“Monyet: ‘Aku Juga Berhak Bahagia”
Pernahkah teman-teman melihat topeng monyet ?, kira-kira apa saja yang ada dibenak teman-teman ? kalau saya sih kasihan banget ya. Teman-teman kasih uang ke orang yang memainkan atau ke monyetnya ? tentu teman-teman kasih ke manusia yang memainkannya. Teman-teman berada pada posisi yang salah, kenapa ? dibalik itu berapa banyak hewan primate tersebut dilatih dengan cara yang keras, dipukul, dirantai, tidak dikasih makan. Kenapa teman-teman tidak kasih minuman aja kemonyet yang sedang bekerja menunjukkan skiil-nya. Inilah salah satu dari keserakahan manusia menyiksa makhluk lain untuk mendapatkan kehidupakan. Layakkah topeng monyet untuk ditonton,,? Saya rasa tidak layak, lohh kenapa,,? Ada kekejaman dibalik sebuah kelucuan. Dimana hati nurani seorang manusia,,? Ada kesakitan dibalik kekonyolan mereka…? Saya merasa kebodohan sedang menghampiri orang yang menonton topeng monyet , loh kenapa ?karena manusia tertawa diatas penderitaan makhluk Allah SWT.
Kapan negara kita akan maju jika kepedulian terhadap lingkungan tidak dikedepankan ?, ooh iya teman-teman, saya punya cerita ! saya tidak akan bercerita tentang cinta, takutnya kalian baper sama ngangan seorang anak hutan. Oke Cuma Intermezo aja dulu. ! ………………tunggu ya, dibawah ini semoga kita dapat mengambil sedikit pelajaran.
Saya mendapat sebuah buku nih dari Literasi Award STAI, bukunya bagus banget. Bulan ini bukunya khatam, Loh kenapa,,? Dia yang selalu menemani saya disaat saya terbaring diatas kasur, seolah-olah saya berada di Hammerfast-Norwegia. Di Hammaerfast teman-teman bisa menikmati kawanan rusa dijalanan kota, dan pemukiman. Kenapa dipemukiman, kenapa tidak dihutan ? karena masyarakat Hammerpast memberikan makanan kepada kawanan rusa-rusa yang lalu-lalang di pemukiman. Kerelaan hati masyarakat itulah yang mempunyai nilai yang tak terhingga, sehingga mereka bisa menikmati sensasi kebun binatan tanpa harus membayar sepesepun. Di Indonesia, hal tersebut hanya bisa dinikmati di taman safari, seperti Jawa Barat atau Pasuruan, Bogor, dan Jawa Timur.(Alief Bakhtiar, “Mutiara Kehidupan Berbalut Salju”) Itupun harus berbayar dengan tiket yang fantstis. “Kapan alam akan memberikan keindahannya ? kalau kita belum bisa menghargainya”.