Kurikulum Pendidikan Ki Hajar Dewantara
Pendidikan merupakan salah satu elemen paling penting bagi peradaban kehidupan manusia. Demikian pentingnya pendidikan, maka manusia harus memberikannya ruang khusus dan penanganan yang tidak main-main. Indikator kemajuan bangsa dapat kita lihat dari cerminan bagaimana pengelolaan wilayah pendidikan oleh pemerintahnya. Jika aturan-aturan yang diterapkan untuk pengelolaan pendidikan itu buruk, maka dapat dipastikan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) yang dihasilkan akan lebih buruk lagi, karena kualitas SDM suatu negara dapat menolong kualitas SDA (Sumber Daya Alam) yang dimilikinya.
Jika melihat fakta kualitas SDA yang kita miliki dalam tanda kutip “Indonesia”, negara kita adalah negara yang kaya, namun melihat lebih dalam lagi, kehidupan masyarakat Indonesia tidak sekaya alamnya. Ini menjadi sebuah pertanyaan besar bagi negara dengan kualitas alam yang baik namun tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup warga negaranya. Merunut kembali ke atas, di mana pengelolaan SDA itu tergantung kepada SDM yang dimiliki suatu negara. Maka dapat kita simpulkan, problematika kita bukan pada SDA itu namun tepat kepada SDM yang belum mumpuni. Lebih jauh lagi, SDM kita buruk sebab kualitas pendidikan yang ditawarkan pemerintah tidak memenuhi standar sebagai negara kaya alam dan kaya ras.
Berbicara tentang pendidikan di Indonesia memang tidak ada ujungnya. Sejak era presiden pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno sampai Presiden “infrastruktur” Ir. Joko Widodo lika liku pengelolaan pendidikan mengalami pasang surut. Setiap masa berganti, sistem pendidikan juga ikut berubah. Maka tidak ada konsistensi dalam mengatur pendidikan Indonesia. Untuk mengurutkan historis pendidikan kita, penulis rasa itu akan membutuhkan waktu yang sangat panjang. Maka di sini penulis hendak mengingatkan kita kepada batu pertama pembangunan pendidikan Indonesia yang dimulai oleh Ki Hajar Dewantara.
Mengenal Ki Hajar Dewantara
Setiap tanggal 2 Mei setiap tahunnya, bangsa kita merayakan salah satu momen penting yang kita sebut dengan HARDIKNAS (Hari Pendidikan Nasional). Tanggal peringatan tersebut ditetapkan berdasar kepada tokoh yang berjasa merintis pendidikan ala pribumi yaitu Ki Hajar Dewantara. Nama lengkap Ki Hajar yaitu raden mas Suwardi Suryaningrat, beliau lahir di pakualam 2 Mei 1889, lahir sebagai keturunan bangsawan kadipaten Pakualam. Namun kemudian beliau mengubah namanya menjadi Ki Hajar Dewantara pada tahun 1922 bertepatan dengan saat mendirikan sekolah bagi rakyat pribumi bernama Perguruan Nasional Taman Siswa. Dengan mengubah nama, Ki Hajar dapat lebih leluasa berinteraksi dengan masyarakat pribumi secara lahir dan bathin.
Sosok Ki Hajar dalam sejarah kemerdekaan Indonesia sangat sentral, beliau banyak melalui rintangan dari pemerintah kolonial belanda sampai diasingkan ke Belanda. Dan momen pengasingan inilah kemudian menjadi titik tolak Ki Hajar dalam membangun pondasi pendidikan di Indonesia. Ki Hajar banyak belajar di Belanda bersama tokoh-tokoh Indonesia yang turut menjadi kebuasan Belanda.
Sebelumnya, Ki Hajar banyak berperan aktif di Indonesia; sebagai aktivis pergerakan kemerdekaan, seorang penulis dan wartawan dan yang membuatnya terbuang adalah hasil goresan tangannya yang dianggap melawan penjajahan Belanda. Ki Hajar Dewantara juga dikenal sebagai bapak menteri Pengajaran (sekarang: Kemdikbud) pertama Indonesia di bawah rezim Ir. Soekarno. Ki Hajar wafat di kota pendidikan pada tanggal 26 April 1959 dalam usia 69 tahun.
Kurikulum ala Ki Hajar Dewantara
Melihat biografi Ki Hajar Dewantara di atas, ada sisi lain yang banyak kita lupakan dari beliau sebagai the father of Indonesia’s Education (bapak pendidikan Indonesia) adalah falsafah pendidikan yang beliau bangun untuk Indonesia. Hari ini kita banyak berbicara terkait “merdeka belajar” dengan beragam aksi untuk mendapat tempat bahwa kita paling loyal. Namun jauh sebelum itu, bapak pendidikan kita sudah memulainya dengan aksi nyata berupa Perguruan Nasional Taman Siswa.
Taman Siswa atau dalam bahasa Belanda disebut dengan National Onderwijs Instituut Taman Siswa didirikan pada tanggal 3 Juli 1922. Di mulai dengan modal pengalaman ketika dibuang ke Belanda dan sempat bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Adapun semboyan yang beliau pakai sebagai falsafah hidup pendidikan nasional adalah “ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” artinya di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan. Semboyan yang digaungkan untuk memberikan sinyal positif merdeka belajar bagi warga pribumi masih bertahan sampai hari ini.
Kemudian dalam menjalankan proses belajar di Taman Siswa, kata kunci yang hendak penulis sematkan kepada Ki Hajar Dewantara adalah alam, kemerdekaan dan budi pekerti. Pembelajaran yang beliau hidupkan bagi peserta didik beliau sangat erat dengan kekuatan alam. Alam bukan hanya sebagai lokus namun juga sebagai intisari kehidupan yang berhubungan dengan waktu atau zaman. Alam memang tidak dapat dikatakan konsisten dengan satu keadaan. Maka untuk dapat belajar dengan benar maka menjadikan alam sebagai kodrati manusia akan mempermudah pembelajaran.
Kemudian, kemerdekaan belajar yang kita perjuangkan hari ini. Ki Hajar dengan latar belakang sebagai pejuang kemerdekaan, mempunyai perhatian yang intens terkait merdeka belajar. Beliau menyelupkan semangat nasionalisme kepada peserta didik untuk melahirkan pendidikan yang membebaskan dan membahagiakan secara lahir dan bathin. Fokus Ki Hajar berikutnya adalah budi pekerti, pembudayaan moral sangat penting untuk membangun bangsa yang bermartabat. Apa yang Ki Hajar tujukan untuk pendidikan Indonesia ini juga disebutkan dalam butir kedua pancasila; kemanusiaan yang adil dan beradab. Maka setiap warga negara harus berusaha menjaga poin ketiga dari falsafah pendidikan yang Ki Hajar rumuskan.
Kemudian untuk tujuan pendidikan, Ki Hajar membagi fase pendidikan Indonesia menjadi tiga, yaitu:
1. Hamemayu hyuning sariro, yang berarti pendidikan berguna bagi yang berdangkutan, keluarganya dan lingkungannya.
2. Hamemayu hayuning bongso, yaitu pendidikan berguna bagi bangsa, negara dan tanah airnya.
3. Hamemayu hayuning bawono, yang berati pendidikan berguna bagi masyarakat luas atau global.
Ketiga fase di atas mengingatkan kita bahwa pendidikan yang sudah dibangun sebelum Indonesia merdeka itu fokus terhadap kemanusiaan sebagai khalifah di bumi. Maka sudah seharusnya kita berbicara lebih terkait pesan-pesan pendidikan yang dibawa Ki Hajar untuk pribumi Indonesia, apa yang sudah diwariskan harus kita jaga dan rawat dengan baik.