Dapatkah Agama Membela Negara?
4 mins read

Dapatkah Agama Membela Negara?

Hari ini di tengah pandemi Covid-19 yang masih mengancam, sebagaimana setiap tanggal 19 Desember setiap tahunnya, Indonesia memperingati Hari Bela Negara. Peringatan Hari Bela Negara tahun ini, tentu berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Untuk menghentikan pandemi Covid-19, maka pemerintah akan memperingati Hari Bela Negara secara virtual seperti acara-acara keagamaan dan kenegaraan yang lainnya dengan menerapkan protokol kesehatan. Lalu bagaimanakah sejarah HBN (Hari Bela Negara)?. Hari Bela Negara ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono melalui keppres nomor 28 tahun 2006. Bela negara pertama kali digaungkan atas deklarasi PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) oleh Mr. Syafruddin Prawinegara di Sumatera Barat. Apa yang dilakukan oleh presiden PDRI itu adalah upaya untuk menyelamatkan Indonesia dari Agresi Militer Belanda II, pada saat itu Belanda mengaku bahwa negara Indonesia sudah tidak ada,  disebabkan penguasaan kota-kota sentral Indonesia. Sehingga PDRIlah yang kemudian menjadi pembelaan dan menunjukkan eksistensi Indonesia yang beribukota di Bukittinggi.

Beberapa tahun terakhir, eksistensi Indonesia diganggu oleh beberapa aksi terorisme. Terorisme yang dianggap sebagai produk “agama” dalam hal ini Islam, mendapatkan sorotan tajam. Sehingga agama dan negara semakin sering dibentur-benturkan. Posisi agama sebagai suatu sistem yang mengatur peribadatan hubungan manusia dengan Tuhan dianggap tidak perlu ikut campur dengan situasi negara yang diidentikkan dengan aktivitas politik yang mengatur hubungan sosial. Untuk itu diperlukan pemahaman yang moderat bagaimana hubungan agama dan negara.

Dalam sebuah studi yang dimuat di laman Tanwir.Id, Rusdan Arifin al Mughni menyimpulkan relasi agama dengan negara dengan tiga pokok aliran:

Aliran Formalistik/Formalistik: bahwa hubungan agama dengan negara dengan agama seperti hubunhan ibu dengan anak kandung, kedekatan agama dengan negara tidak dapat dipisahkan. Aliran ini berpandangan bahwa negara dan agama adalah satu kesatuan, negara adalah lembaga politik sekaligus kegamaan. Syariat Islam akan berjalan jika negara juga tentram.

Aliran Interseksion/Substansialistik: bahwa negara sebagai wadah aktivitas sosial haruslah aman untuk terselenggaranya aktivitas agama seperti dakwah, demikian agama adalah kontrol bagi negara, agama adalah sumber moral dan akhlak bagi negara, kehancuran agama di suatu negara akan membuat suatu negara akan miskin moral dan wajah negara tersebut akan memalukan. Demikian pendapat bagi aliran ini yang menyimpulkan hubungan agama dengan negara sebagai suatu kondisi timbal balik yang saling membutuhkan satu sama lain.

Aliran Sekularistik: Aliran ini sudah kita mafhumi jika membaca sejarah kesultanan Turki Utsmani sebagai negara Islam dan bertransformasi menjadi Negara Republik Turki yang diplopori oleh Mustafa Kemal. Mustafa kemal sebagai bapak Turki sehingga digelari At Tartuk merubah sistem negara Turki yang sebelumnya kental dengan ajaran Islamnya menjadi sebuah negara yang berinisiatif untuk memisahkan aturan-aturan agama dengan negara. Pisah ranjang antara negara dengan agama inilah yang menjadi pokok dari aliran Sekularistik.

Pembagian di atas kita bisa menebak posisi negara kita untuk menjalankan roda agama maupun negara secara bersama. Jadi hemat penulis, sebagai negara plural yang bertugas mengayomi siapa saja tidak pandang bulu, maka negara dan agama harus mempunyai hubungan yang harmonis. Namun, satu agama tertentu tidak bisa dibiarkan untuk mengatur agama lain ataupun komunitas tertentu, disinilah kerjamasama atau hukum “substansialistik” dapat berlaku, untuk memberikan kenyamanan bagi semua individu maupun kelompok sebagai bagian dari Republik Indonesia. Maka untuk menjawab pertanyaan “Dapatkah agama membela negara?”, maka diperlukan analisis berlanjut.

Kembali ke peringatan Hari Bela Negara ke-72 tahun 2020 yang mengangkat tema “Semnagat Bela Negara Wujudkan SDM Tangguh dan Unggul”, maka fokus utama Bela Negara tahun ini adalah mendorong kita agar menghasilkan manusia Indonesia yang tangguh dan unggul. Untuk menghasilkan manusia yang tangguh dan unggul, maka diperlukan sebuah wadah yang dapat mengisi jiwa-jiwa manusia Indonesia. Kondisi negara yang semakin hari tidak mencitrakan negara yang cinta damai dan dapat dikatakan krisis moril, maka di sinilah diperlukan akses untuk memperbaiki moral kebangsaan.

Agama sebagai sumber adab dan budi pekerti, telah mengatur manusia sebagai khalifah di bumi untuk senantiasa berlaku amanah. Sifat amanah sebagai sifat wajib para pemimpin harus diambil sebaik mungkin dari agama, maka tantangan-tantangan bernegara yang sedang mengalami krisis akhlak, moral dan perasaan amanah akan dapat terselesaikan. Di sinilah bagaimana agama dapat menyelamatkan sebuah negara dari sistem yang dibuat manusia kemudian diperbaiki oleh sistem yang dibuat Tuhan.

Agama sebagai “control of moral” harus diberikan posisi khusus untuk selalu mendampingi arah peradaban suatu bangsa, banyak bangsa yang ambruk akibat hancurnya agama. Maka agama adalah benteng terdepan bagi suatu bangsa, aktivitas spiritual secara tidak langsung menstimulus kekuatan untuk membela negara. Simbol-simbol perjuangan “hubbul wathon minal iman dan NKRI harga Mati” adalah sikap nasionalisme yang menyatakan bahwa membela negara juga bagian dari keimanan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *