Mengenal Nomine Personalitas TGH. Muhammad Ruslan Zain An-Nahdhy [Dimensi Psikologis Bab ‘Kalam’ Seri-3]
Muhammad Syafirin, Jumat 22 Januari 2021
Terdapat banyak metode dan pendekatan yang dapat dijadikan alternatif dalam mendistingsikan teks matan jurumiyah. Termasuk di antaranya; pendekatan teologis sebagaimana penulis terapkan pada Bab Kalam seri-1, dan pendekatan sosial pada Bab Kalam seri ke-2 terdahulu.
Selain dua pendekatan di atas, terdapat juga pendekatan psikologis. Pendekatan ini biasanya bertujuan untuk merefleksikan fenomena personalitas seseorang yang memiliki pengaruh dan otoritas dalam bidang tertentu. Atau setidaknya mengandung positifisme dalam sebuah penelitian.
Salah satu objek kajian penulis pada seri ini adalah dimensi personalitas TGH. Muhammad Ruslan Zain An-Nahdhy. Tentunya, kajian yang penulis lakukan ini didasari atas beberapa sebab. Salah satu di antaranya adalah bahwa inteligensi (intelectuality) dan keluhuran akhlak (moral spirituality) yang beliau miliki, bukan hanya memukau batin umat untuk meneladaninya, tetapi juga mengundang ijtihad ilmiah untuk melakukan analisis dan menemukan makna filosofis terhadapnya.
Untuk mewujudkan hal di atas, penulis mencoba menggunakan teks matan jurumiyah sebagai paradigma pemikiran. Adapun cara yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah dengan mengungkap sisi psikologis dalam matan jurumiyah. Masih dalam Bab Kalam, penulis berusaha mencari makna filosofis yang terdapat pada alamat isim dalam bab tersebut. Perhatikan ibarat tanda-tanda isim berikut ini!
فَالْإِسْمُ يُعْرَفُ بِالْخَفْضِ٬ وَالتَّنْوِيْنِ٬ وَدُخُوْلِ الْأَلِفِ وَاللَّامِ٬ وَحُرُوْفِ الْخَفْضِ وَهِيَ مِنْ وَإِلَى وَعَنْ وَعَلَى وَفِى وَرُبَّ وَالْبَاءُ وَالْكَافُ وَاللَّامُ وَحُرُوْفِ الْقَسَمِ وَهِيَ الْوَاوُ وَالْبَاءُ وَالتَّاءُ
Melalui ibarat di atas, penulis menemukan karakter dan identitas kpribadian (الإسْمُ) Tuan Guru Ruslan Zain An-Nahdly. Kalimat ‘fal ismu yu’rafu’ pada ibarat di atas, seolah-olah menawarkan ikhtiar alternatif untuk mengenali atribut personal yang melekat pada diri beliau (يُعْرَفُ – مَعْرِفَة).
Pertama, al-Khafdh (الخَفْضُ)
Syaikh Rasyad ibn Ahmad al-Baity al-Saqqaf, dalam kitabnya Taqriratul Bahiyyah yang merupakan syarah matan jurumiyah, menyebutkan ada dua pengertian al-Khafdh (الخَفْضُ), yaitu al-Tadzallul (التذلل); dan al-Khudhu’ (الخضوع), yang berarti ketundukan dan kerendahan diri. Hal ini, mengisyaratkan akan ketawaddu’an Tuan Guru Ruslan Zain An-Nahdly.
Selain itu, al-Khafdh (الخَفْضُ) juga berarti ‘berbaris bawah’. Makna filosofisnya adalah betapapun populer‒muru’ah‒beliau di hadapan umat; dan betapapun dikenalnya (al-Musamma) sebagai orang yang berada (finansial), tetapi jiwa beliau laksana ‘baris bawah’ yang selalu merunduk, tidak congkak dan sombong. Bayangkan, pada saat acara Wisuda ke-V STAI Darul Kamal 2020 kemarin, salah seorang yang menjabat sebagai ketua Kopertais Mataram, dalam sambutannya pada acara tersebut, banyak mengungkapkan kata pujian dan kekaguman emosionalnya terhadap Tuan Guru Ruslan. Namun, Tuan Guru Ruslan dengan segala ketawaddu’an, mengatakan, ‘Saya mengingat sebuah pesan ulama yang berkata, ‘barangsiapa yang memujimu sesungguhnya telah memenggalmu’. Kemudian lanjut beliau, ‘Sekian banyak terdapat kesalahan dan kekurangan yang saya miliki, namun anda semua belum mengetahui betapa buruknya diri saya’. Ucapan ini, penulis dengar secara lansung pada saat beliau hendak membaca doa penutup acara Wisuda tersebut.
Kedua, al-Tanwin (التَنْوِيْنُ)
Syaikh Rasyad mengartikan al-Tanwin dengan ‘al-Tashwit’ (التَصْوِيْتُ) yang berarti ‘jajak pendapat (eksplorasi) atau abstain’. Pengertian ini mengisyaratkan tentang sikap menerima sebuah pendapat dan masukan dari orang lain.
Setiap santri ataupun masyarakat yang sering mengikuti pengajian Tuan Guru Ruslan, pasti akan menemukan karakter kedua ini. Misalnya, pada saat beliau berbicara tentang ide atau gagasan tentang pembangunan. Beliau sering berkata, ‘Banyak orang menganggap saya berhasil dalam upaya pembangunan pesantren, padahal saya hanya santai-santai saja. Saya selalu menerima masukan dari orang lain dalam hal proyeksi kelembagaan. Karena saya tidak berani mengeluarkan satu ide pun tentang sesuatu, yang saya rasa tidak mampu untuk merealisasikannya’.
Selain hal di atas, kita juga sering menjumpai sikap beliau pada saat menjelaskan sebuah ungkapan (qaul) dalam kitab yang sedang beliau ajarkan. Dan penulis rasa, inilah yang menjadi keunikan diri beliau sebagai seorang Tuan Guru sekaligus Da’i. Karena, setiap problem yang tersurat dalam kitab yang beliau kaji, selalu bisa dikontekstulisasikan dengan penomena kehidupan. Bagi beliau, setiap perjalanan hidup yang kita rasakan dan lewati, kesemuanya dapat menjadi syarah atas sebuah ibarat. Kisah hidup yang baik dapat kita jadikan sebagai ‘batu loncatan’ dan ibrah pada diri kita, sedangkan kisah kehidupan yang buruk dapat dijadikan sebagai ‘jaro’ (Sasak: tameng) untuk menjauhi ke-mafsadat-an bagi diri dan orang lain.
Demikian ‘arif-nya sikap beliau, sesuai dengan makna filosofis yang terdapat dalam jiwa ‘tanwin’. Tanwin dalam pergaulannya, dia selalu menerima alif lam atau idhofah untuk menjadi makrifah agar ia menjadi sesuatu yang tidak mujmal (umum) dan tak jelas (parsial). Begitulah keluruhan sikap Tuan Guru Ruslan. Dalam artian, beliau selalu menerima masukan dan kritikan demi kesempurnaan ilmu pengetahuan (knowledge) dan pengalaman (experience) pada diri beliau.
Ketiga, ‘Dukhul al-Alif wa al-Lam’ (دُخُوْلُ الأَلِفِ وَاللاَّمِ) ‘Dimasuki oleh alif dan lam’.
Syaikh Rasyad al-Saqqaf dalam syarahnya mengatakan, sesungguhnya alif dan lam itu menjadi identitas pengenal (makrifah) bagi isim agar tipikal maknanya menjadi lebih spesifik dan eksklusif.
Dalam kehidupan manusia (isim), jika kita ingin mengenal seseorang lebih dekat, maka hal utama yang harus kita lakukan adalah mengenali karakter/sifatnya. Itulah ibarat alif lam pada isim. Alif lam (karakter/sifat) pada diri setiap orang bisa beda-beda. Ada yang baik perangainya (maẖmudah), dan ada juga sebaliknya (mazmûmah). Hal ini merupakan sunnatullah yang telah ditakdirkan Tuhan pada diri manusia.
Adapun entitas alif lam (ال مَعْرِفَة) ‘karakter/sifat’ yang melekat pada personalitas Tuan Guru Ruslan adalah bahwa beliau dikenal sebagai pribadi yang santun, ramah tamah, perhatian kepada jamaah dan murid, bersahaja, dan berwibawa. Namun, semua popularitas yang dimiliki ini, tidak menjadikan beliau terlampau dari sifat ‘jama’-jama’ (Sasak: Sederhana).
Beliau ibarat lafaz yang nakirah (umum) yang apabila dimasuki alif lam lansung seketika menjadi makrifah. Makna filosofisnya ialah bahwa beliau selalu bersikap dan bertindak bijak dalam segala ihwal-nya. Manakala berada di depan (menjadi ulama), beliau tetap makrifat (dikenali) dengan ketawaddu’an dan kesederhanaanya. Artinya, beliau selalu menjadi isim yang selalu dikenal dengan kemakrifatannya.
Keempat, huruf al-Khafdhi (وَحُرُوْفِ الْخَفْضِ) ‘Dimasuki huruf Khafad’.
Huruf khafad adalah huruf menjadikan isim berbaris bawah. Jumlahnya ada sembilan sebagaimana yang tertuang dalam kitab matan jurumiyah ini, yaitu:
مِنْ وَإِلَى وَعَنْ وَعَلَى وَفِى وَرُبَّ وَالْبَاءُ وَالْكَافُ وَاللَّامُ
Makna filosofis dari ibarat ini adalah bahwa identitas pribadi seseorang (isim) sangat ditentukan oleh domain hidup serta milieu intelektual yang ada pada dirinya. Akan tetapi, kedua ranah ini tidak serta merta dapat berkultur melainkan ada variabel yang berperan pada dirinya. Variabel yang dimaksud ialah ‘huruf-huruf khafad’.
Di bagian awal, penulis telah menerangkan bahwa makna ‘khafad’ menunjukkan isyarat ketawaddu’an. Sikap tawaddu’ dapat dikatakan sebagai ‘variabel intrinsik’ yang merubah personalitas seseorang dari kebiasaan yang telah berlaku. Hal ini menunjukkan, sikap dan karakter setiap orang, sebetulnya, dapat dirubah dengan syarat harus melekatkan variabel tersebut. Misalnya, ada seorang milioner yang berlagak kikir dan sombong. Apabila variabel (tawaddu’) tersebut dilatih dan terus dibiasakan, maka sifat keangkuhan tersebut dapat dipastikan menghilang jika rasa tawaddu’ telah menyatu dalam dirinya. Ibarat isim yang sebelumnya berbaris dapan dan atas, akan berubah menjadi baris bawah setelah dimasuki huruf jar/khafad.
Mengenai simbol filosofis dari sembilan huruf khafad di atas, penulis mengutip pendapat Prof. Dr. Fakhrurrozi dalam sebuah status di laman Fb nya. Dia menyebutkan ada sembilan faktor yang mempengaruhi dan membentuk karakter seseorang, antara lain: faktor internal; eksternal; atasan; bawahan; lingkungan; keilmuan; pengalaman; persahabatan; dan kebiasaan.
Dalam konteks personalitas Tuan Guru Ruslan, karakter huruf khafad di atas telah nampak jelas pada diri beliau. Hal ini dapat dilihat dari pesan-pesan moral yang kerap beliau sampaikan di berbagai pengajian, yakni menyeru kepada sikap “jama’-jama’”. Bagi sebagian orang, seruan jama’-jama’ ini memang terkesan lokal dan konservatif, tetapi aksentuasi perolehan yang dihasilkannya sarat akan makna ideal. Dan dalam pandangan penulis, Tuan Guru Ruslan telah mampu mendemonstrasikan dan merealisasikan hal tersebut.
Kelima, huruf al-Qasam (وَحُرُوْف الْقَسَمِ)
Secara leksikal, ‘qasam’ berarti sumpah. Dalam ilmu Nahwu, huruf qasam terdiri dari tiga macam yaitu huruf waw (wallohi); huruf ba’ (billahi); dan huruf ta’ (tallahi). Ketiganya memiliki arti yang sama, “Demi Allah”. Seseorang yang menjiwai ungkapan qasam (sumpah) ini, setidaknya memiliki orientasi hidup yang efektif dan fungsional. Karena, ungkapan sumpah itu meniscayakan keteguhan komitmen dalam diri yang bertumpu pada nilai-nilai monoteistik. Bahkan, hakekat huruf qasam ini selalu membentuk jiwa seseorang menjadi tegar dan tegas dalam mengatasi persoalan meski harus tetap tawaddu’ pada dirinya.
Ketegasan dan keteguhan jiwa yang terdapat dalam hakekat qasam itu tercermin dalam kepribadian Tuan Guru Ruslan. Dalam menyikapi fenomena yang mencerminkan inferior kultural, beliau tidak segan-segan berfatwa secara tegas. Seperti mengharamkan tradisi nyongkolan di Desa Kembang Kerang Daya. Meskipun sebagian tokoh agama lainnya ada yang masih mentolelir tradisi nyongkolan, tetapi bagi Tuan Guru Ruslan, tradisi nyongkolan tetap haram. Sebab, dalam pelaksanaan nyongkolan terdapat banyak mafsadat dan kemaksiatan yang terjadi. Maka sampai saat ini, tak satupun masyarakat Kembang Kerang yang melakukan nyongkolan tersebut.
Berdasarkan analisa di atas, penulis dapat menyimpulkan, bahwa Tuan Guru Ruslan Zain An-Nahdhy adalah sosok Tuan Guru yang paripurna. Sebagaimana konsepnya Gus Mus, Beliau bukan hanya dikenal sebagai figur ulama yang saleh secara spiritual melainkan juga dikenal saleh secara sosial. Popularitas dan kecerdasan intelektual yang beliau miliki, tidak menjadikan beliau lupa daratan, lupa diri, dan lupa esensi.
#Salam_Rindu_dari_Muridmu..!