Nalar Islamisme dan Krisis Pluralitas di Indonesia
Muhammad Syafirin, 22/12/2021
Belakangan ini kita menyaksikan umat Islam, khususnya di Indonesia, kerap memperlihatkan kekurangcerdikan mereka dalam menaruh sikap individualitas maupun pose paradigma berpikir, terutama dalam merespon dan meresap berbagai isu-isu teks maupun wacana global yang tengah berkembang di masyarakat. Tentunya persoalan ini pada akhirnya dapat memunculkan benih-benih parasit dalam intera umat Islam itu sendiri. Kenyataan membuktikan, belakangan di tahun 2021, persoalan semacam ini semakin serius bahkan menimbulkan gejolak berbahaya. Itu pun bukan hanya terjadi pada tataran awam umat Islam, melainkan orang-orang yang ditokohkan sebagai ulama, kiyai maupun tuan guru sekalipun, tidak sedikit membumbu habis gejolak tersebut.
Saya pribadi cenderung menganggapnya sebagai ‘kerusuhan mental’ yang telah menjamur sekian lama dalam sikap keberagamaan umat ini. Kita dapat melihat kasus yang terjadi pada tahun 2014 lalu, ketika Prof. Dr. Quraish Shihab dalam program kajian “Tafsir Al-Mishbah” di Metro TV mengatakan, bahwa tidak benar Nabi Muhammad Saw, dijamin masuk surga hanya karena amalnya. Lantas kemudian hal ini menimbulkan polemik besar dan menjadi perbincangan memanas di media sosial, situs-situs tertentu bahkan di kalangan sebagian ulama Indonesia.
Saya bukan hendak mati-matian membela Prof. Quraish Shihab, tetapi saya ingin mengajak kita semua berpikir secara cermat dan bijak dalam menyikapi peryataan tersebut. Apa yang disampaikan Prof. Quraish itu sebetulnya memiliki otentisitas argumen yang sejalan penuh dengan kehendak nash. Mengapa demikian? Hadisnya sudah jelas, diriwayatkan dari Aisyah radliyallahu ‘anha, ketika salah seorang Sahabat memuji kawannya yang sedang meninggal kala itu dengan mengatakan bahwa sesungguhnya Allah telah menjamin surga baginya. Mendengar hal itu, maka Nabi kemudian menegur dan menerangkan bahwa tidak ada seorangpun yang dijamin masuk surga hanya karena amalnya. Lalu Sahabat tadi menanyakan bagaimana dengan prihal Nabi sendiri, dan Nabi menjawab, bahkan tidak terkecuali saya, hanya saja Allah melumuri saya dengan rahmat-Nya. Prof. Quraish Shihab kembali menegaskan, bahwa meskipun Nabi berpesan demikian, bukan berarti bahwa Nabi tidak pasti mendapatkan surga, tetapi justru sebaliknya Allah akan memberikan Nabi sesuatu karunia (surga) yang membuat Nabi puas dengan hal itu, sebagaimana ayat dalam QS. ad-Duha [93]: 5, “walasaufa yu’thika rabbuka fatardo”.
Meskipun Prof. Quraish Shihab secara maksimal menjelaskan inti persoalan tersebut, namun ternyata jawabannya itu tidak berhasil meredam kegagapan nalar para hatersnya. Beberapa kalangan fundamental-konservatisme misalnya, mencoba mengkritik dan membabat habis pernyataan Prof. Quraish Shihab, tetapi toh ujung-ujungnya tidak sedikitpun yang melandaskan diri dengan dalil dan argumentasi yang ilmiah, yang ada hanya nafsi nafsu membakar diri yang pada akhirnya berujung kepada tudingan Syi’i, liberal, kafir dan sebagainya. Ntah ideologi semacam apa yang mereka konsumsi, tetapi yang jelas sikap demikian, bagi saya, sama saja dengan memperkenalkan kedunguan dan kedangkalan berpikir mereka di hadapan publik.
Selain Prof. Quraish Shihab, hal serupa juga terjadi pada cendekiawan-cendekiawan muslim lainnya dan jumlahnya cukup banyak, namun yang terbaru di tahun 2021 ini adalah kasus yang dihadapi Prof. Syakur Yasin alias Buya Syakur. Rupanya beberapa statement Buya Syakur di mabes Polri pada 01 Juni yang lalu cukup kontroversial sehingga melahirkan sikap pro-kontra di kalangan publik bahkan menyorot perhatian para da’i dan ulama tanah air. Di antara pernyataan Buya Syakur yang dianggap melenceng adalah ketika beliau menjelaskan mindset berpikir umat Islam yang saat ini mengalami pergeseran nilai dalam memahami teks-teks agama. Seperti, ketika seseorang berkeyakinan, bahwa dengan melafazkan kalimat tahlil “lāilāha illallāh” maka akan mendapat jaminan surganya Allah. Pemahaman semacam ini yang menurut Buya Syakur sebagai cara beragama yang tidak logis. ‘Bagaimana bisa surga dikaveling dengan modal ucapan?’ Ucap Buya.
Saya tidak akan menampilkan semua kekontroversian Buya dalam catatan singkat ini, karena bagi saya substansi pernyataan-pernyataan Buya semuanya sama. Namun yang ingin saya garisbawahi adalah konteks kajian Buya. Memahami konteks ini penting, seseorang bisa saja keliru memahami suatu persoalan bila mengabaikan konteks yang terjadi. Pada kasus Buya Syakur, beliau sebenarnya berbicara dalam konteks moderasi beragama, nasionalisme dan toleransi beragama, yang eksistensi ketiganya sangat diharapkan untuk menjaga persatuan dan stabilitas NKRI tercinta. Indonesia yang sedemikian luas, dengan beragam suku, bangsa, agama dan budayanya, memerlukan sudut pandang universal untuk merangkul semua elemen-elemen masyarakatnya. Praktik bernegara yang demikian, tidaklah terdapat di berbagai belahan negara Islam manapun, walaupun masyarakatnya berada dalam poros agama, suku dan bangsa yang monolit. Malah yang ada hanyalah perang saudara antar sesama Islam, dan mengkafirkan kelompok muslim yang tidak sejalan dengan ideologi kelompoknya (takfirisme).
Takfirisme kontemporer lahir dari kalangan fundamentalis agama. Dari sinilah paham ekstrem itu muncul dan melahirkan radikalisme dan teroris keagamaan seperti yang kita saksikan belakangan ini. Maka, tugas para agamawan dan pemikir keagamaan inklusif adalah menawarkan sebuah interpretasi keagamaan yang moderat dan mampu membungkam pemahaman sempit kaum fundamentalis yang radikal itu. Dan Buya Syakur berada pada dimensi ini. Beliau hendak mengajak umat Islam merenungi doktrin-doktrin keagamaan yang selama ini disalahpahami dan disalahgunakan; salah satunya pengucapan kalimat tahlil “lāilāha illallāh” di atas. Kita tidak dapat menyangkal bahwa memang terdapat beberapa teks yang menjelaskan kelebihan lafal tersebut, tetapi apakah kontekstualisasi kalimat ini di zaman Nabi dengan zaman kita sekarang sama? Dulu, Nabi menyerukan kalimat ini untuk persatuan dan kesatuan umat Islam dalam memperjuangkan agama, tetapi sekarang, kelompok-kelompok ekstremisme itu menggunakan gema tahlil dan takbir sebagai motivasi untuk melawan dan membunuh sesama Islam sendiri. Miris bukan? Umat Islam banyak terjebak di sini! Mereka yang terseret paham radikalisme terperangkap oleh formalitas ritual, sehingga mereka lupa nilai-nilai spiritual yang ada dalam agama ini. Mereka hanya tergiur dengan eksistensi lāilāha illallāh tetapi melupakan pesan esensial di dalamnya. Inilah yang sebetulnya menjadi inti persoalan dari pernyataan Buya Syakur di atas.
Saya pribadi tidak melarang siapapun yang ingin mengkritik dan berbeda pendapat dengan Buya, silahkan! Malah Buya sendiri menyebut mereka sebagai Jibril-Jibril pengetahuannya. Namun, tentunya setiap kritik yang disertai etika sangat diharapkan. Hindari men-judge dengan tudingan yang keji atau diksi-diksi yang berangkali menyakitkan batin untuk didengar. Kita bisa memilih diksi-diksi yang lebih bijak dan sopan, misalnya ‘pemahaman Buya Syakur tidak tepat’, atau ‘landasan pemikirannya lemah’ dan lain sebagainya.
Terlepas dari kekontroversian dua tokoh di atas, yang terpenting di sini adalah sikap legowo kita dalam menerima perbedaan pendapat. Kita tidak bisa memaksakan orang lain untuk berpikir seperti apa yang kita inginkan, karena Tuhan menciptakan akal manusia dengan porsi yang berbeda-beda. Boleh jadi apa yang dipahami orang lain itu memiliki pendekatan atau sudut pandang yang berbeda dengan mainstream pemahaman kita, sehingga kita terkadang keliru dalam merespon setiap pernyataan yang muncul hanya karena tidak memahami pendekatan yang digunakan. Yang terpenting sekarang adalah kita mesti memahami diri kita sebelum memahami orang lain, menyadari kemajemukan yang terjalin, dan mengedepankan sikap moderasi beragama dalam bingkai kebhinekaan Indonesia tercinta!
Semoga Allah Swt. mengampuni setiap kesalahan dan kekhilafan kita semua, Amin..!