![Agama dan Terorisme: “Benturan Antara Teks dan Pemahaman Teks” [Part. 1]](https://aliflam.staidk.ac.id/wp-content/uploads/2020/12/Ilustrasi-Aksi-Terorisme.jpg)
Agama dan Terorisme: “Benturan Antara Teks dan Pemahaman Teks” [Part. 1]
Tema ini sebetulnya merupakan tugas penulis dalam MK Sosiologi Agama, dan telah dipersentasikan beberapa minggu yang lalu. Penulis merasa, tema semacam ini perlu untuk diangkat kembali, guna memberikan signifikansi pemahaman kepada kita semua tentang problema antara agama dan terorisme.
Apa itu Agama?
Dalam Ensiklopedi Lintas Agama, Abujamin Roham menjelaskan makna ‘Agama’. Secara leksikal, kata ‘agama’ terdiri dari dua kata, “A” yang berarti ‘tidak’, dan “Gama” yang berarti ‘kacau’. Pengertian ini menunjukkan bahwa agama melahirkan keteraturan dalam menjalani kehidupan, sehingga manusia beragama dapat juga berarti manusia yang tidak mengacaukan hidupnya dengan perilaku menyimpang, dan setia menjalani aturan.
Dalam Islam, kata ‘agama’ di istilahkan dengan ‘al-din’, Nabi Muhammad Saw. menjelaskan pengertian al-din dalam sebuah hadis dengan sanad sahih yang di keluarkan oleh Abu Daud No. 4293, “Inna al-dina an-Nashihah” bahwa agama adalah nasihat. Dari hadis ini, Islam memandang sebuah agama sebagai pembawa kedamaian, kasih sayang, dan kontinyu dalam kebaikan.
Sebagian ahli juga menyatakan bahwa agama (religion) berasal dari kata ‘religare’ (Latin) yang berarti ‘mengikat bersama’, sehingga tidak heran jika kemunculan agama itu mengikat orang-orang yang meyakininya menjadi sebuah kelompok (ummah). Menurut ahli yang lain juga seperti William Cavanaugh, ‘religion’ berasal dari kata religio (bahasa Latin Kuno), yang memiliki kesamaan makna dengan religare yaitu mempersatukan atau membangun kembali ikatan yang putus.
Apa itu Terorisme?
Secara etimologis, ‘terorisme’ berasal dari kata latin terrere, yang berarti ‘membuat gemetar atau takut’. Dari pengertian ini, terorisme dapat diartikan sebagai prilaku yang mengakibatkan orang lain merasa ketakutan dan terancam. Adapun secara terminologis, tidak jauh beda dengan kasus agama, definisi ‘terorisme’ masih diperdebatkan oleh orang yang berkecimpung dalam hal ini. John Horgan pun menegaskan bahwa, sejauh ini pengertian ‘terorisme’ belum dapat disetujui secara luas. Walaupun demikian, jika kita mengacu pada definisi yang di usung oleh FBI (Biro Investigasi Federal Amerika), terorisme dapat berarti, suatu tindakan kriminal yang dilakukan oleh seseorang atau golongan tertentu berupa pengintimidasian, pemaksaan, bahkan pembunuhan terhadap sasarannya, dengan tujuan yang bersifat politis.
Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) pun menilai bahwa terorisme merupakan kejahatan yang terorganisasi (well organizeq) dan bersifat transnasional, sehingga terorisme tergolong salah satu bentuk kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime), berprilaku biadab tanpa berprikemanusiaan. Maka di sini MUI mengambil keputusan, yang tertuang dalam fatwa Nomor 3 Tahun 2004 tentang Terorisme tanggal 05 Dzulhijjah 1424 H / 24 Januari 2004, dengan menyatakan bahwa terorisme adalah tindakan kebatilan yang bertujuan merusak kemanusiaan dan peradaban, yang memicu pergolakan serius terhadap kedaulatan, dan keamanan negara, serta mengancam perdamaian.
Dari pengertian di atas, kita dapat memahami bahwa, seluruh dunia mengecam dan menolak keberadaan terorisme. Karena implikasinya bukan hanya merugikan kesejahteraan negara, tetapi juga mengancam persatuan dan keharmonisan masyarakat di seluruh dunia.
Motif Agama Gerakan Terorisme
Wacana terorisme telah menjadi isu publik (global), dan banyak mewarnai media pemberitaan, baik media cetak maupun elektronik, serta media sosial (Medsos). Sejak tahun 1994, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyatakan dan menetapkan bahwa terorisme (acts of terrorism) sebagai tindakan terlarang dan merupakan kejahatan berskala internasional. Artinya adalah bahwa terorisme bukan hanya terjadi dalam satu negara saja, namun telah terjadi di berbagai kawasan dunia, di mulai dari Asia hingga Eropa.
Tragedi serangan mendadak yang terjadi pada 11 September 2001 yang lalu, telah menghancurkan menara kembar WTC di New York dan sebagian gedung Pentagon di Washington, serta menewaskan 300 nyawa manusia. Peristiwa itu menjadi momentum bersejarah bagi bangsa Amerika Serikat bahkan masyarakat dunia, sehingga tragedi tersebut‒bagi masyarakat Amerika‒sering mereka ingat dengan ‘Black Tuesday’. Dari sinilah lahirnya babakan baru gerakan terorisme di Amerika.
Namun, hal yang sangat banyak mengundang sorotan publik selama beberapa tahun terakhir adalah terorisme yang terjadi di Timur Tengah. Kita sering menyaksikan berita-berita di medsos, dimana kelompok sektarian di Timur Tengah banyak menyajikan gambar maupun video yang memiriskan hati, pasukan senjata yang siap mengintai di balik bangunan rumah, orang tua berlumuran darah sambil berlari menggendong mayat buah hatinya, anak kecil yang tertimpa reruntuhan bangunan batu-batu yang tampak tak berwarna, hingga berserakannya mayat-mayat yang tiada satupun orang yang memperdulikannya di sebabkan yang lainnya berusaha melindungi diri mereka masing-masing, bahkan yang terlebih menyayat hati kita saat pemenggalan kepala manusia secara lansung di depan kamera oleh pasukan ISIS, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Jika kita menghayati peristiwa-peristiwa miris di atas, kita akan menyadari betapa kejam dan jahatnya apa yang mereka lakukan. Peristiwa semacam itu patut di kategorikan sebagai tindakan terorisme, karena tindakan tersebut bukan hanya berorientasi memakan korban nyawa dan harta, tetapi juga dapat mengancam stabilitas keamanan masyarakat dunia. Lalu pertanyaannya, apakah benar tindakan teror semacam itu merupakan gerakan yang termotifikasi oleh agama? Sebab kalau kita melihat realita yang terjadi, pelaku teror‒yang meruntuhkan menara kembar WTC di New York dan menewaskan 300 nyawa manusia‒itu adalah kelompok tertentu dengan bermotif agama. Bahkan Osamah bin Laden, yang merupakan pimpinan tertinggi al-Qaeda, dalam sebuah pernyataan yang di sampaikan usai kejadian itu, mengatakan bahwa Tuhan dengan kekuasaan-Nya telah menghantam dan meluluhlantakkan Amerika dan menghancurkan bangunan termegahnya. Osamah pun mengucapkan rasa syukur nya kepada Tuhan atas kematian dan kehancuran yang dialami Amerika berkat perjuangan anggota kelompok al-Qaeda.
Demikian pula dunia di kejutkan oleh kemunculan ISIS yang mendeklarasikan kepemimpinan khilafah di Irak dan Suriah pada tahun 2013 yang lalu, disertai dengan pemberitaan di media masa secara transparansi, mengenai aksi bejat mereka yang tidak berperikemanusiaan itu dengan memerangi etnis-etnis/kelompok tertentu yang tidak mengikuti konsep khilafah yang mereka tawarkan, bahkan mereka tidak segan-segan memenggal leher orang lain dengan pisau tajam di hadapan kamera lalu menyebarkan foto beserta videonya secara terbuka.
Kasus lainnya juga pernah terjadi jauh sebelum ini, yaitu pada 6 Oktober 1981, telah terjadi aksi teror yang menewaskan salah seorang presiden Mesir, Anwar Sadat. Aksi itu di ketuai oleh Letnan khalid al-Islambuli, ia merupakan salah seorang tentara dan anggota organisasi bernama al-Jihad di Mesir. Setelah berhasil meluncurkan tembakan ke arah tribune kehormatan yang diduduki Sadat, ia mengatakan dengan nada lantang sambil berteriak, “Saya atas nama Khalid al-Islambuli, telah membunuh Fir’aun keparat (Sadat), dan dengan apa yang telah saya lakukan ini, sedikitpun tiada rasa takut bagi saya untuk di hukum mati”.
Jika kita ingin berkata jujur, aksi-aksi mereka ini sebetulnya memunculkan semacam citra (image) bahwa terorisme memang lahir dan berakar dari agama, dalam hal ini Islam. Tetapi, jika kita membuka kembali lembaran lebar terkait aksi terorisme, kejadian serupa tidak hanya dilakukan oleh Islam, melainkan oleh penganut agama lain, yakni Yahudi. Tepat pada 4 November 1995, sekitar empat belas tahun setelah kematian Sadat, telah terjadi pembunuhan terhadap Perdana Menteri Israel Yitzhak oleh seorang ekstrim Yahudi bernama Yigal. Ia pun sempat berkata kepada para polisi waktu itu, “Saya membunuhnya dengan tanpa bantuan siapapun, karena bagi saya ini adalah perintah Tuhan. Dan saya tidak akan pernah menyesali perbuatan semacam ini”.
Meskipun demikian, kita berhak menanyakan kembali terhadap berbagai bentuk penyimpangan ini, apakah ada hubungan antara terorisme dan agama? Mungkinkah suatu agama menanamkan benih-benih terorisme bagi penganutnya? Kalau iya, niscayakah dikatakan sebagai terorisme religius?
Jawabannya akan penulis uraikan pada tulisan part. 2, Semoga bermanfaat…!
Referensi:
Asad, Talal, Genealogies of Religion: Disciplines and Reasons of Power in Christianity and Islam (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1993)
Benjamin, Daniel and Steven Simon, The Age of Sacred Terror: Radical Islam’s War Against America (New York: Random House, 2002)
Cavanaugh, William, The Myth of Religious Violence (New York: Oxford University Press, 2009)
Esposito, John L., Unholy War: Terror in the Name of Islam (New York: Oxford University Press, 2002)
Fatwa, A.M., Terorisme Global dalam Perspektif Islam, (Jurnal Tarjih edisi ke-9, Januari 2007)
Fox, Jonathan, “Clash of Civilizations and Clash of Religions: Which is a More Important Determinant of Ethnic Conflict?”, Ethnicities, Vol. 1, No. 3 (2001)
Hamilton, Malcolm, The Sociology of Religion: Theoretical and Comparative Perspectives, Second Edition (New York: Routledge, 2001)
Hoffman, Bruce, Inside Terrorism (New York: University of Columbia Press, 1998)
Horgan, John, The Psychology of Terrorism (London and New York: Routledge, 2005)
Hunt, Stephen J., Religion in Western Society (New York: Palgrave, 2002)
Juergensmeyer, Mark, Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence, Updated Edition with a New Preface (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 2000)
Kataoka, Tatsuki, “De-Institutionalizing Religion in Southeast Asia,” Southeast Asian Studies, Vol. 1, No. 3 (Desember 2012)
Kepel, Gilles, Muslim Extremism in Egypt: The Prophet & Pharaoh (Berkeley and Los Angeles: University California Press, 1985)
Mustofa, Imam, Terorisme: Antara Aksi dan Reaksi (Gerakan Islam Radikal sebagai Respon terhadap Imperialisme Modern), Jurnal RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012
Roham, Abujamin, Ensiklopedi Lintas Agama, (Jakarta: Emerald, 2009)
Santi, Selpia, Terorisme Dan Agama Dalam Perspektif Charles Kimball, Jurnal ICMES Volume 1, No. 2, Desember 2017
Shihab, M. Quraish, Islam yang Saya Pahami, Keragaman Itu Rahmat, (Tangerang: Lentera Hati, 2017)
Uergensmeyer, Terror in the Mind of God, 5; Joseph S. Tuman, Communicating Terror: The Rhetorical Dimensions of Terrorism (Thousand Oak, CA: Sage Publication, 2003)