6 mins read

Tafsir Fiqih

Tafsir fiqhy adalah tafsir yang didasarkan atas ayat-ayat hukum dan kebanyakan dilakukan oleh para ulama ahli fikih sesuai dengan kecenderungan mazhab dan latar belakang keilmuan yang dimilikinya. Tafsir ini merupakan salah satu corak penafsiran yang sangat dikenal dikalangan umat Islam baik salaf maupun khalaf, perkembangan penafsiran dengan menggunakan pendekatan fiqhi telah ada sejak masa Rasulullah Saw hingga masa perkembangan madzahib al-fiqhiyyah bahkan hingga saat ini. Kendatipunkeberadaan corak penafsiran al-Qur’an dalam bentuk ini telah ada sejak masa wahyu di turunkan, akan tetapi pada perkembangannya telah melalui beberapa tahap dalam beragam bentuk metode penyajiannya. Adapun metode penyajian yang kita kenal saat ini ada empat yaitu; metode tahlily, ijmaly, muqaran, dan maudhu’i.

Penafsiran al-Qur’an lewat pendekatan fiqhi juga menggunakan salah satu
metode dari empat metode penyajian di atas, diantaranya adalah :

1. Tafsir Fiqhy Tahlily, seperti kitab Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an karya Muhammad bin
Jarir ath-thabary (Syafi’iyyah), kitab al-Jami’ li ahkam al-Qur’an karya Abu
Bakar al-Qurthuby dan kitab Ahkam al-Qur’an karya Abu Bakar Ibnu al-‘Araby
(Malikiyyah), kitab Ahkam al-Qur’an karya Imam Abu Bakar Ahmad bin ar-Razy al-Jashshash (Hanafiyyah), kemudian kitab fath al-Qadir karya Muhammad
bin ‘Ali Asy-Syaukany dan kitab Tafsir ayat al-Ahkam karya Ali Ash-Shabuny.

2. Tafsir Fiqhy Ijamly, seperti kitab Ahkam al-Qur’an li Asy-Syafi’i yang
dikumpulkan oleh Imam al-Baihaqy.

3. Tafsir Fiqhy Muqaran, seperti Tafsir
ath-Thabary, Al-Qurthuby , dan Tafsir Ibnu Katsir.

4. Tafsir Fiqhy Maudhu’I
seperti kitab Ahkam al-Qur’an li al-Jashshash, kemudian kitab Tafsir ayat al-Ahkam karya Ali Ash-Shabuny.

Seluruh kitab tafsir yang disebutkan di atas hanyalah sebahagian kecil dari
kitab-kitab tafsir fiqhy yang dipandang cukup mewakili contoh ragam metode
penyajian mulai dari metode tahlily, ijmaly, muqaran, dan maudhu’I sebagai
kerangka metodologi penulisan tafsir.

Pembahasan singkat

Salah satu tujuan terpenting dari diturunkannya Al-Quran adalah sebagai media pensyariatan ragam taklif (beban) kehidupan bagi manusia, baik dalam hal ibadah maupun muamalah. Maka tidak berlebihan jika Ibnu Hazm Az-Zhahiri pernah berkomentar: Tidak ada satupun bab fiqih yang tidak ada sandarannya dari Al-Quran maupun Hadits.

Allah SWT sudah lama menegaskan bahwa tidak ada satupun peristiwa dimuka bumi kecuali sudah ada sandaran hukumnya di dalam Al-Quran:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ

“…Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu..”(QS. An-Nahl: 89)

Mengomentari ayat diatas, Imam Syafi’i mengatakan:

فليست تنزل بأحد من أهل دين الله نازلة إلا وفي كتاب الله الدليلُ على سبيل الهدى فيها

“Tidaklah ada satu kejadianpun yang menimpa pemeluk agama Allah, kecuali di dalam kitab-Nya pasti terdapat dalil yang menunjukkan jalan penerang atas status hukumnya”

Dari sinilah para ulama sejagat sepakat untuk menjadikan Al-Quran sebagai sumber pokok (al-mashdar al-asasi) dan sumber pertama (al-mashdar al-awwal) dalam berbicara masalah hukum, terutama hukum fiqih.

Pengetahuan tentang Al-Quran ini penting adanya, sebagai syarat bagi mereka yang ingin intens berbicara hukum. Tidak heran menurut As-Syathibi ketika Rasulullah SAW mengatakan: hendaknya suatu kaum diimami oleh mereka yang paling faham tentang Al-Quran. Karena pengetahuan tentang agama ini bermula dari pahamnya seseorang tentang Al-Quran.

Lebih lanjut As-Syathibi mengungkapkan bahwa tidak ada satu ulama pun yang kembali kepada Al-Quran atas sebuah peristiwa kecuali dia akan mendapatkan pijakannya. Bahkan sosok besar Al-Qurthubi menyebut bahwa penjelasan tentang halal dan haram dari Al-Quran adalah bagian dari mu’jizat Al-Quran, dan kita tahu bahwa halal dan haram termasuk bahasan utama dalam fiqih.

Tafsir Fiqih ini juga dikenal dengan istilah Tafsir Fuqaha, ada juga ulama yang mnyebutnya dengan Tafsir Ahkam. Jadi fiqih itu adalah pengkhususan dari kata Ahkam yang maknanya masih umum. Didalam Al-Quran pembicaraan tentang ahkam itu meliputi tiga hal; ahkam i’tiqadiyah(berbicara tentang Aqidah) ahkam khuluqiyah (berbicara tentang Akhlak), dan ahkam amaliyah (fiqhiyah).

Hukum amali adalah hukum yang berbicara tentang perilaku ‘nyata’ manusia, inilah yang disebut dengan fiqih Al-Quran yang menjadi objek bahasan para ulama dalam penulisan tafsir fiqih.

Kumpulan penafsiran atas ayat-ayat yang bertemakan fiqih inilah yang disebut dengan Tafsir Fiqih, atau Tafsir Ayat Ahkam, atau Fiqh Al-Kitab. Objek bahasannya seputar masalah fiqih ibadah; shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah, dan sebagainya, juga fiqih muamalah; berbagai aqad muamalah, jinayah, dan lain sebagainya.

Perkembangan Tafsir Fiqih

Sebenarnya keberadaan Fafsir Fiqih ini sudah lama adanya, kehadirannya bersamaan dengan diturunkannya Al-Quran kepada Rasulullah SAW selaku manusia pertama yang mempunyai otoritas dalam memberikan Tafsir Fiqih atas ayat yang diturunkan kepadanya.

Otoritas ini diberikan langsung oleh Allah SWT kepada baginda Muhammad SAW:

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“…Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” (QS. An-Nahl: 44)

Lalu sepeninggal Rasulullah SAW penafsiran fiqih dilanjutkan oleh para sahabat yang benar-benar memumpuni dibidangnya, tidak asal sahabat berhak dan berani menafsirkan, sekaliber Abu Bakar pun rada takut, kalau – kalau apa yang ditafsirkannya berseberangan dengan apa yang diinginkan Allah dan Rasul-Nya, beliau berujar: “Langit mana yang menaungiku dan bumi mana yang membawaku, jika aku berkata tentang Al-Quran sesuatu yang tidak aku mengerti”

Pada fase ini sudah mulai muncul perdebatan dan perbedaan pendapat dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, perbedaan ini adalah sebuah keniscyaan, seiring dengan munculnya permasalah baru yang belum pada masa Rasulullah SAW masih hidup.

Keberadaan khilaf dalam penafsiran ini bukanlah menjadi momok yang harus ditakuti, asalkan perbedaan itu bersumber dari mereka yang benar-benar layak untuk memberikan penafsiran.

Keberadaan para sahabat dalam dunia penafsiran ini menjadi teladan bagi para tabi’in yang datang setelahnya. Seorang pembesar tabi’in Abu Abdurrahamn As-Sulami mengatakan: “Tidaklah kami berpindah dari sepuluh ayat yang kami baca kecuali kami mengerti dulu perihal halal dan haram, perintah dan larangan-Nya”

Perkembangan penafsiran fiqih ini terus meluas seiring dengan berkembanganya Islam ke berbagai penjuru dunia, dan seiring dengan munculnya masalah-masalah baru, sampailah pada masa munculnya madzhab fiqih, dimasa ini hampir semua madzhab fiqih berusaha menulis tafsir fiqih sesuai dengan pemahaman madzhab fiqih yang mereka anut.

Dan menurut sebagian ulama, Imam Syafi’ilah yang pertama kali menuliskan tafsir dengan corak fiqih ini pada masanya dalam kitabnya Ahkam Al-Quran, walaupun ada yang berpendapat lain, dengan menyebut nama semisal As-Syaikh Abu Al-Hasan Ali bin Hajar As-Sa’di (w. 244 H) dalam kitabnya Ahkam Al-Quran.

Di lain pihak, ada juga yang menyebutkan nama lain yaitu Abu An-Nashr Muhammad bin Sa’ib (w. 144) dalam kitabnya Ahkam Al-Quran, seperti yang ditulis oleh Abdullah bin Abdul Hamid dalam tesis magisternya dibawah bimbingan Dr. Abdul Aziz Ad-Dardir Musa.

Inilah sekilas tentang tafsir Fiqih, yang saya tuliskan sebagai tugas UAS semester 3 mata kuliah Mazahib Tafsir.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *