11 mins read

Konsep “Ta’addud al-Qudamâ” Menurut Para Filosof

Dalam sejarah pemikiran Islam, terdapat perbedaan sudut pandang mengenai konsep pemurnian tauhid (keesaan Tuhan) yang merupakan inti dasar dari ajaran Islam. Di kalangan mutakallimîn atau teolog Islam dari sekte Mu’tazilah, misalnya, menafikan adanya sifat-sifat bagi Tuhan, karena bagi mereka, “sifat” ialah sesuatu yang melekat pada sesuatu yang lain. Jika Tuhan mengandung banyak sifat, maka Tuhan telah tersusun dari banyak unsur. Tentu ini akan membawa kepada ketidakmurnian tauhid. Kata-kata seperti al-Rahmân, al-Rahîm, al-Quddûs, al-Salâm dan lainnya sebagainya, menurut Mu’tazilah, bukanlah sifat yang tersemat pada diri Tuhan, melainkan hal-hal yang menjadi bagian dari zat-Nya, yang di dalam al-Qur’an disebut sebagai “nama-nama agung” (al-Asmâ` al-Husnâ) dari Allah Swt.

Kaum Sufi berbeda dengan Mu’tazilah, di mana kemurnian tauhid itu diartikan dengan ketiadaan wujud selain wujud Tuhan. Wujud Tuhan adalah wujud yang hakiki (lâ maujûd ‘ala al-ithlâq illâ Allâh). Jika sesuatu selain-Nya memiliki wujud yang hakiki, berarti di sini telah terjadi multivalensi wujudiyah (wujud yang jamak), dan pada akhirnya akan merusak makna tauhid yang sesungguhnya. Oleh karena itu, kaum Sufi berpendapat bahwa segala sesuatu selain Tuhan, pada hakikatnya, adalah tiada. Yang ada hanyalah Tuhan, dan wujud selain-Nya hanyalah bayang wujud dari wujud-Nya. Ibarat sebuah pohon dan bayangannya, di mana wujud aslinya ialah pohonnya, sedangkan bayangannya adalah ficture pantulan yang seakan-akan tidak ada. Pandangan inilah yang kemudian dikenal dengan paham wahdat al-wujûd (kesatuan wujud), dalam arti bahwa wujud bayang itu  bergantung dan bersatu pada wujud yang menjadi empu bayang.

Selain dua kelompok di atas, para filosof Islam juga memberikan definisi tentang konsep kemurnian tauhid. Al-Farabi, seorang filsuf yang menjadi pelopor utama gagasan ini, menawarkan pandangan yang berbeda dari dua kelompok di atas. Jika Mu’tazilah melakukan pemurnian tauhid melalui upaya peniadaan sifat-sifat Tuhan dan Sufi melalui peniadaan wujud selain wujud Tuhan, maka Al-Farabi melangkahi keduanya dengan mengusung teori “pancaran” (al-fâidh) atau yang dikenal sebagai teori emanasi. Melalui teori ini, Al-Farabi berupaya untuk meniadakan pengertian yang plural dalam “diri” Tuhan. Menurutnya, apabila Tuhan berhubungan langsung dengan alam yang tersusun dari sekian banyak unsur ini, maka dalam “pemikiran” Tuhan terdapat pemikiran yang jamak, dan pada akhirnya, mengantarkan kepada ketidakmurnian tauhid itu sendiri.

Apa itu Emanasi (al-fâidh)?

Dalam pandangan para filosof, dalam hal ini Al-Farabi, alam semesta yang terbentang luas dan tak terhingga jumlah unsurnya ini, tidak diciptakan Allah Swt. secara langsung dari ketiadaan menjadi ada tanpa ketersediaan yang ada. Lalu pertanyaan tentang bagaimana Allah Swt. menciptakan alam semesta ini, kemudian dijawab Al-Farabi menggunakan filsafat emanasi, yang sebetulnya terilhamkan dari pemikiran filsafat Plotinus.

Al-Farabi meyakini bahwa alam semesta diciptakan melalui emanasi, dalam arti bahwa wujud Tuhan melimpahkan wujud alam semesta. Proses ini terjadi sebagai konsekuensi dari  berpikirnya (tafakkur) Tuhan tentang zat-Nya, yang merupakan prinsip dari sistem kebaikan yang ditetapkan pada alam (Sunnatullâh). Dalam artian sederhana, berpikirnya Allah Swt. tentang zat-Nya yang qadîm adalah sebab dari keberadaan alam semesta, dan alam yang merupakan hasil dari kreasi “tafakkur” itu secara otomatis mengandung unsur yang qadîm pula. Tegasnya, Tuhan-lah yang memberi wujud kekal pada segala yang ada, demikian pernyataan Al-Farabi dalam bukunya, Al-Da’âwî Al-Qalbiyyah.

Ketika Allah Swt. berpikir tentang zat-Nya yang Esa, maka di situlah terjadinya pancaran cipta yang satu, atau yang disebut sebagai Akal Pertama. Inilah kreasi awal yang dilakukan Tuhan setelah zat-Nya. Dengan demikian, Akal Pertama memiliki sifat terpisah dari zat (ruh) Allah, karena di dalam zat Allah tidak terdapat unsur yang jamak. Definisi jamak hanya boleh ada setelah zat-Nya, dan inilah yang menurut Al-Farabi merupakan jalan tauhid yang paling murni (lihat dalam risalahnya Al-Fushûsh).

Akal Pertama menurut Al-Farabi adalah ilmu Tuhan tentang diri-Nya, dan ilmu itu adalah al-qudrah (daya), yang darinya tercipta segala sesuatu. Eksistensi al-qudrah atau Akal Pertama ini merupakan wujud kedua setelah wujud Allah, di mana pada wujud kedua inilah terdapat unsur yang jamak itu. Ketika Akal Pertama (qudrah) berpikir tentang Allah Swt. maka wujudlah Akal Kedua yang berpikir tentang dirinya. Akal ini kemudian mewujudkan Langit Pertama.

Akal Kedua pun berpikir tentang Tuhan lalu mewujudkan Akal Ketiga yang berpikir tentang dirinya, maka wujudlah Alam Bintang. Selanjutnya, Akal Ketiga hingga Akal Kesepuluh juga memiliki pola yang sama, yakni masing-masing berpikir tentang Tuhan dan tentang diri masing-masing. Ketika Akal berpikir tentang Tuhan, maka lahirlah akal-akal berikutnya, dan ketika berpikir tentang diri-Nya maka lahirnya planet-planet. Demikianlah Akal Ketiga mewujudkan Akal Keempat dan Saturnus, Akal Keempat mewujudkan Akal Kelima dan Yupiter, Akal Kelima mewujudkan Akal Keenam dan Mars, Akal Keenam mewujudkan Akal Ketujuh dan Matahari, Akal Ketujuh mewujudkan Akal Kedelapan dan Venus, Akal kedelapan mewujudkan Akal Kesembilan dan Mercurius, dan Akal Kesembilan mewujudkan Akal Kesepuluh dan Bulan. Akal Kesepuluh inilah merupakan akal yang terakhir, dan ia mewujudkan Bumi.

Jadi, menurut Al-Farabi, alam semesta ini tercipta dari pancaran qudrah (berpikir) Tuhan tentang zat-Nya Yang Esa, dan dari pancaran itu kemudian dilanjutkan oleh akal-akal kepada alam yang tersusun dari banyak unsur ini.

Rupanya, filsafat emanasi atau al-fâidh yang ditawarkan Al-Farabi di atas ditentang keras oleh para teolog Muslim. Al-Ghazali, misalnya, sampai menulis satu karya polemis berkaitan tentang hal ini, yang diberinya nama Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filosof). Menurutnya, konsep emanasi akan menjerumuskan kepada hilangnya keagungan Tuhan dan meninggikan derajat akal-akal. Karena eksistensi Tuhan dalam emanasi hanya berpikir tentang zat-Nya dan mewujudkan yang berbilang satu saja. Sementara akal-akal selain berpikir tentang dirinya juga memikirkan tentang sesuatu di luar dirinya dan mewujudkan sesuatu kreasi yang berbilang jamak. Tuhan dalam hal ini terkesan vakum, pasif, dan tidak aktif.

Memang dalam kenyataannya, banyak yang salah paham dengan al-fâidh-nya Al-Farabi dan bahkan memberikan analogi dengan sesuatu yang tidak tepat. Misalnya pendapat yang menganggap bahwa filsafat emanasi seperti matahari dan pancaran sinarnya, di mana matahari sebagai benda mati adalah bersifat pasif, sementara sinarnya memancar secara otomatis dan bergerak aktif. Contoh ini sebetulnya tidak tepat jika dikaitkan dengan emanasi Al-Farabi.

Kalau dipahami betul konsep “pancaran” (al-fâidh) di atas, sebetulnya, kita justru akan memahami betapa Tuhan memiliki sifat aktif, bukan pasif sebagaimana klaim al-Ghazali tadi. Al-fâidh perspektif Al-Farabi adalah wujud Allah Swt. melimpahkan wujud alam semesta, bukan sebaliknya, bahwa wujud alam semesta yang melimpah dari wujud Allah Swt. Dengan demikian yang aktif adalah Tuhan, bukan akal-akal yang dipancarkan Tuhan itu, sebagaimana dianalogikan dengan matahari di atas.

 Konsep Ta’addud Al-Qudamâ: Argumen Kekekalan Alam Semesta

Selain meyakini bahwa alam semesta tercipta melalui emanasi, Al-Farabi dan sejumlah filosof lainnya seperti Ibnu Sina berpendapat bahwa alam ini qadîm (kekal) yakni tidak memiliki permulaan zaman. Allah Swt. yang Esa dan alam yang terdiri dari unsur jamak ini, sama-sama memiliki sifat yang qadîm. Inilah yang dimaksud dengan ta’addud al-qudamâ, paham yang mengakui banyaknya yang qadîm.

Jika kita lihat di dalam al-Da’âwî al-Qalbiyyah, sebetulnya Al-Farabi tidak menggunakan istilah qadîm dalam uraian tentang penciptaan alam, melainkan muhdats. Kendati demikian, muhdats di sini tidak dimaksudkan dalam arti ‘baru’, tetapi ‘diciptakan’. Ia  mengakui alam semesta sebagai ciptakan Tuhan, tetapi ciptaan yang telah ada sebelum adanya zaman, yakni pada zaman azali, sehingga dengan sendirinya alam adalah qadîm.

Imam al-Ghazali dalam Tahafut-nya mengkafirkan orang-orang yang memiliki pandangan  demikian. Menurutnya, qadim yang berarti ada sebelum zaman bermula, juga mengandung makna tidak diciptakan. Kalau alam itu qadîm, berarti ia tidak diciptakan, jika alam bukan bagian dari penciptaan berarti dia adalah pencipta dan ini menjerumuskan kepada kesyirikan (politeisme) bahkan ateisme karena menganggap alam tidak butuh kepada Pencipta atas wujudnya.

Pendapat al-Ghazali di atas kemudian mendapat tanggapan dari Ibn Rusyd. Ia mengatakan bahwa qadîm dalam pandangan filosof mengandung makna yang berbeda dengan apa yang dipahami kaum teolog. Para teolog memang memahami bahwa qadîm ialah yang tidak memiliki sebab atas wujudnya, dan itulah Pencipta. Sehingga tidak ada yang qadîm selain Allah. Pemahaman terhadap ta’addud al-qudamâ sangat ditentang oleh para teolog Muslim.

Adapun para filosof seperti dijelaskan Ibn Rusyd, selain mengandung arti sebelumnya, juga mengandung makna kejadian-kejadian yang dinamis, yakni kejadiannya tidak mempunyai permulaan zaman dan akhir. Sepertinya para filosof ingin membedakan konteks pemaknaan qadîm pada diri Tuhan dan alam. Ketika qadîm dikaitkan dengan Allah, maka artinya adalah Pencipta, sementara jika dikaitkan dengan alam, maka kata tersebut berarti alam dalam kejadian yang terus menerus.

Mengapa para filosof mempertahankan konsep qadîm-nya alam? Jawabannya bisa dilihat dari pernyataan Al-Farabi sebelumnya, di mana zaman itu timbul setelah adanya gerak pada alam, sementara alam diciptakan Tuhan sebelum adanya zaman, itulah sebabnya dia qadîm. Sekalipun qadîm, namun alam tetaplah ciptaan Tuhan. Jika muncul pertanyaan, sejak kapan Tuhan menciptakan? Jawabannya adalah sejak qidâm, karenanya, ciptaan Tuhan haruslah ada semenjak qidâm, dalam artian bahwa alam mesti bersifat qadîm.

Kalau ditilik lebih dalam, pendapat bahwa Allah Swt. menciptakan semenjak qidâm, justru terkesan lebih mengagungkan Tuhan daripada pendapat Tuhan menciptakan tidak semenjak qidâm. Karena pendapat pertama (filosof) menggambarkan Tuhan aktif semenjak azali, sedang pendapat kedua (teolog) menggambarkan arti bahwa Tuhan pada mulanya pasif dan kemudian aktif.

Untuk menengahi persilangan pendapat antara teolog dan filosof di atas, Ibn Rusyd kemudian mengajukan satu tesis tentang wujud, di mana ia membagi wujud ke dalam tiga macam. Pertama, wujud yang diciptakan oleh Pencipta dari sesuatu, atau yang kita kenal dengan materi yang didahului zaman. Inilah benda-benda yang mempunyai dimensi dan dapat ditangkap oleh pancaindera. Baik filosof maupun teolog sepakat bahwa bagian ini adalah baru (muhdats). Kedua, wujud yang tidak diciptakan dari sesuatu dan tidak didahului zaman. Kaum filosof dan teolog sepakat bahwa wujud ini adalah qadîm, dan itulah yang disebut Allah. Ketiga, wujud yang tidak dibuat dari sesuatu dan tidak didahului oleh zaman tetapi diciptakan oleh pencipta, yaitu alam semesta. Wujud ketiga ini dalam dirinya terdapat sebagian dari sifat-sifat wujud pertama, yaitu muhdats (baru), dan sebagian dari sifat wujud yang kedua, yaitu qadîm. Dengan demikian, menurut Ibn Rusyd, wujud ketiga ini sebenanya tidak akan dapat disebut sebagai muhdats hakiki dan tidak pula sebagai qadîm hakiki. Ia lebih tepat jika diberi istilah muhdats azali, ciptaan azali.

Maka berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa gagasan tentang kekekalan alam yang dikemukakan para filosof mengandung arti bahwa materi asalnya qadîm, yang oleh Ibn Rusyd diberi nama muhdatz azali, dan susunannya menjadi langit dan bumi adalah muhdats (baru). Karenanya, antara Tuhan yang qadîm dan materi asal yang qadîm (muhdats azali), tidak terdapat perbedaan zaman, sehingga keduanya sama-sama qadim. Namun yang membedakan keduanya ialah pada esensi, di mana Tuhan sebagai Pencipta telah ada lebih dahulu daripada alam sebagai ciptaan-Nya. Bagi Al-Farabi, sungguhpun alam itu qadim, namun dia bukanlah tidak diciptakan. Dia ciptakan oleh Tuhan, hanya saja pada zaman azali.

Wallohu a’lam…!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *