Kesuksesan Santri: ridho orang tua dan guru
4 mins read

Kesuksesan Santri: ridho orang tua dan guru

          Memahami kehidupan santri di lingkungan Pesantren selalu meninggalkan kesan tersendiri yang menciptakan pertentangan antara wilayah rasional dan wilayah transenden [mungkin bisa disebut wilayah batiniah, teologi atau ilahiah atau lainnya], atau dengan kata lain pertentangan antara dua blok realitas dan abtstrak. Kegaduhan pikiran ini selalu muncul ketika mencoba memahami dunia pesantren dalam perspektif akademik an sich yang rigid dan ketat dengan metodologinya. Bahkan bisa jadi dunia nalar kita tidak akan pernah sampai ke titip maksimun,  referensi apa yang akan menjadi standar untuk mengurainya, rasa takut akan konsekuensi untuk masuk ke wilayah itu karena terikat oleh hubungan psikologis, atau bisa jadi memang seharusnya bukan untuk diuraikan tetapi untuk dinikmati dan dijalani.

          Dalam persepktif pendidikan, misalnya, sebuah pendidikan/proses pembelajaran yang berkualitas  mensyaratkan berbagai komponen dengan ukuran indikator yang jelas, tersusun dan tertata rapi dengan bingkai manajamen yang baik. Dalih ini adalah sebuah konsensus yang lahir dari proses kajian dan analisis yang panjang bukan bersifat spontan atau jadi-jadian. Dan ketika dipakai dalam dunia pesantren semuanya berguguran dan tidak berdaya [debatable], maka proses adaptasi sekedar tidak mengatakan bahwa ketidakmampuan dalih itu dalam memahami dunia pesantren, adalah opsi untuk sampai pada kesimpulan apa adanya [menggugurkan kewajiban penelitian].

           Kembali lagi ke topik kehidupan santri dalam perspektif pendidikan. Berawal dari tulisan salah satu mahasiswi di web-aliflam berjudul STAI adalah Pilihan Terbaik dari Alloh adalah salah satu tulisan sederhana dalam katagori serba serbi. Memang sepintas tulisan itu adalah tulisan biasa aja, karena sifatnya merupakan ekspresi sebuah realitas emperis dari penulis. Cerita tentang pertarungan antara cita-cita, ekspektasi, impian, ambisi dan permintaan seorang ibu. Kita bisa membayangkan kondisi mental penulis saat itu? Dan kegelisahan penulis saat itu bisa terselesaikan dengan baik hanya dengan satu kosa kata ‘ridho’.

          Kata ‘ridho’ di atas mendorong saya untuk ikut memberikan komentar atau mengisi ruang kecil dalam tulisan di atas dengan maksud agar lebih memperkaya untuk memahami dunia santri itu sendiri. Penulis menempatkan kata ‘ridho’ sebagai keyword dalam mengeksplorasi jejak tiga pelaku utama dalam dunia pesantren yaitu guru, santri dan para orang tua [fokus pada dunia santri] dalam memahami berbagai kejutan-kejutan [kesuksesan yang tidak terduga] yang terjadi dalam kehidupan santri itu sendiri. Tetapi bukan pada dekskrispi apa saja ‘kejutan’ itu tetapi lebih ke fokus uraian tentang realitas dunia pesantren dengan asumsi sebagai variable penyebab lahirnya ‘kejutan’ tersebut.

          Dalam kehidupan sehari-hari, para santri melakukan aktivitas belajar di dunia pesantren hampir 24 jam nonstop. Kesehariannya adalah sebuah praktek real kehidupan sosial dalam ruang culture-social pesantren [subkuluture]. Mondok dan jauh dari orang tua memberikan pembelajaran syarat dengan nilai–nilai pendidikan karakter. Kehidupan yang serba kekurangan dan pas-pasan pun meninggalkan kesan prihatin, makan apa adanya, tidur tidak layak, bekerja dan belajar tanpa mengenal kata lelah siang dan malam. Sikap dan prilaku mereka dalam bentuk keta’atan dan kepatuhan menjalani setiap aturan dan sanksi yang berlaku dalam dunia mereka, dan seterusnya.

          Sementara itu, para orang tua/wali murid pun tidak pernah menanyakan bahkan mengeluhkan tentang realitas di atas. Mereka menyadari bahwa kehidupan anak-anak mereka di dunia pesantren adalah kehidupan antara guru dan murid yang mereka tidak perlu ikut campur [interpensi]. Mereka percaya dan menyerahkan putra-putri mereka sepenuhnya kepada para guru seraya melantunkan do’a siang dan malam.

         Para guru pun demikian, siang malam menghabiskan waktu, energi dan pikiran bagi para muridnya. Bahkan sampai melupakan kehidupan keluarga dan anak-anak mereka. Keikhlasan para guru menjalankan tugas pengabdiannya sebagai pendidik tercermin dari sikap dan prilaku sehari-hari. Kasih sayang mereka melebihi kasih sayang terhadap keluarganya. