Wajah Islam Indonesia dalam Kancah Budaya dan Peradaban Islam
Muhammad Syafirin, 16/12/2020
Tidak dapat disangkal bahwa bangsa Indonesia, menempati posisi pertama sebagai pemeluk Islam terbanyak di seluruh dunia. Dari jumlah 200 juta penduduk, sekitar 87% masyarakat Indonesia sebagai penganut ajaran agama Islam. Namun demikian, dalam sepanjang sejarah Islam yang berabad-abad lamanya, posisi dan peran Islam Indonesia tidak memperlihatkan gelombang otoritas yang menggetarkan peradaban Islam masa itu. Justru negara-negara Islam di Timur Tengah lah yang mampu menorehkan tinta emas dalam kancah budaya dan peradaban Islam, padahal jumlah mereka tidak seberapa dibanding nominal pemeluk Islam di Indonesia. Dengan melihat fenomena ini, penulis mencoba untuk menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan Islam Indonesia tampak terbelakang dalam memainkan peran peradaban di dunia Islam masa pada lampau.
Secara historis, beberapa teori menyebutkan bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad-abad pertama Hijri. Namun letak geografis Islam Indonesia pada masa itu, berada di ‘pelosok’ atau pinggiran dunia Islam. Dan karena posisinya yang demikian itulah, Islam Indonesia tampak terkucil dan tidak mampu memainkan peran sentral dan strategis dalam kancah pergumulan budaya dan peradaban dunia Islam.
Dalam kesempatan ini, penulis mencoba mengutip pandangan Faisal Ismail dalam bukunya ‘Islam: Transformasi Sosial dan Kontinuitas Sejarah’, beliau menyebutkan ada empat faktor utama yang menyebabkan Islam Indonesia tidak mampu memainkan peran strategis dalam kancah percaturan budaya dan peradaban dunia Islam di masa lampau. Keempat faktor tersebut adalah:
- Faktor Penjajahan asing
Faktor penjajahan bangsa asing yang berlansung sekian abad lamanya, mengeksploitasi seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa indonesia, sehingga rakyat Indonesia menjadi hancur, terlantar dan terbelakang, baik dalam dimensi sosial maupun pendidikannya. Dengan kebijakan yang serba restriktif dan kejam, rakyat Indonesia terpaksa harus fokus kepada perjuangan mengusir penjajah daripada pengembangan-pengembangan kreativitas maupun intelektualitas pada masa itu.
- Posisi geografis-kultural
Posisi geografis-kultural Indonesia yang jauh dan berada di ‘pinggiran’ dunia Islam, menjadikan Indonesia terlambat mengikuti arus kebudayaan dan peradaban Islam Timur Tengah. Antara abad ke-8 hingga abad ke-12 M, beberapa kota seperti Baghdad, Cairo, dan Isfahan yang terletak berdekatan dengan pusaran peradaban Islam, telah mulai tampil sebagai sentral budaya dan ilmu pengetahuan dengan menampakkan kegemilangan yang luar biasa. Sementara pada abad-abad tersebut, Islam Indonesia, yang letaknya terpencil dan jauh dari Timur Tengah, tidak ikut serta merasakan arus revolusi intelektual dan kultural Islam yang secara keras mengguncang kawasan Timur Tengah waktu itu.
- Pengaruh ajaran mistik Islam
Secara signifikan, Islam yang datang ke Indonesia adalah pasca Baghdad, yakni Islam yang bercorak “mistik”; Islam yang konsentrisnya pada amaliyah spiritual. Kontak pertama Islam Indonesia dengan ajaran mistik ini telah menyebabkan umat Islam Indonesia lebih menekankan pada aspek ‘kesalehan’ spiritual dan kurang menekankan pada signifikansi ‘olah’ intelektual. Hasilnya adalah dalam kurun waktu yang cukup panjang peradaban spiritual lebih menonjol dibandingkan dengan peradaban intelektual dalam kehidupan Islam Indonesia.
- Faktor sistem kerajaan
Kalau kita membaca sejarah Islam Indonesia, khususnya sejarah pada masa lampau, akan terlihat jelas bahwa Islam Indonesia lebih identik dengan sistem kekerajaan, bukan kebudayaan. Walaupun dalam kenyataannya terdapat banyak kerajaan Islam seperti Demak, Pajang dan Banten, tetapi kerajaan-kerajaan ini tidak menghasilkan kebudayaan dan peradaban sebagaimana yang terjadi secara spektakuler di Timur Tengah. Sosok dan watak Islam di Timur Tengah seperti yang tercermin pada masa kekhalifahan Dinasti Abbasiyah di Baghdad dan masa kerajaan Dinasti Safawiyah di Iran ataupun masa kegemilangan Daulat Bani Umayyah di Andalusia (Spanyol-Islam) adalah identik dengan kerajaan sekaligus peradaban yang melahirkan intelektual-intelektual cemerlang dan brilian dalam bidang pemikiran agama, filasafat, matematika, astronomi, kedokteran, sastra dan cabang-cabang ilmu pengetahuan lainnya.
Dari uraian di atas, kita dapat memetik pelajaran, bahwa untuk menjadi Islam yang berkemajuan dan berperadaban, kita harus menyelaraskan dua hal; kesalehan spiritual dan kesaleha intelektual. Kita tidak bisa memisahkan dan atau membuang salah satunya. Kesalehan spiritual membimbing kita kepada kedekatan dengan Tuhan, sedangkan kesalehan intelektual membuat Islam tetap jaya, maju, dan melahirkan peradaban yang gemilang.
Semoga bermanfaat…!
Referensi:
Faisal Ismail, Transformasi Sosial dan Kontinuitas Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001)
Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara (Riau: Nuansa Jaya Mandiri, 2014)
Michael Laffan, Sejarah Islam di Nusantara (Yogyakarta: Bentang, 2011)
Wilaela, Sejarah Islam Klasik (Riau: FU UIN Sultan Syarif Kasim, 2016)