BELAJAR DARI ETIKA TUHAN ! [Interpretasi Kalimat Hamdalah Sebagai Kritik Sosial]
7 mins read

BELAJAR DARI ETIKA TUHAN ! [Interpretasi Kalimat Hamdalah Sebagai Kritik Sosial]

Pada tulisan sebelumnya, penulis telah menjelaskan hakikat basmalah dengan pendekatan sosial kemasyarakatan, dimana Allah Swt. mengajarkan kita makna kebaikan dan kasih sayang secara universal, dengan tidak memandang rupa, agama, suku, budaya dan sebagainya. Dan setelah itu, Allah menyatakan pujian atas diri-Nya pada kalimat ‘Alhamdulillahi rabbil ‘alamin’ (Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam). Kalimat ‘Alhamdu menunjukkan makna totalitas pujian atau pujian yang kaffah (komprehensif) yang hanya di peruntukkan bagi Allah. Tentunya segenap bentuk pujian adalah kelayakan bagi-Nya, dan Dia berhak untuk dipuji, mengapa demikian? Karena Dia-lah yang bersifat ar-Rahman dan ar-Rahim. Seantero jagad raya ini diciptakan dan dipelihara dengan kasih sayang-Nya, curahan rahmat-Nya pun turun silih berganti kepada seluruh makhluk, termasuk manusia.

Urgensi basmalah dan hamdalah ialah satu rumpun kalimat yang memiliki keterkaitan satu sama lain. Sehingga wajar bila dalam sebuah hadis, Nabi menyatakan bahwa basmalah dan hamdalah sebagai ‘kunci’ keberkahan segala perbuatan. Tanpa keduanya, setiap perbuatan baik yang dilakukan seseorang akan terputus dari rahmat-Nya, sebagaimana sabda beliau, “Setiap perkara yang memiliki kepentingan, tidak diawali dengan ‘Alhamdulillah’ (dalam riwayat lain, ‘basmalah’), maka dia terputus”. (HR. Abu Dawud)

Adapun esensi perintah membaca basmalah dan hamdalah ketika hendak memulaikan setiap perkara adalah sebagai wujud pengakuan tulus kepada Allah Swt. atas nikmat yang diberikan-Nya. Karena itu, saat mengucapkan basmalah, seseorang harus menyadari bahwa  betapa kemampuannya dalam melaksanakan suatu pekerjaan maupun urusan lainnya itu semata-mata karena anugerah dan kasih-sayang-Nya. Sedangkan tujuan melafazkan hamdalah, adalah meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah Swt. memberikan segala yang baik dengan tepat dan sesuai untuk dirinya, dan meyakini segala yang diberikan-Nya adalah terpuji. Jika demikian, maka bagaimanakah cara seorang hamba berterima kasih kepada-Nya atas kerunia besar ini? Dalam al-Qur’an Surah Luqman [31]: 25, Allah Swt. mengajarkan hal tersebut. Dia berfirman, “Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”. Kataknalah: “Segala puji bagi Allah”; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”.

Sebuah pujian memiliki makna ucapan tulus dari seseorang kepada yang dipuji atas jasa besar atau prestasinya yang baik dan mumpuni. Pada konteks ayat di atas, Allah Swt. mengajarkan kita sebuah pujian sederhana dan singkat, yaitu hanya dengan ucapan “Alhamdulillah”. Setidaknya hal ini memberikan dua macam maksud dan tujuan tertentu; Pertama, Secara tidak lansung, Allah memberikan sebuah edukasi etik kepada kita bahwa pujian yang benar dan tepat itu adalah pujian yang tidak melampaui batas kewajaran dan kelayakan terhadap yang dipuji tersebut. Allah dengan kebesaran dan keagungan-Nya, tidaklah menghendaki kalimat pujian yang berlebihan dan melampaui batas, bukan karena Dia tidak layak untuk menyandang pujian semacam itu, tapi untuk mengajarkan kita agar tidak kelewatan batas dalam memuji kepada selain-Nya, karena seseorang yang dipuji di luar batas kewajaran akan melahirkan rasa sombong, angkuh, dan hilangnya moral.

Kedua, kalimat ‘Alhamdulillah’ di atas menggunakan bentuk personal ketiga, seakan-akan kalimat pujian itu niscaya terungkap walau tanpa kehadiran yang dipuji. Etika semacam ini sangatlah etis jika diterapkan dalam kehidupan kita. Tuhan dengan bijak mengajarkan, bahwa memberi pujian kepada seseorang hendaklah diucapkan bilamana yang dipuji sedang tidak berada di hadapannya. Tujuannya antara lain untuk mengatasi kemungkinan lahirnya persepsi negatif dari orang ketiga yang ikut serta mendengarkan pujian itu. Karena biasanya, orang yang memberikan sanjungan, pujian, dan kata-kata manis lainnya, pastinya menginginkan take and give dari pujian yang dipersembahkannya, yang walaupun–tidak menutup kemungkinan‒ada pula sebagian orang yang memang betul-betul tulus mengucapkannya tanpa embel-embel atau simbolisme identitas. Namun, realita yang sering kita lihat dan dengar, hal yang demikian sangatlah langka bahkan tidak diketemukan.

Adapun tujuan ketiga, Allah mengajarkan pujian yang sederhana, untuk mengantisipasi terjadinya perbudakan di dunia ini. Kalau kita bertanya, perbudakan bagaimana yang dimaksud? Jawabannya sangatlah banyak. Namun pada tema ini, penulis akan sebutkan satu bagian saja, di antaranya; perbudakan moralitas. Perbudakan ini terjadi karena sifat fanatisme berlebihan, dalam istilah agama dikenal dengan ‘ashabiyah’. Banyak di kalangan umat manusia yang bersemangat dalam membela dan mentokohkan seseorang yang dianggapnya memiliki keistimewaan dan wibawa hingga melewati batas kewajaran dan kodratnya. Akhirnya yang terjadi adalah bukan hanya penerimaan terhadap segala ucapan seseorang yang ditokohkan itu, tetapi lebih dari itu, ia akan mengadopsi segala bentuk pola pikir dan tingkah laku bahkan boleh jadi budayanya.

Bukankah kita telah mengetahui bahwa setiap bentuk pemikiran atau sudut pandang pemikiran, akan lahir dari pengaruh sekitarnya, baik kondisi sosial, budaya, maupun politik yang terjadi saat itu. Sehingga ironis sekali jika apa yang dilahirkan dari pemikiran tokoh itu akan kita serap dan konsumsi mentah-mentah tanpa melihat konteks dimana kita berpijak. Katakanlah misalnya ulama salaf, yang merupakan pewaris kenabian dalam mensyiarkan ajaran Islam pada masanya. Dalam ranah ijtihadiyah, pemikiran mereka tentunya dipengaruhi oleh kondisi atau konteks saat itu, yang jikalau dibandingkan dengan konteks saat ini sangatlah berbeda.

Maka, jika pada zaman sekarang muncul kelompok-kelompok tertentu yang berkampanye untuk menyeru kembali kepada ajaran salaf dan meneruskan pemikiran mereka seutuhnya, inilah yang penulis anggap sebagai perbudakan moralitas. Kenapa? Karena Yusuf Qardhawi pun menyatakan bahwa seyogyanya kita sebagai generasi abad modern ini, tidak boleh terlepas dari pemahaman ulama salaf, namun tidak semua pemikiran yang lahir dari mereka mesti kita serap begitu saja. Karena ada banyak problem-problem yang sebetulnya telah berubah dari isu-isu klasik menuju wacana modern. Ziauddin Sardar dalam bukunya Reading Qur’an: The Contemporary Relevance ofThe Sacred Text of Islam, menambahkan, Sikap kita terhadap ulama salaf adalah menghormati jasa-jasa mereka terhadap agama ini, namun bukan berarti semua ijtihad mereka mesti kita ikuti. Yang benar adalah kita mengikuti dan menerapkan metode-metode berpikir mereka yang kemudian dengan metode itu kita bisa menyegarkan pendapat-pendapat terdahulu yang dianggap kusam dan tidak sesuai dengan zaman sekarang. Maka jika saat ini ada kelompok-kelompok yang menyerukan untuk kembali kepada ajaran salaf dengan mengkonsumsi semua pendapat dan segala pola yang terjadi, sungguh kita telah diajak untuk hidup mundur ribuan tahun ke belakang, dengan begitu Islam akan selalu dianggap sebagai agama konservatif dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan zaman.

Di Indonesia, perbudakan moralitas banyak kita temukan, dan saat ini-pun kita bisa menyaksikan hirup pikuk yang dihadapi negara ini. Tendensi yang terjadi akhir-akhir ini membuat Indonesia menjadi heboh. Ormas-ormas yang ada seringkali melahirkan perdebatan yang cukup tajam. Terkadang salah satu ormas berprinsip amar ma’ruf nahi munkar, namun ormas lainnya ada yang lebih menekankan toleransi, atau yang sering digaungkan saat ini adalah konsep Islam wasathiyah, karena melihat Indonesia ini merupakan negara yang sifatnya plural/majemuk, sehingga sikap toleransi mesti diutamakan demi menjaga stabilitas dan keutuhan bangsa Indonesia. Konsep-konsep/tipologi ini, belum menemukan titik temu yang harmonis hingga saat ini, karena melihat sikap masyarakat yang begitu fanatis terhadap ormas masing-masing, kecuali jikalau mereka mau mengedepankan konsoliditas di kalangan mereka.

Oleh karena itu, marilah kita kembali kepada pesan dan pengajaran yang telah Allah siratkan dalam ayat kedua Surat Al-Fatihah, yakni ayat hamdalah. Disana Allah menampakkan etika moral yang bijak terutama dalam memberikan ungkapan sanjungan dan pujian kepada seseorang. Sehingga pada akhirnya kita akan terlepas dari kepentingan-kepentingan personal, material maupun politis.

Demikian Wallohu a’lam !

Salam jurnalistik…!

Muhammad Syafirin, IAT/V

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *