh orang-orang agamawan sendiri masih terbagi dalam perspektif masing-masing, maka hasilnya keilmuan studi islam akan berkutat menurut perspektif masing-masing, terkesan buntu, dangkal, komperehensif dan tidak mendapat jawaban yang signifikan (Isnanita, 2016). Oleh karena itu, kajian akademik dalam islam mengadopsi metodologi dan epistemologi yang berkembang di Barat sebagai perspektif dalam mengkaji dunia keislaman, inilah yang dikenal dengan outsider.
Dengan mengadopsi metodologi dan epistemologi dari Barat, apakah penganut islam dapat dikatakan tidak mandiri ? ataukah tidak mampu berfikir seperti pemikiran Barat ? atau paradigma pandangan muslim tidak selurus Barat dalam memandang islam ? Saya rasa bukan seperti itu juga konsepnya, karena bahwasanya jika studi islam termasuk dalam wilayah studi ilmu pengetahuan, maka dalam islam jauh sebelumnya tradisi ini sudah dikembangkan oleh al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin-nya dalam membangun atau bahkan menghidupkan kembali diskursus ilmu-ilmu keagamaan. Namun, yang menjadi koreksi adalah hal ini bukan berarti sudah sampai pada garis finish, tetapi langkah awal untuk memulai mengembangkan dan menelaah lebih lanjut. Langkah itu merupakan awal penempatan Islamic Studies sebagai wacana keilmuan (Zuhri, 2016).
(Anita, 2018) Studi islam melahirkan perbedaan pendapat tentang apakah islam termasuk sains atau ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan mengandung unsur relatif dalam pengaplikasiannya, sehingga bisa di kritisi. Berbeda dengan islam, islam bukan ilmu pengetahuan yang dapat di kritisi, tetapi agama yang diturunkan oleh Allah SWT dengan perantara Nabi Muhammad SAW. yang memiliki sifat yang suci, mutlak dan tidak relatif.
Terjadi dikotomi diantara keduanya, bahwa sains islam merupakan ilmu pengetahuan modern tentang kedokteran, astronomi, matematika, fisika dan lain-lain yang sebut dengan islamisasi. Sementara studi islam adalah pengetahuan yang dirumuskan dari ajaran islam yang dipraktikkan dalam sejarah kehidupan manusia. Sedangkan pengetahuan agama adalah pengetahuan yang sepenuhnya diambil dari ajaran Allah SWT dan rasul-Nya secara murni dan tidak dipengaruhi sejarah. Jadi, tidak terintegrasi antara sains islam, studi islam dan pengetahuan agama.
Sejarah Studi Islam
Dalam sejarah islam, misi keislaman teraplikasikan pada masa awal islam, yakni masa Nabi Muhammad SAW dengan para sahabatnya. Pola pengajaran antara nabi dan para sahabat dikenal dengan qiyasi, pola yang sederhana. Yaitu dengan berdialog dan berperilaku dengan ajaran yang semestinya, para sahabat mendengarkan nabi menyampaikan pelajaran yang datang berupa wahyu, hadits maupun sunah, sehingga konsep kebenaran tidak jauh –bahkan tidak terikat kesalahan- dalam menyebarkan kemuliaan islam pada masa itu.
Namun terlepas dari itu semua, kehidupan bermasyarakat antara nabi dan lingkungannya tidak terlepas dari sosial antropologis. Bahwa proses pembelajaran dan pemahaman, tidak terlepas dari karakter-karakter yang tetap berada dalam ranah manusiawi, bahasa dan komunikasi yang manusiawi pula. Dalam hal ini, para intelektualis muslim pada umumnya mengatakan hal yang sama, tentang pentingnya pengkajian lebih mendalam sejarah kenabian, sebagaimana yang diungkapkan Fazlur Rahman dalam tulisannya;
“(Keberhasilan nyata Muhammad yang selalu dinilai di sepanjang masa tentu bukan atas dasar atau patokan berapa kali beliau menikah, bukan pula atas dasar keberhasilan pribadinya dengan karir yang cemerlang—Ia sendiri tidak pemah menonjolkan diri sehingga mengembalikan setiap keberhasilan yang ia capai kepada Tuhan. Keberhasilannya yang selalu dinilai adalah dari apa yang ia berikan pada umat manusia; baik dalam bentuk seperangkat cita)”.
Pandangan Rahman diatas merupakan pembacaan terhadap Nabi Muhammad SAW. sebagai sosok suri tauladan yang baik. Era kenabian dengan perangkat ajaran baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis harus dipahami sebagai suatu tradisi yang hidup. Al-Qur’an dan hadits tidak hanya dipahami kitab suci yang dikaji dengan hanya literalistik semata, tetapi perlu juga dengan perangkat yang lain seperti penelaahan antropologis sosial (Zuhri, 2016).
