![TIPOLOGI BASMALAH [Interpretasi Sosial dalam Meneladani Sifat Tuhan]](https://aliflam.staidk.ac.id/wp-content/uploads/2020/11/asmak-kasih-sayang.jpg)
TIPOLOGI BASMALAH [Interpretasi Sosial dalam Meneladani Sifat Tuhan]
بسم الله الرحمن الرحيم
“Basmalah” (Bismillahirrahmanirrahim), merupakan ayat pertama pada surat pembuka al-Qur’an (al-Fatihah). Allah Swt. me-muqaddimah-kan kitab-Nya dengan basmalah yang biasa diterjemahkan ‘dengan nama Allah, atas nama Allah’. Muqaddimah seperti ini juga dilakukan oleh Allah Swt. pada saat mengawali pemberian wahyu-Nya kepada Nabi Muhammad Saw. yang walaupun dengan redaksi yang sedikit berbeda, ‘bismirabbika’ (dengan nama Tuhanmu). Tentunya kedua muqaddimah (pendahuluan) ini merupakan pesan filosofis pertama yang sampaikan oleh Allah kpada hamba-Nya, yakni agar manusia di setiap aktivitasnya, selalu memulaikan dengan nama Allah.
Kalimat ‘bismirabbik’ mengandung makna konsep pengakuan terhadap kedudukan Allah Swt. sebagai pencipta (ke-Rububiyahan-Nya).
Konsep inilah yang pertama kali diperkenalkan Allah dalam al-Qur’an, mengapa demikian? Karena pada masa itu, orang-orang Quraish memang mempercayai akan adanya Tuhan, bahkan jika mereka ditanyai siapa Tuhan mereka, maka akan dijawab, ‘Tuhan kami adalah Allah’, sebagaimana diterangkan dalam Q.S az-Zumar [39]: 38. Akan tetapi satu hal yang mereka ingkari, yaitu ke-Rububiyahan-Nya atau kedudukan Allah sebagai pencipta, penumbuh, pengembang, dan pemelihara. Mereka percaya adanya Tuhan, tapi sebatas nama, tuhan yang tidak memiliki eksistensi dan peran apa-apa.
Adapun kalimat ‘bismillah’, yang digunakan Allah untuk memulaikan kitab-Nya, mengandung konsep ke-Ilahian-Nya (sifat-sifat-Nya). Tujuan kalimat ini adalah untuk memperkenalkan kepada manusia akan sifat Diri-Nya yang sedemikian Agung nan Mulia. Kemudian dalam ‘basmalah’, kata “Allah” dirangkaikan dengan dua sifat yakni ar-Rahman dan ar-Rahim, mengapa demikian? Kenapa harus dua sifat ini? Bukankah dalam al-Qur’an disebutkan begitu banyak sifat-sifat Allah selain dua sifat tadi?
Ar-Rahman dan ar-Rahim merupakan dua di antara 99 nama dan sifat Allah yang dikenal dengan istilah ‘asmaulhusna’. Ulama’ membagi 99 nama dan sifat-sifat tersebut menjadi dua sifat universal, yaitu sifat jamaliyah (sifat keindahan Allah, yang menunjukkan kasih sayang-Nya), dan sifat jalaliyah (sifat yang menunjukkan keagungan Allah).
Dari sisi kuwantitas, ulama menemukan sifat jamaliyah (keindahan-Nya) lebih banyak daripada sifat jalaliyah (keagungan-Nya). Dan sifat ar-Rahman dan ar-Rahim adalah dua di antara sifat jamaliyah tersebut. Adapun sifat-sifat jalaliyah yang dimaksud lebih sedikit itu di antaranya, al-Malik (Maha Menguasai), al-Jabbar (Maha Perkasa), al-Kabir (Maha Besar), al-Mutakabbir (Maha memiliki Kebesaran), al-Qahhar, al-‘Aziz, al-Mu’izzu dan lain-lain.
Tujuan pembagian sifat-sifat yang jumlahnya 99 itu adalah sebagai pesan moralitas kemanusiaan. Allah Swt. pada satu sisi mempersembahkan sifat-sifat dan nama-Nya untuk dikenali sekaligus untuk dicontohi sebagai wujud moralitas mumpuni, namun pada saat yang sama, Allah hanya menghendaki nama dan sifat-sifat-Nya untuk dikenali dan difahami saja, tapi bukan untuk dicontohi.
Ketika kita menemukan sifat jamaliyah-Nya, maka yang harus kita lakukan adalah ‘tasybih’. Tasybih di sini bermakna menyerupai-Nya dalam sifat-sifat keindahan-Nya, atau meniru dan meneladani sifat-sifat tersebut pada diri kita. Misalnya dalam kalimat basmalah terdapat dua sifat jamaliyah-Nya, ar-Rahman dan ar-Rahim, maka kita mesti mengikutinya dengan mewujudkan sifat pengasih dan penyayang. Dari kedua sifat ini, lahirlah sifat saling mencintai, sikap toleransi, serta selalu menebarkan kebaikan. Dan dengan meneladani sifat ini, seseorang akan berusaha meninggalkan sifat kekerasan dan pengrusakan di muka bumi.
Kemudian pada saat bertemu dengan sifat jalaliyah-Nya, kita mesti melakukan ‘tanzih’, yakni membersihkan diri atau menjauhkan diri dari meneladaninya, karena hanya Allah-lah yang berhak menyandang sifat tersebut, seperti sombong, angkuh, pemaksa, pemarah dan lain-lain. Allah menampakkan sifat-sifat ini agar manusia betul-betul menyadari betapa lemah dan tidak berdayanya jika di banding-Nya, dan manusia juga bisa memahami keterbatasan dan kemampuannya di hadapan Allah. Sehingga pada akhirnya, manusia yang sadar akan ke-dhaif-annya, ia akan memerlukan bantuan Allah untuk memberikannya kekuatan; bagi yang sadar akan keterbatasannya, ia akan memohon kepada Allah agar diberikan potensi dan kecukupan. Demikian seterusnya.
Hakikat yang ada pada basmalah‒sebagai muqaddimah kitab-Nya‒ini sebetulnya adalah kerinduan Allah untuk memperkenalkan sifat jamaliyah-Nya, bukan jalaliyah-Nya. Mengapa demikian? Itu karena Allah Swt. memulaikan skenario penciptaan alam semesta ini dengan kebaikan, cinta dan kasih sayang, bukan dengan kesombongan apalagi paksaan. Sebagaimana seorang filosof, Plato, berkata ‘Tuhan menciptakan alam semesta ini dengan kebaikan’.
Ilustrasi kerinduan Allah untuk memperkenalkan diri-Nya, terdapat dalam sebuah hadis qudsi yang sering dikutip oleh ulama sufi, berbunyi:
كُنْتُ كَنْزًا مَخْفِيًّا فَأَحْبَبْتُ أَنْ أُعْرَفَ فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ لِكَيْ أُعْرَفَ
“Dahulu, Aku adalah kanzan makhfiyya (kekayaan yang terpendam). Aku ingin di kenali, maka Aku pun menciptakan makhluk agar Aku dikenali”
Setelah Allah menciptakan makhluk, Dia kemudian memperkenalkan sifat jamaliyah-Nya, yaitu ar-Rahman dan ar-Rahim. Agar apa? Tentunya agar setiap makhluk (manusia) menyadari betapa bermakna dirinya di sisi Allah dan supaya mereka mengambil contoh dari sifat-Nya. Allah Swt. dalam sebuah hadis dijelaskan tentang sifat kasih sayang-Nya, Nabi bersabda, “Sesungguhnya Rahmat-Ku (kata Allah), mendahului/mengalahkan amarah-Ku.” (H.R Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah).
Demikian juga dalam surat al-A’raf [7]: 156, Allah menegaskan (yang artinya), “Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu”. Bahkan jika kita membaca ayat dalam surah al-An’am [6]: 12, sesungguhnya Allah, memang telah menetapkan diri-Nya untuk berkasih sayang terhadap seluruh makhluk-Nya.
Oleh karena itu, jika ada seorang hamba-Nya yang mengaku senang membaca basmalah, namun ia masih bersikap angkuh, radikal, intoleran, apalagi teror, maka sebetulnya ia sedang memperkenalkan image-nya kepada publik, sebagai sosok yang menyeleweng dari esensi basmalah.
Semoga bermanfaat…!
#Salam Jurnalistik
#Muhammad Syafirin, IAT/V