Liberalisasi islam di indonesia
Judul : Liberalisasi Islam di Indonesia: Fakta, Gagasan, Kritik, dan Solusinya
Penulis : Dr Adian Husaini
Penerbit : Gema Insani
Cetakan : I, 2015
Tebal : 192 hlm
Paham liberal menjadi tantangan tersendiri bagi umat untuk mempertahankan ajaran syariat agama Islam. Karena pegiat liberalisasi dalam pemikiran keagamaan di Indonesia kini sudah tak terbendung lagi, terutama di perguruan tinggi.
Kalangan umat Islam sendiri memiliki pandangan yang berbeda tentang paham yang mendewakan akal ini. Sebagian kalangan memandang liberalisme sebagai titik balik kebangkitan pemikiran Islam. Namun, jika kita mau melihat lebih dalam lagi, akan banyak ditemukan ajaran Islam yang kini dibuat menyimpang dari jalannya.
Selama ini kita membayangkan pelecehan terhadap agama Islam hanya datang dari non-Muslim. Padahal, tanpa disadari hal itu juga tengah masif dilakukan oleh umat Islam sendiri. Mereka dengan seenaknya menyebut Alquran sebagai hasil proses kebudayaan. Bahkan, ada yang menyebut Alquran harus diedit ulang.
Dalam kasus homoseksual dan lesbian pun yang tengah marak diperbincangkan saat ini mereka juga membolehkannya. Sementara, kaum Muslimin yang menolak homoseksual dianggapnya sebagai kaum primitif.
Nah, persoalan semacam inilah yang coba diungkapkan penulis buku ini, Adian Husaini. Ia mengungkapkan, itu semua berdasarkan fakta-fakta pemikiran liberal yang berkembang di dunia akademis, yang mana sebagai pintu masuknya ilmu pengetahuan modern.
Para pegiat liberalisasi Islam kini sudah tak segan-segan lagi untuk melecehkan prinsip-prinsip pokok dalam agama Islam. Mereka kini tidak hanya berbeda pendapat dalam masalah cabang-cabang fikih, tetapi lebih jauh lagi telah bermain api dalam area keimanan seseorang.
Di awal karyanya ini, Adian mencoba untuk memberikan gambaran tentang liberalisasi Islam di Indonesia secara umum. Selanjutnya, ia baru mulai beranjak pada pengungkapan fakta-fakta liberalisasi Islam yang ada di perguruan tinggi, seperti isu pluralisme dan homoseksual.
Dalam buku ini pembaca mungkin akan banyak menemukan pengulangan informasi. Namun, tidak menjadi masalah karena justru hal itu bisa menguatkan masalah yang dibahas tersebut sehingga pembaca dapat memahaminya secara utuh.
Sebagai penutup buku, penulis sengaja mengutip pemikiran Profesor Syed Muhammad Naquib al-Attas tentang tantangan peradaban Barat bagi umat Islam.
Pandanganpandangan kritis guru besar umat tersebut diharapkan dapat menginspirasi rasa percaya diri kaum Muslimin di hadapan peradaban Barat.
Gagasan dan analisis Profesor al-Attas sangat penting diketahui bagi penulis lantaran bisa memberikan solusi mendasar terhadap masalah liberalisasi Islam di Indonesia dan seluruh dunia Islam. Selain itu, buku ini juga bisa menjadi sarana untuk menambah wawasan dan menambah imunitas akidah umat serta dapat membuka cakrawala kita terhadap fakta, gagasan, dan kritik terhadap liberalisasi di Indonesia.
Pada era sekarang prinsip Aswaja sangat relevan dan dapat memberikan panduan dalam menghadapi pemikiran-pemikiran para penyimpang. Karena, saat ini kita berhadapan dengan golongan yang terus saling bertentangan, yaitu ekstrem kiri (liberalisme) dan ekstrem kanan (ekstremisme).
“Pendekatan Aswaja ini sangat terkenal dengan jalan tengah (al-Wasatiyyah wal I’tidal). Dalam teks-teks akidah disebutkan bahwa Islam menganjurkan pendekatan yang luwes dan tidak longgar. Pendekatan ekstrem tidak dikehendaki oleh Islam karena hanya mendatangkan keburukan,” tulis Dr Khalif. Rasanya sulit dipercaya dan mustahil tetapi faktanya ada. Para pegiat gerakan Liberalisasi Islam tidak segan-segan untuk melecehkan prinsip-prinsip pokok dalam agama kita. Mereka bukan lagi berbeda pendapat dalam masalah cabang-cabang fiqih tetapi telah “bermain api” dalam area keimanan-kekufuran tauhid-syirik Islam-murtad. Buku LIBERALISASI ISLAM DI INDONESIA: Fakta Gagasan Kritik dan Solusinya ini bisa menjadi “menu bergizi” untuk memahami pemikiran-pemikiran kaum sekuler radikal tersebut sekaligus mengetahui pemunahnya.
Perkembangan Islam Liberal di Indonesia
Istilah Islam liberal tadinya tidak terlalu dikenal dan diperhatikan orang di Indonesia. Apalagi jumlah pendukungnya amat kecil, dapat dihitung dengan jari. Istilah itu justru menjadi amat populer setelah dikeluarkannya fatwa Majelis Ulama Indonsia (MUI) pada tahun 2005 yang menyatakan bahwa faham liberalisme adalah sesat dan menganut faham itu adalah haram hukumnya. Jadi, terlepas dari perdebatan tentang keabsahan fatwa itu, istilah Islam liberal di Indonesia justru dipopulerkan oleh pihak penentangnya. Memang terkadang suara merekapun nyaring bunyinya.Arti kata Islam liberal tidak selamanya jelas. Leonard Binder, seorang guru besar UCLA, ketika menulis buku berjudul Islamic Liberalism (University of Chicago Press, 1988) memberinya arti “Islamic political liberalism” dengan penerapannya pada negara-negara Muslim di Timur Tengah. Mungkin di luar dugaan sebagian orang, buku itu selain menyajikan pendapat Ali Abd Raziq (Mesir) yang memang liberal karena tidak melihat adanya konsep atau anjuran negara Islam, tetapi juga membahas pikiran Maududi (Pakistan) yang tentu saja lebih tepat disebut sebagai tokoh fundamentalis atau revivalis.Sebaliknya bagi Greg Barton, dalam bukunya berjudul Gagasan Islam Liberal di Indonesia(Penerbit Paramadina, Jakarta, 1999) istilah “Islamic liberalism” nampaknya cukup jelas. Dalam bukunya yang berasal dari disertasi itu ia mengatakan bahwa Islam liberal di Indonesia adalah sama dengan pembaruan Islam atau Islam neo-modernis. Selanjutnya, dalam penelitian yang mengcover periode 1968-1980 itu, Barton membatasi diri pada pemikiran empat orang tokoh dari kaum neo-modernis, yaitu Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid. Seperti diketahui, istilah neo-modernis berasal dari Fazlur Rahman, seorang tokoh neo-modernis muslim asal Pakistan yang terakhir menjadi Guru Besar studi keislaman di Universitas Chicago. Fazlur Rahman,sebagaimana dikutip Greg Barton, membedakan gerakan pembaruan Islam dalam dua abad terakhir kepada empat macam, yaitu: revivalisme Islam, modernisme Islam, neo-revivalisme Islam, dan neo-modernisme Islam.
Dengan revivalisme Islam dimaksudkan gerakan pada abad ke-18 yang diwakili oleh Wahhabiyyah di Arab, Sanusiyyah di Afrika Utara, dan Fulaniyyah di Afrika Barat. Sedangkan modernisme Islam di pelopori oleh Sayyid Ahmad Khan (W 1898) di India, Jamaluddin al-Afghani (W 1897) di Timur Tengah, dan Muhammad Abduh (W 1905) di Mesir. Adapun neo-revivalisme diwakili oleh Maududi dengan organisasinya yang terkenal, Jama’ati Islami, di Pakistan. Kemudian neo-modernisme Islam contohnya ialah Fazlur Rahman sendiri dengan karakteristik sintesis progresif dari rasionalitas modernis dengan ijtihad dan tradisi klasik (Greg Barton, 1999:9). Meskipun tipologi Fazlur Rahman ini dimaksudkan untuk seluruh dunia Islam, tetapi tipologi keempat diwakili juga oleh tokoh-tokoh Indonesia, khususnya empat orang yang disebutkan di atas.
Di Indonesia terdapat beberapa buku yang sering dinilai sebagai pendapat kelompok Islam liberal, dua diantaranya ialah buku Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Jakarta, 2005) yang ditulis oleh Tim Pengarusutamaan Gender pimpinan Musdah Mulia dan buku Fiqih Lintas Agama (Jakarta: Paramadina, 2004). Kalau kita cermati isi kedua buku itu terlihatlah bahwa banyak pendapat dan argumen di dalam kedua buku itu yang sama atau mungkin diambil dari pikiran-pikiran Muhammad Syahrur, seorang sarjana teknik Syria yang pernah belajar di Moskow, tetapi kemudian mengarang banyak buku tentang Islam, diantaranya yang terkenal ialah Nahw Ushûl Jadîdah fî al-Fiqh al-Islâmî yang telah diterbitkan juga dalam bahasa Indonesia dengan judul Metodologi Fiqih Islam Kontemporer (Yogyakarta: eLSAQ, 2004). Ini berarti bahwa pemikiran Islam liberal Indonesia bukanlah original, tetapi pengaruh literatur internasional. Apalagi Fazlur Rahman memang adalah guru Nurcholish Madjid dan mempunyai hubungan dengan kaum pemikir Islam Indonesia. Pemikir Timur Tengah lain yang mempunyai pengaruh terhadap pemikiran Islam liberal di Indonesia khususnya mengenai penggunaan hermeneutik untuk memahami Al Qur’an adalah Hamid Nasr Abu Zaid.
Islam Liberal di Indonesia (Era Orde Baru)
Sejak awal tahun 1970-an, bersamaan dengan munculnya Orde Baru yang memberikan tantangan tersendiri bagi umat Islam, beberapa cendekiawan Muslim mencoba memberikan respon terhadap situasi yang dinilai tidak memberi kebebasan berpikir. Kelompok inilah yang kemudian memunculkan ide-ide tentang “Pembaharuan Pemikiran Islam”. Kelompok ini mencoba menafsirkan Islam tidak hanya secara tekstual tetapi justru lebih ke penafsiran kontekstual. Mereka dapat digolongkan sebagai Islam liberal dalam arti menolak taklid, menganjurkan ijtihad, serta menolak otoritas bahwa hanya individu atau kelompok tertentu yang berhak menafsirkan ajaran Islam.
Menurut Fachri Aly dan Bactiar Effendi (1986: 170-173) terdapat sedikitnya empat versi Islam liberal, yaitu modernisme, universalisme, sosialisme demokrasi, dan neo modernisme. Modernisme mengembangkan pola pemikiran yang menekankan pada aspek rasionalitas dan pembaruan pemikiran Islam sesuai dengan kondisi-kondisi modern. Tokoh-tokoh yang dianggap mewakili pemikiran modernisme antara lain Ahmad Syafii Ma‘arif, Nurcholish Madjid, dan Djohan Effendi. Adapun universalisme sesungguhnya merupakan pendukung modernisme yang secara spesifik berpendapat bahwa, pada dasarnya Islam itu bersifat universal. Betul bahwa Islam berada dalam konteks nasional, tetapi nasionalisasi itu bukanlah tujuan final Islam itu sendiri. Karena itu, pada dasarnya, mereka tidak mengenal dikotomi antara nasionalisme dan Islamisme. Keduanya saling menunjang. Masalah akan muncul kalau Islam yang me-nasional atau melokal itu menyebabkan terjadinya penyimpangan terhadap hakikat Islam yang bersifat universal. Pola pemikiran ini, secara samar-samar terlihat pada pemikiran Jalaluddin Rahmat, M. Amien Rais, A.M. Saefuddin, Endang Saefudin Anshari dan mungkin juga Imaduddin Abdul Rahim.
Pola pemikiran sosialisme–demokrasi menganggap bahwa kehadiran Islam harus memberi makna pada manusia. Untuk mencapai tujuan ini, Islam harus menjadi kekuatan yang mampu menjadi motivator secara terus menerus dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Para pendukung sosialis-demokrasi melihat bahwa struktur sosial politik dan, terutama, ekonomi di beberapa negara Islam termasuk Indonesia, masih belum mencerminkan makna kemanusiaan, sehingga dapat dikatakan belum Islami. Proses Islamisasi, dengan demikian, bukanlah sesuatu yang formalistik. Islamisasi dalam refleksi pemikiran mereka adalah karya-karya produktif yang berorientasi kepada perubahan-perubahan sosial ekonomi dan politik menuju terciptanya masyarakat yang adil dan demokratis. Adi Sasono, M. Dawam Rahardjo, serta Kuntowidjojo dapat dimasukkan dalam pola pemikiran ini.
Sedangkan neo modernisme mempunyai asumsi dasar bahwa Islam harus dilibatkan dalam proses pergulatan modernisme. Bahkan kalau mungkin, Islam diharapkan menjadi leading ism (ajaran-ajaran yang memimpin) di masa depan. Namun demikian, hal itu tidak berarti menghilangkan tradisi keislaman yang telah mapan. Hal ini melahirkan postulat (dalil) al-muhâfazhat ‘alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhdu bi al-jadîd alashlah (memelihara tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Pada sisi lain, pendukung neo modernisme cenderung meletakkan dasar-dasar keislaman dalam konteks atau lingkup nasional.
Mereka percaya bahwa betapapun, Islam bersifat universal, namun kondisikondisi suatu bangsa, secara tidak terelakkan, pasti berpengaruh terhadap Islam itu sendiri. Ada dua tokoh intelektual yang menjadi pendukung utama neo modernisme ini adalah Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid.
Tampaknya pemikiran Nurcholish (Prisma, nomor ekstra, 1984: 10-22), lebih dipengaruhi oleh ide Fazlur Rahman, gurunya di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Sedang pemikiran neo modernisme Abdurrahman Wahid telah dibentuk sejak awal karena ia dibesarkan dalam kultur ahlussunnah wal jama’ah versi Indonesia, kalangan NU. Karena itu, ide-ide keislamannya tampak jauh lebih empiris, terutama dalam pemikirannya tentang hubungan Islam dan politik. (Prisma, Nomor ekstra, 1984: 3-9; dan Prisma, 4 April 1984: 31-38).
Semoga bermanfaat…….!!
Masri
#pgmi 3
#jurnalistik
#UAS