INTERAKSIKU DENGAN AL-QUR’AN
Seperti yang sudah sama-sama kita ketahui,bahwasanya Al-Qur’an adalah salah satu kitab dari Allah SWT. Yang diturunkan kepada Rasul-Nya yakni Muhammad SAW. Yang menjadi petunjuk bagi sekalian manusia. Dalam essay yang singkat ini, penulis ingin memberikan gambaran tentang kesehariannya dalam berhubungan dengan Al-Qur’an. Namun sebelum dilanjutkan, terlebih dahulu perlu diketahui tujuan dari penulisan tulisan ini adalah untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Dosen mata kuliah Jurnalistik yakni Bapak Sunardi Fiqhul, M.Pd. Seperti yang sudah penulis jelaskan diatas, bahwasanya Al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan oleh Allah SWT. Kepada Nabi Muhammad SAW. Yang memiliki tingkat kesucian dan kesakralan yang tinggi. Dengan berbekalkan dengan pengetahuan yang sedikit dari semenjak duduk di sekolah dasar (SD) penulis menyertakan pengetahuannya dalam memperlakukan Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-harinya.
Semenjak penulis duduk dibangku sekolah dasar, penulis sudah dikenalkan dengan kitab tersebut (Al-Qur’an), yang sebelumnya mempelajari atau mengenali tentang dasar-dasar yang ada dalam Al-Qur’an seperti belajar mengetahui huruf-huruf,cara baca, tajwid, makhorijul huruf, dan temasuk sudah belajar menghafal ayat-ayat pendek yang terdapat di dalam Al-Qur’an.
Semua itu penulis lakukan dengan dengan ketidak tahuan terlebih dahulu, yang lama-lama menjadi kebiasaan setiap malamnya dan kemudian menjadi kebutuhan. Awal pengenalan tentang Al-Qur’an memang dilakukan sejak SD oleh orang tua penulis dan juga oleh guru-guru penulis kepada penulis, akan tetapi mulai bisa membaca Al-Qur’an saat sudah menginjak umur 11 tahun. Walaupun belum begitu lancar dan fasih dalam pengucapan Al-Qur’an, setidaknya sudah mengetahui cara baca yang diajarkan oleh sang guru.
Dengan keistiqamahan yang selalu dilakukan setiap pagi dan malamnya, penulis semakin lama semakin fasih dan semakin bisa dalam membaca Al-Qur’an. Hal itu diketahui saat duduk di jenjang Madrasah Tsanawiyah (MTs.), yang awal mulanya ingin ikut mengaji (memperbaiki bacaan) tapi malah disuruh menjadi guru muda untuk mengajar adek-adek tingkat di TPQ yang terdapat dalam lingkungan MTs., tersebut. Mulai semenjak itu, penulis menjadi lebih dekat dengan Al-Qur’an, bukan hanya karna menjadi seorang guru muda, akan tetappi semakin sadar akan kebutuhannya pada Al-Qur’an. Namun dengan semakin bertambahnya usia, penulis malah makin bosan dengan seringnya membaca Al-Qur’an. Bukan karna hal aneh, namun seperti yang sudah kita ketahui bersama, masa mremaja adalah masa yang paling labil dan itu terbukti pada diri penulis. Yang awalnya tidak tau dengan pacaran, malah saat itu menjadi terjerumus dengan yang namanya pacaran.
Pacaran, adalah pemisah ku dengan Al-Qur’an.awal mula penulis mengenal pacaran, ketika seorang guru sering menyama-nyamakan diri penulis dengan teman nya yang perempuan. Kebetulannya, penulis dan si perempuan sama-sama popular disekolah ataupun di TPQ. Lama-kelamaan entah karena baper atau nafsu belaka, penulis mulai berinisiatif untuk mendekati si gadis. Awal pendekatan memanglah sangat menyenangkan dan bisa dikatakan syar’i versi anak muda. Sekolah,solat (wajib dan sunnah) lancar, ngaji lancar. Namun setelah jadian entah karena apa semuanya berubah, yang awalnya di katakana syar’i menjadi penuh kemalasan. Itu menjadi salah satu alas an penulis jauh dari Al-Qur’an bahkan ibadah yang lainnya.
Kelas IX menjadi saksi hari hijrahnya penulis dari pacaran. Penulis memutuskan hubungannya dengan sang pacar karena tahu waktu kelas IX buat serius belajar bukan untuk main-main lagi. Dengan berakhirnya hubungan tersebut, penulis jadi punya keinginan untuk lebih dekat lagi dengan Al-Qur’an, bahkan mulai menghafalkan juz 30 yang dibuat sebagai bekal. Hingga sampai pada pendaftaran sekolah Aliyah, kebetulan sekolah yang di masuki oleh penulis adalah salah satu sekolah swasta yang maju di pancor, saat itu menggunakan tes masuk salah satunya adalah tes mengaji sebelum tes akademik. Dengan bekal Al-Qur’an yang dimiliki tes mengaji mendapat kemudahan dan kelancaran dan singkat cerita berhasil diterima di sekolah tersebut.
Pada kesempatan yang sangat baiktersebut, penulis memanfaatkannya dengan mengembangkan potensi yang ada pada dirinya dengan mengikuti ekstra kulikuler Tahfidz dan Bimbingan Olimpiade. Keduanya di jalankan dengan istiqamah tentunya hingga mendapatkan beberapa hafalan.
Masa kelas X Aliyah kedekatan penulis dengan Al-Qur’an bisa dibilang sangat dekat sekali. Setiap harinya tidak terlepas dari membaca dan menghafal. Disamping keseharian dengan Al-Qur’an, penulis juga tak lupa menyibukkan diri dengan belajar karena mengikuti ektra kulikuler bimbingan olimpiade. Walaupun jadwal yang begitu padat dengan pendidikan penulis juga selalu menyempatkan diri untuk hang out dengan kawan-kawan.
Namun pada masa ini lagi-lagi timbul angan-angan tentang berpacaran, hingga mendapatkan pacar lagi. Dan parahnya lagi, penulis mulai menjauhi Al-Qur’an dengan cara lebih sedikit waktu dengan Al-Qur’an. Yang mulanya selalu bertambah hafalan tiap hari, menjadi di ulur-ulur. Hal itu memang pernah dirasakan penulis.
Dengan waktu yang lumayan lama, penulis membuang-buang waktunya dengan lebih banyak belajar akademik dan juga di selingi dengan pacaran ala anak remaja masa sekarang. Hal it uterus terjadi selama kelas X. hingga tiba saat-saat kesedihaan yang sangat luar biasa yang tiba-tiba melanda penulis. Penulis sebelumnya sudah mengetahuii tentang musibah, tentang kesabaran, tentang keikhlasan juga. Namun disaat mendapatkan musibah tersebut, seakan semua yang telah diketahui itu menjadi hilang keseluruhan. Yang tersisa hanyalah tangisan yang sangat luar biasa yang bahkan seumur hidup mungkin tidak pernah menangis se hebat saat itu. Musibah yang menjadi pemisah antara cinta dan kasih sayang terbesar yang pernah ada, pemisah antara kenikmatan dunia dengan akhirat, pemisah antara cinta orang tua dengan anaknya. Musibah itu adalah meninggalnya salah seorang dari orang tua penulis yakni Ayahnya.
Pada bulan-bulan meninggalnya Ayah penulis masih meninggalkan kesan yang sangat luar biasa yang bahkan susah sekali untuk dilupakan. Salah satu kenangan yang tak bisa dilupakan penulis hingga sekarang adalah seminggu sebelum meninggalnya beliau. Pada seminggu sebelum meninggal, beliau mendatangi penulis untuk mengantarkan perbekalan selama sebulan di kos-kosan tempat penulis tinggal. Dengan penuh perjuangan dengan kondisi yang kurang sehat, beliau memaksakan diri datang untuk mengantar kebutuhan penulis tersebut. Namun yang membuat kesan tak terlupakan adalah saat beliau tiba-tiba memberikan pesan kepada penulis untuk selalu serius belajar dan juga mengaji. Ya, tanda-tanda tersebut seakan sudah disadari penulis dengan tangisan yang keluar dimatanya setelah mencium tangan beliau sebelum beliau bergegas pulang. Saat melihat beliau pulang, masih menetes air mata penulis dengan selalu terbayang-bayang dengan pesan ayahnya. Dalam hati penulis berkata, dialah Ayahku yang terhebat sedunia, yang selallu menyayangiku dengan segala cara tak perduli dengan keadaannya yang sekarang lagi tidak sehat, dialah yang selalu cemas saat aku ada kabar sakit walaupun hanya sebatas masuk angin, dialah yang selalu ada disaat aku merasa dunia ini sudah menjauhiku, dialah pahlawanku.
Semenjak kepulangan Ayah dari penulis, penulis masih terus terbayang-bayang dengan nasihat yang disampaikan sebelum pulang. Itu dijadikan sebagai awalan untuk berubah kembali menjadi lebih baik lagi, yang sebelumnya sudah terjerumus kelembah yang tidak baik.
Mulai sore itu, penulis mulai berusaha sekuat tenaga dengan sungguh-sungguh untuk berubah, untuk selalu menyempatkan diri untuk belajar juga meluangkan waktu dengan banyak membaca Al-Qur’an. Hingga seminggu setelah itu di pagi hari penulis tiba-tiba sangat rindu dengan ayahnya, selalu terbayang dengan wajah ayahnya, dan sangat ingin bertemu dengan ayahnya. Namun secara kebetulan penulis dipagi itu telat bangun, bahkan kesekolahpun juga hamper saja telat. Hingga penulis memutuskan untuk menunda untuk menelepon ayahnya yang ada dirumah. Seperti hari-hari biasanya di sekolahnya penulis ada kegiatan mengaji sebelum masuk kelas, dalam kegiatan tersebut penulis terus-terusa membayangkan wajah dari ayahnya, di dalam kelas juga begitu. Hingga salah seorang guru bertanya kepadanya,” kapan kamu akan pulang” dengan agak kaget, penulis menjawab dengan menunduk, “nunggu libur dulu ustadz”. Sepulang sekolah yang pertama kali penulis lihat di kamar kosnya adalah HP. Namun sebelum menelpon kerumah, penulis merasa sangat panas karna pulang sekolah agak sore, maka penulis memutuskan untuk mendi terlebih dahulu. Setelah mandi tiba-tiba ibu kos memberikan nasi dengan lauk sekaligus kepada penulis, mungkin beliau tau kalau penulis belum masak. Dengan rasa agak malu, penulis memberanikan diri mengambil piring yang berisi nasi tersebut sambil mengucap terimakasih. Setelah itu, dengan pakaian yang masih sama seperti dipakai keluar kamar mandi, penulis menelpon rumah sembari menyuapkan makanan yang diberikan ibu kosnya. Namun anehnya, semua kontak keluarga dekatnya tidak ada yang aktif, termasuk ibu, kakak, paman, bibi.
Dengan perasaan yang agak kesal, penulis melanjutkan suapannya, tapi tak lama setelah itu ada pesan yang masuk dari salah seorang keluarganya (kakak sepupu). Dalam pesan teks tersebut di katakana “Ayah sakitnya kambuh”. Sentak hati dan pikiran penulis menjadi kaku seakan tak bisa memikirkan yang lain karna langsung tertuju hanya pada keadaan Ayahnya. Ayah penulis memiliki riwayat sakit sesak nafas yang selalu datang saat terlalu lelah dalam bekerja. Dan pernah dirawat di Rumah Sakit dengan rawatan yang cukup intensif. Pesan kedua bilang “cepat pulang”. Lantas sendok yang ada ditangan kanan dilepaskan dengan tak sengaja oleh penulis dan kemudian langsung menelepon kakaknya tersebut. Namun yang membuat penulis kesal lagi adalah kontak kakaknya yang mengirim pesan tersebut juga tidak aktif. Dengan agak emosi penulis melempar HPnya ke tempat tidurnya dan menjambak rambut yang menandakan dia lagi kesal sama semuanya.
Selang beberapa waktu kemudian, teman-teman penulis yang satu kampung dengannya dan kebetulan satu sekolah juga datang ke kos penulis dengan nada yang agak lirih saat salam. Sentak penulispun keluar dan menyambut teman-temannya tersebut. Setelah mereka semua masuk ke kamar, belum saja disuruh duduk ada seorang temannya yang memeluk penulis sambil berkata, “sabar…” dengan merasa aneh, penulispun melepas pelukannya sambil berkata “Eh, sabar apa ?” teus ada lagi yang berkata “Ayahmu sudah tidak ada”….. lantas pertama mendengar itu penulis merasa dipermainkan dan dengan nada yang agak keras, penulis bilang “jangan main-main kamu, tidak ada apanya.. ini saya mau nelpon beliau cuman lagi gak aktif, udah jangan main-main” namun dengan nada yangvtak main-main teman-teman penulis menceritakan kejadian dirumah, bahwa salah kakak dari teman penulis itu mendengar kalau ayah penulis sudah meninggal dan itu di umumkan dimasjid. Dengan rasa tidak percaya lagi, penulis menyuruh temannya menelpon kakaknya, dan tak lama setelah itu diangkatnya. Temannya pun langsung beranya apakah benar Ayah penulis sudah meninggal, dan dijawabnya “Iya”.
