Tafsir Masa Awal (Nabi dan Sahabat)
NAMA : ABDURRAUF AL KUSAIRI
NIM : 2019.119.34.0297
MATA KULIAH : MAZAHIB TAFSIR
DOSEN PENGAMPU : ABDURRAHMAN, M. Ag
Tugas Kuliah Mazahib Tafsir
“Tafsir Pada Masa Awal (Nabi dan Sahabat)”
PENDAHULUAN
Dalam proses perkuliahan sehari-hari, dosen terus mencoba membuka fikiran mahasiswanya agar terus berfikir akan suatu materi yang dibahas, menyampaikan pendapat yang ditemukan atau diketahui dan bertanya terhadap pembahasan yang belum difahami. Di proses perkuliahan yang terus berjalan seperti itu dapat mengasah pemikiran mahasiswa dan mengolah cara fikir yang semakin kritis dan akurat serta kental akan mental untuk berani bertimbal balik dalam berdialog, tentunya dibawah pengawasan dosen pengampu dan pembahasan yang relevan.
Mata kuliah Mazahib Tafsir yang diampu oleh salah satu dosen Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT) semester 3 STAI DK, Abdurrahman, M. Ag. Mata kuliah Mazahib Tafsir sebelumnya tidak pernah diajarkan dalam semester-semester sebelumnya bahkan dibangku Madrasah Aliyah sekalipun. Mata kuliah Mazahib Tafsir baru terdengar ketika penulis mulai menduduki bangku semester 3 di STAI DK dengan prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Berikut sedikit pembahasan tentang Mazahib Tafsir dengan judul “Tafsir Pada Masa Awal (Nabi dan Sahabat)”.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir Pada Masa Awal
Tafsir Qur’an periode klasik adalah penafsiran al-Qur’an pada masa nabi SAW, sahabat, tabi’in sampai masa pembukuan al-Qur’an. Jadi, tafsir periode klasik adalah tafsir yang muncul dan berkembang pada masa Rasulullah SAW sampai munculnya tafsir masa pembukuan (akhir masa Daulat Bani Umayyah atau awal Daulat Bani Abbasiyah)[1]. Namun pada pembahasan Tafsir Masa Awal ini penulis fokus pada Masa Nabi dan Sahabat saja, sesuai tugas yang didapatkan.
B. Tafsir Pada Masa Awal
- Tafsir Nabi SAW dan Sahabat
Semenjak al-Qur’an diturunkan kepada baginda nabi SAW maka sejak itu pulalah proses penafsiran dimulai, oleh nabi SAW sebagai manusia pertama penafsir al-Qur’an atau mufassir pertama. Ketika itu pertumbuhan tafsir masih dalam kategori sederhana, yaitu nabi SAW memahami al-Qur’an kemudian menjelaskannya kepada para sahabat. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Qiyamah : 17-19 berikut ini :
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُۥ وَقُرْءَانَهُۥ, فَإِذَا قَرَأْنَٰهُ فَٱتَّبِعْ قُرْءَانَهُ, ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُۥ
Artinya : “Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya”. (QS. Al-Qiyamah :17-19)
Ketika nabi SAW berada dalam lingkungan sahabat, tiada seorang dari sahabat yang berani menafsirkan al-Qur’an karena selama nabi SAW masih hidup beliaulah tempat para sahabat yang menyandarkan persoalan dan menjadikan al-Qur’an sebagai dalil. Melihat hal demikian, seolah otoritas penafsiran pada saat itu berada ditangan nabi SAW. Hal ini dapat dimengerti sebab tugas menyampaikan dan menjelaskan al-Qur’an pertama ada pada pundak nabi SAW yang mendapat garansi dari Tuhan langsung. Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nahl : 44
وَاَنۡزَلۡنَاۤ اِلَيۡكَ الذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيۡهِمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُوۡنَ
Artinya : “…Dan Kami turunkan Adz-Dzikr (Al-Qur’an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan” QS. An-Nahl : 44
Bentuk penafsiran yang dilakukan oleh nabi SAW berupa sunnah qauliyah (perkataan nabi SAW), terkadang juga dengan sunnah fi’liyah (perbuatan nabi SAW) dan bahkan juga sunnah taqririyah (perbuatan atau perkataan sahabat yang disepakati atau disetujui oleh nabi SAW). Dengan ketiga bentuk tersebut, timbullah sebuah pertanyaan seperti “Bagaimana cara Nabi SAW menafsirkan al-Qur’an dengan argumen-argumen yang beliau miliki ?”. Kelebihan penafsiran yang Nabi SAW miliki tentu tidak sama dengan yang dimiliki oleh mufassirin lain seperti sahabat, tabi’in dan tokoh mufassirin lainnya. Kelebihan tafsir nabi SAW adalah dipandu dan dibimbing oleh Allah SWT dengan wahyu yang disampaikan kepada Nabi SAW. Setelah Nabi SAW berijtihad dengan cara memunasabah ayat dengan ayat yang terkait tetapi tidak menemukan hubungan atau jawabannya, sehingga ada kekeliruan terhadap ijtihad beliau, wahyu lain akan turun untuk membantu nabi SAW menemukan jawabannya, hadits misalnya. Melihat hal ini, terdapat kandungan yang tersirat bahwa Allah SWT menjaga nabi SAW dari kesalahan dan kekeliruan yang dikenal dengan sebutan ma’sum.
Pada saat itu, nabi SAW sebagai rujukan para sahabat untuk meminta jawaban terhadap apa yang belum mereka ketahui seperti makna-makna dalam ayat Al-Qur’an, sehingga hanya bertanya kepada nabi SAW. Hal ini menunjukkan bahwa bukti keotoritasan nabi dalam menafsirkan al-Qur’an. Namun tidak semua kandungan ayat Al-Qur’an yang nabi SAW jawab atau tafsirkan, masih banyak ayat al-Qur’an yang belum sempat beliau tafsirkan dan merupakan tugas bagi generasi selanjutnya untuk meneruskan perjuangan nabi SAW dalam menafsirkan al-Qur’an demi kemaslahatan umat dan al-Qur’an benar-benar sebagai petunjuk umat manusia.
2. Sumber-sumber Penafsiran
- Al-Qur’an
Sumber utama penafsiran para sahabat adalah al-Qur’an sendiri, yaitu ayat al-Qur’an yang dimunasabahkan dengan ayat yang memiliki kesamaan makna dan konteks yang sama atau relevan, atau disebut dengan tafsir qur’an bil bil qur’an.
Metode itu bagian daripada metode dalam tafsir bil ma’tsur. Yaitu dengan membawa ayat yang bersifat mujmal (global) kepada sesuatu yang mubayyan untuk mendapatkan penjelasannya. Atau membawa suatu yang masih mutlaq/’am kepada ayat yang muqayyad/khas sebagai penjelasannya.
- Hadist Nabi
Hadits nabi SAW tidak hanya mencakup beberapa konteks yang dapat terhitung, tetapi banyak aspek-aspek yang meliputi kehidupan masa nabi SAW dan sahabat-sahabat beliau. Sehingga hadits nabi SAW sebagai sumber kedua hukum islam setelah al-Qur’an. Oleh karenanya, sahabat menjadikan hadits sebagai sumber penafsiran al-Qur’an karena banyak hadits yang merupakan penjelasan terhadap ayat-ayat musykil yang ditanyakan sahabat kepada nabi SAW. Namun hadits sebagai sumber penafsiran al-Qur’an perlu diteliti otentisitasnya, apakah ia benar-benar hadits nabi SAW atau hadits palsu.
Bentuk penafsiran al-Qur’an dengan hadits dapat dilihat misalnya dari Uqbah bin ‘Amir, ia berkata : “Saya pernah mendengar Rasululah mengatakan diatas mimbar ketika membaca ayat; Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi” (QS. Al-Anfal : 60). Ketahuilah, “kekuatan” disini adalah memanah.
- Ijtihad
Ijtihad adalah mengerahkan segenap kemampuan nalar untuk menghasilkan jawaban atau menemukan tafsiran yang pas bagi suatu ayat yang tidak mereka dapatkan informasi atau jawabannya dari Rasulullah SAW, karena cakupan makna ayat yang luas dan nabi SAW tidak juga menafsirkan semua ayat al-Qur’an, entah karena duluan beliau wafat atau sahabat memang tidak pernah bertanya tentang ayat tersebut sebelum beliau wafat. Hal ini dapat difahami bahwa fungsi al-Qur’an adalah untuk dipelajari dan difahami.
- Keterangan Ahli Kitab
Ahli kitab yang biasa dikenal dengan Yahudi dan Nasrani yang mempunyai kitab samawi sama dan mempunyai persamaan dalam masalah tertentu dengan al-Qur’an, yaitu kitab Taurat dan Injil. Ahli kitab berperan pada hal ini adalah sebagai narasumber untuk para sahabat yang ingin menafsirkan cerita dalam al-Qur’an karena nabi SAW menjelaskan cerita tersebut dengan cara global dan sahabat ingin mengetahui lebih dalam sehingga menanyakannya kepada ahli kitab. Ahli kitab yang ditanyakan tidak sembarangan, tetapi ahli kitab yang sudah memeluk islam seperti Abdullah bin Salam dan Ka’ab al Akhbar.
3. Corak dan Karakteristik Penafsiran Sahabat
Mayoritas ulama beranggapan bahwa metode penafsiran sahabat adalah metode birriwaya, yaitu para sahabat hanya sekedar meriwayatkan tafsir-tafsir dari Rasulullah SAW dan sesama sahabat sendiri.
Penafsiran atau qaul sahabat dihukumi atau dikategorikan oleh para ulama sebagai hadits marfu’ (disandarkan kepada Rasulullah SAW) bila berkenaan dengan asabbun nuzul dan tidak dimasuki ra’yu. Sedangkan yang dimasuki oleh ra’yu maka statusnya mauquf (disandarkan kepada sahabat)[2].
Sebagian ulama berpadangan bahwa penafsiran para sahabat wajib untuk diambil dengan alasan karena sahabat ahli dalam bahasa Arab dan menyaksikan langsung konteks dan kondisi pada saat itu. Berbeda dengan pendapat yang lain, bahwa penafsiran baik pada zamannya, karena sekarang zaman pun berbeda dan kondisi sosial yang berbeda, penafsiran para sahabat tidak relevan dengan keadaan saat ini bahkan tidak ilmiah, maka kita tidak harus mengikutinya.
[1] Abdul Mustaqim, Alian-Aliran Tafsir, hlm. 28
[2] Abdul Mustaqim, Alian-Aliran Tafsir, hlm.36
#TugasUAS
#MazahibTafsirIAT3