Harkat dan kemandirian perempuan
Salah satu kendala utama dalam mencapai kesuksesan baik pribadi maupun kelompok adalah pandangan seseorang tentang dirinya, yakni harkat dan martabatnya. Seseorang yang menilai dirinya melebihi kadarnya akan bersikap angkuh dan melecehkan orang lain hingga akan tersisih dan akhirnya gagal dalam usahanya. Dan, seseorang yang rendah diri akan selalu merasa tidak mampu sehingga menyerah sebelum berjuang. Yang lebih parah lagi bila seseorang tidak mengetahui kadar dirinya. Ketika itu, ia dapat menerima pelecehan tanpa keberatan sedikitpun. Sungguh tepat ungkapan yang menyatakan: “Akan dirahmati Allah siapa yang mengetahui kadar dirinya. “
Perempuan sering kali diperlakukan secara tidak wajar, baik karena tidak mengetahui kadar dirinya maupun mengetahui tetapi terpaksa menerima pelecehan. Ini terjadi di masyarakat modern, lebih-lebih masyarakat masa lalu.
Pada zaman yunani kuno, ketika hidup Filosof- filosof kenamaan semacam Plato (427-347 SM), Aristoteles (384-322 SM), Demosthenes (384-322 SM), martabat perempuan sungguh rendah dalam pandangan mereka. Perempuan dipandang sebagai alat penerus generasi, semacam pembantu rumah tangga, dan pelepas nafsu seksual lelaki sehingga perzinahan merajalela. Socrates ( 470-399 SM) berpendapat, dua sahabat setia harus mampu meminjamkan istrinya kepada sahabatnya, Demosthenes (484-322 SM) berpendapat bahwa istri hanya berfungsi melahirkan anak; filosof Aristoteles menganggap perempuan sederajat dengan hamba sahaya, sedangkan Plato menilai kehormatan lelaki pada kemampuannya memerintah dan “Kehormatan” Perempuan pada kemampuannya melakukan Pekerjaan-pekerjaan sederhana/hina sambil terdiam tanpa bicara.
Para filosof masa lalu juga membicarakan apakah perempuan mempunyai roh atau tidak. Kalau punya, apa roh tersebut roh binatang atau manusia? dan kalau manusia, bagaimana kedukaannya?
Dalam masyarakat Romawi, “kewanitaan” Menjadi salah satu sebab pembatasan hak seperti hal anak-anak dan orang gila.
Sejarah mencatat betapa suatu ketika perempuan dinilai sebagai makhluk kelas dua. Dalam masyarakat hindu, keadaan perempuan tidak lebih baik. Dalam ajaran Manu dinyatakan bahwa wabah penyakit, kematian, racun, ular, dan api kesemuanya lebih baik daripada perempuan. Istri harus mengabdi kepada suaminya bagaikan mengabdi kepada Tuhan. Ia harus berjalan di belakangnya tidak boleh berbicara dan tidak juga makan bersamanya, tetapi memakan sisanya. Bahkan, sampai abad ke-17, seorang istri harus dibakar hidup-hidup pada saat suaminya dibakar, atau kalau ingin tetap hidup sang istri mencukur rambutnya dan memperburuk wajahnya agar terjamin bahwa ia tidak lagi akan diminati lelaki.
Di Eropa khususnya pada masa lalu perempuan belum juga mendapat tempat terhormat. Pada 586 M, agamawan di Prancis masih mendistribusikan apakah perempuan boleh menyembah Tuhan atau tidak. Apakah mereka juga dapat masuk ke surga. Diskusi-diskusi itu berakhir dengan kesimpulan bahwa perempuan memiliki jiwa, tetapi tidak kekal dan dia bertugas melayani lelaki. Pada masa silam di Eropa, hubungan seks dianggap sesuatu yang buruk walau hubungan itu didahului pernikahan yang sah.
Parlemen Skotlandia pada 1567 menetapkan bahwa perempuan tidak boleh diberi wewenang sedikitpun. Bahkan, pada pemerintahan henry VIII (1491-1547) di Inggris lahir keputusan yang melarang perempuan membaca kitab Injil (perjanjian Baru).
selanjutnya, kendati Eropa telah mengalami revolusi Industri (1750 M) dan perbudakan telah dikumandangkan penghapusannua, harkat dan martabat perempuan belum juga mendapat tempat yang wajar. Mereka bekerja di pabrik-pabrik, tetapi gajinya lebih rendah daripada lelaki. Bahkan, sampai tahun 1805 perundang-undang di Inggris mengakui hak suami untuk menjual istrinya. Bahkan menurut Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M) dalam bukunya, Nida’ al-jins al-Lathif, mengutip koran Inggris di perdalaman Inggris (hingga masa itu) masih ditemukan suami yang menjual istrinya dengan harga murah. Sampai tahun 1882, perempuan disana belum memiliki hak kepemilikan harta benda secara penuh, tidak juga berhak menuntut ke pengadilan. Sisa-sisa dari pandangan ini menjadikan seorang perempuan hingga masa kini ” Harus ” Menghapus nama ayahnya menyertai namanya sebelum menikah dan menggantinya dengan nama suaminya begitu ia menjadi istri dari seorang lelaki.
Perempuan pada masa lampau juga dinilai tidak wajar mendapat pendidikan. Elizabeth Black Will, dokter perempuan pertama yang menyelesaikan studinya di Geneve university pada 1849, di boikot oleh teman-temannya sendiri dengan dalih bahwa perempuan tidak wajar memperoleh pelajaran. Bahkan, ketika sebagian dokter bermaksud mendirikan institut kedokteran khusus perempuan di Philadelphia, Amerika Serikat, ikatan dokter setempat mengancam akan memboikot semua dokter yang mengajar di Institut itu. Perempuan sering kali diperlakukan secara tidak wajar, baik karena tidak mengetahui kadar dirinya maupun mengetahui tetapi terpaksa menerima pelecehan.
Apakah dasar pembedaan dan perlakuan itu? Sementara pakar berpendapat bahwa kenyataan biologis yang membedakan lelaki dan perempuan mengantar pada lahirnya pandangan tentang harkat, martabat, serta peran utama kedua jenis makhluk Tuhan ini. Ada yang memberi lelaki kedudukan lebih tinggi dan peranan lebih besar karena dianggap lebih kuat, lebih potensial, dan lebih produktif. Perempuan, kata Thomas Aquino ( 1225-1274 M), adalah makhluk yang penciptaannya belum sempurna. Mereka terbatasi kodratnya yang, lemah, antara lain karena organ reproduksinya menghalangi mereka melakukan sekian aktivitas akibat menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui.
Ada lagi yang berpendapat bahwa pembedaan harkat dan peran antara lelaki dan perempuan yang berkembang di masyarakat itu lebih banyak diakibatkan oleh budaya serta pandangan agama dan kepercayaan masyarakat.
(M.Quraish Shihab “Perempuan”: harkat dan kemandirian perempuan hal. 112)
Nama: Siti Raodiah
Jurusan: Manajemen pendidikan Islam
Mata kuliah: Jurnalistik
Dosen pengampu: Fizian yahya M.P.d
#UAS-STAIDK