Hukum Mengucapkan Selamat Natal bagi Muslim
Hukum Mengucapkan Selamat Natal bagi Muslim
Natal adalah hari raya umat Kristen yang diperingati setiap tahun oleh umat kristiani pada tanggal 25 Desember untuk memperingati hari kelahiran Yesus Kristus.
Setiap tahun kaum Nasrani Merayakan natal, tapi yang rebut ummat islam, jelas ini adalah fenomena yang memalukan. Akar problemnya kembali pada pelebelan stigma buru, saling
serang dan saling lempar tuduhan, antara mereka yang mengharamkan dan mereka yang membolehkan mengucapkan selamat natal. Mari kita bahas sedikit.
1. Sebagian dari mereka yang membolehkan ucapan natal, menuduh ummat islam yang tidak mengucapkan natal sebagai ”kaum intoleran”, Radikal, Aliran ekstrim, anti kekinian dan lain-lain. Ini jelas-jelas adalah tuduhan yang berlebihan dan keliru.
2. Sebagian dari mereka yang mengharamkan ucapan selamat natal, menuduh islam yang mengucapkan selamat natal dengan tuduhan “sudah murtad”, “kaum liberal”, “imannya rusak”, “pendukung kafir” dan tuduhan-tuduhan lainnya. Ini juga merupakan tuduhan yang berlebihan dan salah.
Jadi akar keributan yang selama ini terjadi kembali pada dua hal tadi. Dua kelompok yang bertikai dan saling tuding bahwa mereka lah yang saling tuding bahwa mereka lah yang paliing
paham toleransi.
Yang Pertama, perlu di tegaskan, bahwa mengucapkan selamat natal bukan keharusan, Bukan anjuran. Tidak mengucapkan selamat natal juga bukan sikap intoleran. Tidak juga kita menjadi ekstrim karena kita enggan mengucapkannya.
Pendapat ini justru di perkuat dengan ibarot-ibarot atau redaksi dari para fuqaha’ terdahulu dan merupakan pendapat yang mu’tamad dalam empat madzhab yang mengatakan selamat atas perayaan ibadah orang non muslim adalah haram.
Redaksi Imam ad-Damiri dalam kitabnya An-najmul Wahhaj fi syarhil minhaj
(9/224). Al- khotib As-syarbini juga menyebutkan redaksi senada dengan itu dalam syarah min-haj-nya, yaitu kitab mughnil muhtaj (4/191).
Yang kedua, kita tetap harus mengakui bahwa ada ulama’ yang berpendapat bahwa mengucapkan selamat natal bukanlah sikap anti-islam, bukan sebab kemurtadan, juga bukan ikrar atau pengakuan atas kebenaran agama lain. Bahkan pendapat ini, difatwakan oleh para ulama’ besar dan para pakar fiqih kontemporer kelas dunia. Sebut saja Darul ifta’ Al-mishriyyah yang merupakan lembaga fatw ulama’ mesir, dibolehkan juga oleh Syaikh ‘Ali jum’ah, Syeikh Ahmad Tayyib Syaikhul Azhar, Syeikh Mustafa Az-Zarqa’ yang merupakan salah satu rujukan fiqih paling penting di Suriah, Syeikh Abdullah bin Bayyah merupakan mufti Darul Ifta’ di Unit emirat Arab dan Darul ifta’ Eropa, dibolehkan juga Al-Habib Ali bin Abdur Rahman Al-Jufri bahkan beliau sering memberi ucapan natal ketika hari perayaannya, bahkan habib Ali menulis 3 artikel khusus sebagai
pembelaan atas pendiriannya, lengkap dengan dalil-dalil fiqih qaidah fiqih dan usul fiqihnya. Dan banyak lagi ulama’ yang lain. Mereka semua berangkat dari asas bahwa mengucapkan selamat natal masih berada dalam koridor toleransi yang di bolehkan dan masih dalam batas wajar. Mereka semua adalah para ulama’ Ahlussunnah wal jamaah yang jelas sanad dan kealimannya.
Apakah pantas jika kita berkata bahwa mereka semua adalah ulama’ liberal yang sudah rusak imannya? Apa pantas jika kita berkata bahwa mereka sudah murtad? Jelas tidak mungkin, justru dai mereka lah kita seharusnya belajar. Semoga Allah senantiasa menjaga
lisan kita.
Yang ketiga, perlu di ketahui bahwa permasalah “At-tahni’ah bi-‘idil kuffar”
(mengucapkan selamat atas hari raya orang-orang non muslim) tidak seperti permasalah “ Al-musyarakah fi ihtifal a’yadil kuffar” ( ikut serta dalam perayaan ibadat orang non muslim). Masalah ikut serta dalam peribadatan kaum Nasrani sudah disepakati keharamannya. Tapi masalah member ucapan selamat adalah masalah “ijtihadi” yang bisa menerima perbedaan. Karena dalil keharamannya hanyalah ijtihad para ulama’. Tidak ada ayat Al-Qur’an , hadist, atau ijma’ ulama tentang keharaman member ucapan
selamat natal. Adapun ijma’ yang dinukil Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam kitabnya Ahkam Ahlidz dzimmah (hal 441) perlu dikaji kembali dan di gugat oleh beberapa ulama. Karna tidak memiliki “Mustanadul ijma’ dari Al-Qur’an ataupu hadis sebagaimana di jelaskan dalam kitab-kitab usul fiqih. Ibnul Qayyim, sebagaimana gurunya Ibnu Taimiyyah, juga di kenal “ tasahul ” atau terlalu longgar dalam menukil
ijma’, padahal sebenarnya tidak ada ijma’. Dalam kitab-kitabnya haramnya ziarah makam Nabi, haram tawassul dan lain-lain dan mengatas namakan ijma’. Padahal pendapat merekalah yang melawan ijma’.
Point yang terakhir, jika kita sudah tahu bahwa ada perkhilafan antara ulama’ dalam masalah ini. Lantas untuk apa hal menjadi sebuah keributan? Sampai kapan akan selalu ada saling tuduh
yang hanya memperkeruh keadaan? Bukankah mengakui adanya perbedaan adalah bentuk toleransi? Hentikan keributan seperti ini. Stop saling tuduh dan saling menyesatkan. Itu sesuai
dengan nilai-nilai islam yang kita pelajari dan tidak sesuai dengan nilai –nilai kearifan lokal kita.
Saya pribadi memilih berhati-hati dengan mengikuti pendapat yang tidak membolehkan mengucapkan selamat natal, tapi bukan berarti saya menyesat-nyesatkan mereka memberi ucapan. Jika membangun toleransi sesama ummat islam saja tidak bisa, bagaimana mau
membangun toleransi dengan ummat agama lain. Wallahu A’lam.
Semoga bermanfaat😊
#Semangat_Menulis
#Jurnalistik_IAT
Catatan:@ibrahim.alkhalilie(Santry_Tarem)
By: Nurusshobah