Tafsir Pada Masa Awal (Nabi dan sahabat)
Masa Nabi Muhammad SAW dan Masa Sahabat
Pada masa hidup Nabi Muhammad SAW kebutuhan tafsir belumlah begitu dirasakan, sebab apabila para sahabat tidak memahami suatu ayat, mereka langsung menanyakan kepada Rasulullah. Dalam hal ini, Rasulullah selalu memberikan jawaban yang memuaskan, dan Nabi Muhammad disini berfungsi sebagai mubayyin (penjelas). Semua persoalan terutama menyangkut pemahaman al-Qur’an dikembalikan kepada Nabi Muhammad, persoalan apapun yang muncul tempo itu senantiasa mendapat jawaban dengan cepat dan tepat. Oleh karena itu wajar apabila para sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad tentang ayat al-Qur’an, dan beliau memberikan jawaban dan tafsirnya, namun jawaban dan tafsirnya bukan berdasarkan fikirannya sendiri, tetapi menurut wahyu dari Allah. Beliau menanyakan kepada malaikat Jibril dan malaikat Jibrilpun menanyakan kepada Allah SWT. Karena itulah, Allah adalah pihak pertama yang menafsirkan al-Qur’an, sebab Allah yang menurunkan al-Qur’an dan Allah lah yang mengetahui maksud firmann-Nya. Karena Allah adalah Shahibul Qoul (yang berfirman).
Tafsir masa Nabi Muhammad dan masa awal pertumbuhan Islam di susun secara pendek-pendek dan tampak ringkas, karena penguasaan bahasa Arab yang murni pada saat itu cukup untuk memahami gaya dan susunan kalimat al-Qur’an, setelah masa Nabi Muhammad penguasaan bahasa Arab mulai mengalami peningkatan dan beraneka ragam, karena akibat percampuran bahasa Arab dengan bahasa lain.
Setiap kali Nabi Muhammad menerima al-Qur’an, beliau kemudian menyampaikan kepada para sahabat, disamping itu beliau menganjurkan kepada para sahabat untuk menyampaikan kepada sahabat lain yang belum mendengarnya, terutama kepada keluarga, masyarakat luar yang telah memeluk agama Islam. Begitu juga sama halnya ketika para sahabat menerima tafsir dari Nabi Muhammad SAW, para sahabat kemudian menyampaikan kepada anggota keluarga dan masyarakat luar yang telah memeluk agama Islam, maka tradisi seperti ini dinamakan dengan tradisi Oral. Melalui cara tersebutlah yang ditempuh oleh Nabi Muhammad SAW, maka semua ayat dan seluruh ajaran yang terkandung di dalamnya dapat diketahui dan diamalkan oleh para sahabat, meskipun tidak semua sahabat menerima langsung dari Nabi Muhammad SAW.
Ulama berbeda pendapat mengenai sejauh mana Nabi Muhammad SAW menjelaskan al-Qur’an kepada para sahabatnya. Sebagai berikut :
- Imam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa Rasulullah menjelaskan semua makna yang terkandung dalam al-Qur’an sebagaimana menjelaskan lafadz-lafadznya. Namun pendapat ini dibantah sebagai pembuktian yang tidak benar, karena Nabi Muhammad diperintah untuk menjelaskan al-Qur’an yang sulit dipahami didalamnya, namun hanya sebagian saja.
- Al-Khubi dan As-Sayuthi berpendapat bahwa Nabi Muhammad hanya menjelaskan sedikit saja dari keseluruhan kandungan al-Qur’an kepada para sahabat. Mereka beralasan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bazzar dari Sayyidah A’isyah berkata :
Maa kaana rasulullahi alaihi wasallama yupassiru saian ani qur’ani illa ayyan biadadi ilmihi ayaahunna jibriili
Namun hadits ini juga dibantah sebagai pembuktian yang bathil, sebab hadits ini adalah gharib (tak dikenal oleh mayoritas muhaditsin).
Penafsiran yang dilakukan oleh Nabi Muhammad mempunyai sifat dan karakteristik tertentu, diantaranya penegasan makna (bayan al-tasrif), perincian makna (bayan al-tafshil), perluasan dan penyempitan makna, kualifikasi makna serta pemberian contoh. Sedangkan dilihat secara motifnya, penafsiran al-Qur’an mempunyai tujuan pengarahan (bayan al-irsyad), peragaan (tathbiq), pembentukan (bayan al-tashih) atau koreksi. Kegiatan penafsiran pada Masa Nabi Muhammad tidak sampai berhenti, malah justru semakin meningkat karena banyak munculnya persoalan-persoalan seiring dengan dinamika masyarakat yang progresif mendorong umat islam semakin beragam dengan berbagai metode.
Berdasarkan sejarah perkembangan tafsir pada masa Nabi Muhammad, Nabi Muhammad memiliki sumber dalam menafsirkan al-Qur’an, seperti berikut :
- Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Nabi Muhammad menggagas penafsiran ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an lainnya meskipun hanya sedikit riwayat yang menjelaskan metode ini.24 Al-Qur’an itu sebagaimana diketahui sebagian ayatnya merupakan tafsiran ayat yang lain. Yang dimaksud yaitu bahwa sesuatu yang disebutkan secara ringkas disuatu ayat dan diuraikan di ayat yang lain. Suatu ketentuan yang berbentuk mujmal (global) mengenai suatu masalah, kemudian dalam topik yang lain dengan suatu ayat yang bersifat takhsish (khusus), suatu ayat yang mutlaq kemudian di ayat yang lain bersifat muqayyad (terbatas).