Dalam antropolois sosial yang terdapat dalam sejarah tradisi kenabian, hal ini sebelumnya dikaji oleh kaum orientalis dan metodologi Barat. Hal ini merupakan ketertinggalan umat islam dalam studi islam jika dibandingkan dengan sarjana-sarjana non muslim. Namun, pengkajian yang mereka sumbangkan hanya sebagai ilmu pengetahuan tentang sejarah kenabian. Meskipun begitu, bukan berarti pemahaman tetang sejarah kenabian yang mereka (sarjana non muslim) berikan adalah yang terbaik, masih sangat dalam jika dikaji, masih perlu penyempurnaan dan penggalian lebih lanjut.
Secara singkat, terlepas dari sejarah studi islam dalam konteks sejarah kenabian, studi islam juga terus berlangsung pada masa khulafa’urrasyidin, yang melanjutkan misi keislaman pasca wafatnya nabi Muhammad SAW. Setelah itu, misi studi islam berlanjut pada era orientalis.
Fakta sejarah mengungkapkan bahwa kaum orientalis mengkaji dunia islam sudah banyak diperbincangkan, tetapi rumusan historis yang menyangkut epistemologi dan metodologi studi Islam perlu ditekankan karena scientific investigations dari
Islamic studies adalah pertanyaan tentang rumusan teoretik kajian mereka atau cara-cara mereka mengkaji Islam (Zuhri, 2016). Dalam kajian studi islam, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana rumusan metodologi yang dirancang oleh kaum orientalis dalam mengkaji islam, karna terkait dengan pembahasan tentang misi orientalis dalam upayanya mengkaji islam sudah lumrah diketahui oleh para intelektualis muslim, cendekiawan muslim bahkan khalayak umum dan banyak diperbincangkan.
Richard C. Martin, dalam pendekatan terhadap Islam, ia ingin membuka peluang kontak antara tradisi berpikir keilmuan antara Islamic studies tradisional dan tradisi berpikir religious studies kontemporer dengan memanfaatkan kerangka teori, metodologi dan pendekatan yang digunakan oleh ilmu-ilmu sosial dan humaniora (sosiologi, antropologi, filsafat ilmu, hermeuetik dan sebagainya) yang berkembang sekitar abad ke-18 dan 19 (Isnanita, 2016). Dengan pendekatan ilmu sosial dan humaniora, merupakan metodologi yang ditawarkan ole Richard dalam menelusuri secara historis proses pengkajian islam oleh sarjana Barat.
Sehingga, dengan menggunakan periodisasi sederhana yang diajukan oleh Richard C. Martin dapat ditelusuri bahwa pengkajian Islam oleh sarjana Barat dimulai sejak awal ke-9 M. Pada masa-masa itu, perdebatan ilmiah terjadi masih dalam pusaran persolan yang bersifat teologis (Zuhri, 2016).
Penentangan dan upaya pengingkaran Islam sebagai agama terakhir menjadi fokus kajian di kalangan sarjana-sarjana Kristen pada waktu itu bahkan bisa dimulai sejak abad ke-8 M. Singkatnya, dalam konteks di atas dapat dikatakan bahwa fokus pengkajian orientalis terhadap Islam masih berbasis pada persoalan polemik keagamaan.
Metodologi Studi Islam
Seperti disiplin-disiplin ilmu yang lain, studi islam juga memiliki metodologi yang khusus untuk mendekati pemahaman-pemahaman yang sulit dipahami oleh para pengkaji islam itu sendiri (insider). Dari segi kebahasaan, metodologi berasal dari kata yang berarti cara atau jalan. Metode itu sendiri berasal dari bahasa Yunani meta (menuju, melalui) dan hòdòs (jalan, cara, atau). Sementara itu, logos berarti ilmu. Secara sederhana metodologi adalah ilmu tentang suatu cara. Cara yang dimaksud adalah langkah-langkah yang harus diambil guna mencari dan menemukan pengetahuan.
(Zuhri, 2016) Secara garis besar, metodologi yang telah dimiliki dalam khazanah pengetahuan keislaman meliputi metodologi fiqh atau ushul fiqh, metodologi tafsir atau ilmu-ilmu tafsir, dan metodologi hadits atau ilmu mustholahul al-hadits. Metodologi kedua dari ketiga metodologi di atas semuanya berbasis bayani, yaitu suatu Pengantar Studi Islam metodologi yang didasarkan atas “kejelasan” yang berangkat dari pola relasi konstruksi lafadz atau kata dalam bahasa Arab dengan maknanya. Sebaliknya, landasan bayani hanya terdapat dalam dimensi metodologi “tafsir” dan kritik matan hadits, tetapi metodologi penelaahan dimensi sanad-nya lebih menggunakan pendekatan kriteria etis-historis.
Metodologi diatas merupakan perangkat ilmu-ilmu keislaman itu sendiri, yang cenderung membahas tentang pengetahuan pokok keagamaan dengan istilah sanad ilmu tersebut telah sampai pada nabi saw., artinya bahwa kajian tentang fiqh, tafsir dan hadits tersebut telah dikaji pada masa nabi saw. dan masih dikaji sampai sekarang dengan kondisionalisasi dan kontekstualisasi pada masa sekarang ini.
Di sisi lain terdapat pula berbagai perangkat metodologis yang selalu menarik untuk didalami, tetapi kadang-kadang timbul perasaan bahwa itu bukan metodologi “kita”. Hal itu umumnya diketahui sebagai metodologi ala Barat. Metodologi Barat ini secara garis besar dibagi menjadi dua: pertama metodologi secara umum di mana mereka menggunakannya sebagai alat untuk mengeksplorasi pengetahuan. Kedua adalah metodologi yang berkaitan dan berhubungan langsung dengan objek kajian keislaman, yaitu seperangkat metodologi yang mereka gunakan untuk studi-studi keislaman (Zuhri, 2016).
Berbeda dengan metodologi yang pertama, metodologi ini cenderung menggunakan metodologi Barat, yang hanya didominasi pada ilmu pengetahuan dan studi keislaman. Masih banyak metodologi yang lainnya yang digunakan oleh para intelektualis muslim seperti Fazlur Rahman dengan Double Movement-nya, al-Jabiri dengan burhani-nya untuk memahami logika dan ilmu kalam, begitu juga dengan Kim Knoot dengan Rapprochment-nya, Tabrani ZA. dengan doktrinal-normatif dan historis empiris-nya, dan lain-lain.
Adapun pendekatan-pendekatan dalam studi islam meliputi pendekatan kovensional, pendekatan filosofis, pendekatan teologis, pendekatan antropologis dan pendekatan historis.
Teori Studi Islam
Menurut Charles J. Adams, wilayah research islamic studies meliputi faith (kepercyaan) dan tradition (tradisi), yang melingkupi diantaranya sejarah Arabia pra islam, kajian tentang nabi, al-Qur’an, hadits, ibadah, agama popular, ilmu kalam, tasawuf, filsafat, aliran-aliran dalam islam dan hukum-hukum islam.
Daftar Rujukan
Zuhri, H., STUDI ISLAM, Sebuah Pengantar, Fa Press, Cetakan Kedua, Oktober 2016
Puji Astutik, Anita, BUKU AJAR METODOLOGI STUDI ISLAM DAN KAJIAN ISLAM KONTEMPORER PERSPEKTIF INSIDER /OUTSIDER, Umsida Press, 2018
Tampubolon, Ichwansyah, ISLAMIC STUDIES DALAM PERSPEKTIF ILMUILMU HUMANIORA, Al-Muaddib :Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial dan Keislaman, Vol. 4 No. 4 (2019)
Ahmadi, PERSPEKTIF INSIDER/OUTSIDER DALAM STUDI AGAMA (Mengurai Gagasan Kim Knott), Jurnal Al-Himayah, Volume 2 Nomor 2 Oktober 2018
Noviya Andriyani, Isnanita, PENDEKATAN DALAM STUDI ISLAM (Richard C. Martin), Jurnal Komunikasi dan Pendidikan Islam, Volume 6, Nomor 2, Desember 2016 7
Abidin, Zainal, ISLAMIC STUDIES DALAM KONTEKS GLOBAL
DAN PERKEMBANGANYA DI INDONESIA, AKADEMIKA, Vol. 20, No. 01 Januari – Juni 2015
Miptakhul Ulum, Mokhamad, INTEGRASI SAINS, SOSIAL DAN AGAMA SEBAGAI RUANG LINGKUP KAJIAN STUDI ISLAM DALAM AL-QUR’AN, At-Ta’wil: Jurnal Pengkajian al-Qur’an dan at-Turats, Volume 01 Nomor 02 Oktober 2019
Damanhuri, Aji ISLAMIC STUDIES BERBASIS RESEARCH, Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol. 1 no. 2 Desember 2011