Dengan mendengar langsung jawaban tersebut, dengan tidak sadar badan penulis langsung lemas, tangisanpun ikut menyertai sejadi-jadinya, sampai wali kos pun ikut berdatangan menenangkan. Semuanya tidak berasa, yang ada dalam pikiran penulis saat itu adalah senyum terakhir yang dilihat seminggu sebelum ini padanya. Senyum yang tulus, senyum yang melambangkan kecintaannya pada penulis kini sudah tidak ada lagi, dan itu yang terakhir.
Setelah sampai dirumah duka, tentu saja lebih menjadi lagi dengan tangisan yang begitu hebatnya, yang tak pernah dilakukan olehnya sebelum itu. Namun seiring berjalannya waktu dan dengan banyaknya keluarga yang menenangkan akhirnya penulispun bisa menenangkan perasaan yang begitu hancur saat itu.
Dalam keadaan seperti itu, penulis buakn hanya melakukan do’a saja untuk menenangakan pikiran namun juga dengan membaca ayat-ayat sucu Al-Qur’an, selalu dilakukan tiap hari tiap selesai solat bahkan waktu luang sedikit apapun dilakukan dengan bagitu khusyuknya.
Itu adalah waktu paling dekat penulis dengan Al-Qur’an, hingga akhirnya hamper selesai Ujian akhir semester. Ibu dari peulis menyuruh penulis untuk pindah sekolah ke tempat yang lebih dekat, walaupun sangat disayangkan oleh guru-guru penulis, karna penulis adalah salah seorang murid yang paling disayangi. Hingga selesai pembagian raport dan penulispun jadi pindah sekolah, walaupun dengan perasaan yang sangat terpaksa.
Penulis pindah sekolah di salah satu Aliyah di pondok Darul Kamal. Iya pada masa ini penulis mulai menyibukkan dirinya dengan banyak mendekatkan diri kepada Allah dengan sering ikut ngaji.
Hingga pada saat rasa malas menghantui, maka mulailah penulis malas-malasan namun tetap berinteraksi dengan Al-Qur’an, bahkan tak jarang penulis mengulangi hafalan-hafalan yang di dapat disekolah yang lama. Dengan banyaknya teman yang juga jarang naik ngaji ke aula maka penulispun jadi sering ikut menunda waktunya untuk tetap istiqamah.
Hingga sampai pengumuman kelulusan sebenarnya penulis ingin sekali melanjutkan studinya ke kampus favorit, namun dengan keterbatasan biaya yang dianggap oleh orang tua penulis sangat berat, maka penulis mengurungkan niatnya untuk pergi kuliah ke kampus idamannya. Namun, semua yang ditetapkan oleh Allah adalah yang terbaik, penulis bisa masuk 3 besar dengan nilai terbaik saat pengumuman kelulusan dan yang masuk juara 3 bisa masuk STAI Darul Kamal dengan di bebaskan spp setu smester. Dan itu membuat orang tua penulis memasukkannya ke kampus tersebut.
Sebelum masuk ke kampus, penulis meminta saran terlebih dahulu pada para dosen yang kebetulan adalah gurunya penulis di Aliyah, untuk memberikan pencerahan mau masuk jurusan apa penulis. Dan salah satu dosen menyarankan masuk IAT dan dengan tidak ragu, penulis masuk ke jurusan tersebut. Dengan bergaul dengan orang-orang baru, penulis menjadi sadar bahwasanya banyak sekali manfaat dari mempelajari ilmu agama, terutama yang berhubungan dengan Al-Qur’an. Semenjak itu, penulis menjadi sangat menyayangi Al-Qur’an, dan tidak berani memisahkan diri lagi.
Hari-harinya, penulis membaca Al-Qur’an sambil menghafal, namun jikalau ada rasa jenuh, penulis hanya mengulang hafalan dan sering muroja’ah dengan mendengarkan murottal imam-imam besar yang terkenal.
Dengan adanya dampak dari COVID-19 yang sekarang ini, juga membuat penulis jadi lebih sering bersama dengan Al-Qur’an, walaupun tidak terlalu banyak hafalannya namun penulis selalu meluangkan waktunya untuk bercengkrama dengan Al-Qur’an.
Namun walaupun begitu, masih saja terbersit dalam benak penulis untuk menjauhi Al-Qur’an, entah karna boring atau karna kesibukan lainnya. Namun penulis selalu berusaha untuk selalu punya waktu dengan Al-Qur’an.