Berdasarkan hal ini, maka bagi mufassir yang hendak menafsirkan al-Qur’an terlebih dahulu melihat dalam al-Qur’an itu sendiri.
Hal ini bisa dilihat dari penafsiran ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an terdapat pada surat al-Fatihah ayat 6-7. Kemudian ditafsirkan dengan ayat lain yaitu Orang-orang yang telah Engkau beri nikmat dalam Q.S al-Nisa 69 di tafsiri dengan siapa saja Orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Karena bagian-bagian al-Qur’an sesungguhnya saling menjelaskan satu sama lain.
- Al-Qur’an dengan Hadits
Jenis yang kedua yaitu al-Qur’an dengan hadits, baik hadits Qudsi maupun hadits Nabawi merupakan pendamping al-Qur’an, sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an, hadits memiliki peran yang sangat penting dalam kaitannya dengan al-Qur’an. Sebab, Nabi Muhammad setelah menerima wahyu kemudian menjelaskan kandungannya kepada para sahabat. Penjelasan tersebut tidak sedikit yang kelak terkodifikasi menjadi hadits, karena itu dalam menafsirkan ayat, para mufassirpun akan merujuk pada hadits. Sebagaimana telah diketahui bahwasanya fungsi hadits adalah sebagai penafsir al-Qur’an. Dalam aplikasipenafsiran, metode ini dilakukan oleh Nabi Muhammmad dengan berbagai variasi.
Hal ini bisa dilihat dari fungsi hadits dalam menafsirkan al-Qur’an, yaitu: Seperti misalnya penjelasan Nabi Muhammad mengenai waktu-waktu shalat, begitu juga tentang kadar ukuran zakat dan manasik haji. Kemudian ada hadits menafsirkan lebih menjelaskan keumuman dari ayat tentang waktu-waktu sholat. Sebagai berikut :
صلوا كما رايتموني اصلي
‚Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat‛
Adapun Nabi Muhammad dalam menyampaikan tafsir al-Qur’an dengan menggunakan dua metode yaitu Metode Tikrar (pengulangan dan metode Su’al (tanya jawab).
Berdasarkan paparan penafsiran al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad, dapat disimpulkan bahwasanya penafsiran al-Qur’an telah ada pada masa Nabi Muhammad hidup. Akan tetapi secara teoritis belum menjadi sebuah ilmu yang matang.
Masa Sahabat
Pasca wafatnya Nabi Muhammad, proses penafsiran berlanjut pada generasi sahabat, mempelajari tafsir bagi parasahabat tidaklah mengalami kesulitan, karena mereka menerima langsung dari Shahib al-Risalah (pemilik tuntunan), mereka mudah memahami al-Qur’an, karena dalam bahasa mereka sendiri dan karena suasana turunnya ayat dapat mereka saksikan. Setelah mendapat tuntunan dan ajaran tafsir dari Nabi Muhammad, kemudian para sahabat merasa terpanggil ambil bagian dalam menafsirkan al-Qur’an, penafsiran sahabat terhadap al-Qur’an senantiasa mengacu pada inti dan kandungan al-Qur’an, mengarah kepada penjelasan makna yang dikehendaki dan hukum-hukum yang terkandung dalam ayat serta menggambarkan makna yang tinggi.34Namun, mereka tidak menambahnya sebelum mengamalkan ilmu dan amal yang terkandung didalamnya.
Setelah Nabi Muhammad wafat, kemudian para sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan ijtihad. Namun tidak semua sahabat melakukan ijtihad, hanya dilaksanakan oleh para sahabat yang kapasitas keilmuannya maupun militansinya mumpuni. Disamping menggalakkan ijtihad, dalam menafsirkan persoalan tertentu, seperti kisah dalam al-Qur’an atau sejarah Nabi terdahulu, para sahabat berdialog dengan ahli kitab Yahudi dan Nasrani. Dan dari proses inilah dikemudian hari muncul kisah Israiliyyat dalam kitab tafsir.36 Dalam pada itu, para sahabat adalah orang-orang yang paling mengerti dan memahami al-Qur’an, akan tetapi para sahabat itu sendiri mempunyai tingkatan yang berbeda-beda dalam memahami al-Qur’an. Faktornya karena perbedaan tingkatan kecerdasan. Adapun penyebab perbedaan tingakatannya ialah:
- Walaupun sahabat adalah orang yang berbahasa arab, tetapi pengetahuan mereka berbeda pengetahuan tentang sastra, gaya bahasa, dan adat istiadat.
- Ada beberapa kedekatan antara Nabi Muhammad dengan sahabat, sehingga selalu mendampingi kemanapun Nabi pergi dan mengetahui sebab turunnya al-Qur’an.
- Perbedaan perbuatan para sahabat tentang adat istiadat dan perbuatan, perkataan, pada masa Arab Jahiliyyah.
- Perbedaan tingkat pengetahuan sahabat mengenai orang Yahudi dan Nashrani.
Pada periode sahabat ini, banyak permasalahan yang terjadi, yaitu hadits-hadits telah beredar pesat dan bermunculan hadits-hadits palsu dan lemah di tengah masyarakat. Sementara itu perubahan sosial semakin menonjol dan timbullah beberapapersoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa Nabi Muhammad.
Nama: Supaidi
Semester/Prodi:III. Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Tugas UAS Mazahib Tafsir
Dosen Pengampu: Abd. Rahman, M. Ag