4 mins read

Mengenang Eyang Sapardi Djoko Damono dan Karya Abadinya bagi Dunia Sastra Indonesia

Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, yaahh siapa yang tidak kenal beliau….? Seorang sastrawan besar Indonesia. Yang akrab disapa Eyang Sapardi atau SDD. Seorang laki-laki kelahiran Surakata, 20 Maret 1940 ini dikenal melalui berbagai puisinya mengenai hal-hal sederhana namun penuh makna kehidupan, beberapa karyanya sangat populer, baik di kalangan sastrawan maupun khalayak umum. Sajak-sajak Sapardi telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa daerah.

Beliau telah menuliskan puluhan buku yang kini banyak di antaranya laris manis di pasaran. “Sebut saja “Yang Fana adalah Waktu”, “Ayat-Ayat Api”, “Hujan di Bulan Juni”, “Melipat Jarak”, “Pada Suatu Hari Nanti”, dan lainnya. Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti “Aku Ingin” (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), “Hujan Bulan Juni”, “Pada Suatu Hari Nanti”, “Aku Si Telaga”, dan ‘’Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari”.

 kemahiran eyang Sapardi dalam meracik kata memang sudah tidak diragukan lagi. Di dalam bukunya ia menulis lebih dari 100 judul puisi karyanya yang ia kumpulkan dalam rentang waktu sekian puluh tahun.

Pilihan kata yang sederhana, di tangannya bisa memunculkan imajinasi yang luar biasa. Dalam, luas, dan tak lekang oleh waktu. Banyak makna hidup yang ia siratkan dalam suratan kata-katanya. Tak heran jika banyak seniman yang memusikalisasi puisi-puisi sang maestro.

Eyang Sapardi tidak saja aktif menulis puisi, ia juga aktif menulis buku mengenai ilmu sastra, yakni Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978), Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang (1979), Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1999), Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah, Fungsi, dan Isi (1996), Sihir Rendra: Permainan Makna (1999), dan Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan: Sebuah Catatan Awal.

Selain itu, eyang Sapardi juga seorang penerjemah sastra yang piawai, terlihat dari beberapa karya terbitannya seperti Lelaki Tua dan Laut (1973, terjemahan karya Ernest Hemingway), Sepilihan Sajak George Seferis (1975, terjemahan karya George Seferis), Sayap-Sayap Patah (2008 terjemahan karya Khalil Gibran), Daisy Manis (terjemahan karya Henry James), dan Amarah (terjemahan karya John Steinbeck).

Dari kariernya sebagai sastrawan sudah banyak penghargaan yang diraih eyang Sapardi salah satunya yakni, anugerah Cultral Award (1978), Anugerah Puisi Putra Malaysia (1983), SEA Write Award (1986), Kalyana Kretya dari Menteri Riset dan Teknologi Republik Indonesia (1996), The Achmad Backrie Award for Literature (2003). Selain itu, Ia juga menerima penghargaan Khatulistiwa Award pada 2003.

Selain sastrawan, eyang Sapardi juga dikenal sebagai seorang akademisi. Lulusan Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada (UGM) ini pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) pada era 1999-2004.

Namun belum lama ini, sekitar beberapa bulan yang lalu kabar duka tengah menyelimuti dunia seni dan sastra Indonesia, eyang Sapardi Djoko Damono meninggal dunia di Eka Hospital, BSD, Tangerang Selatan, pada hari Minggu, 19 Juli 2020 pukul 09.17 WIB. Beliau meninggal di usia 80 tahun. Sebelumnya menderita beberapa penyakit (komplikasi).

Ia pun sempat menuliskan sebuah karya tentang kematian, tentang apa yang akan abadi darinya jika nyawa sudah tak lagi di dalam badan. Sebagai seorang sastrawan, ia betul meyakini, tulisan dan karya-karyanya lah yang akan terus ada dan abadi, meski hadirnya tak lagi ada di Bumi. Seperti dilansir pada Kompas.com

AKU INGIN


Pada suatu hari nanti

Jasadku tak akan ada lagi

Tapi dalam bait-bait sajak ini

Kau tak akan kurelakan sendiri

Pada suatu hari nanti

Suaraku tak terdengar lagi

 Tapi di antara larik-larik sajak ini

 Kau akan tetap kusiasati

 Pada suatu hari nanti

Impianku pun tak dikenal lagi

Namun di sela-sela huruf sajak ini

Kau tak akan letih-letihnya kucari.

Lewat puisinya itu, Sapardi Djoko Damono menuturkan alasan mengapa ia masih menulis hingga hari tuanya. Penyair yang lahir dan besar di Surakarta ini seakan menyelipkan wasiat bahwa kita akan kekal bersama tulisan-tulisan yang kita tinggalkan.

Meninggalnya sosok sastrawan kebanggaan Indonesia itu meninggalkan duka mendalam bagi para penikmat karya-karyanya.

Selamat Jalan Eyang, Karya mu abadi……

 

Sri Wahyuni, Prodi Manajemen Pendidikan Islam semester V

Mentor: Yusri Hamzani, M.Ag

#UAS-STAIDK

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *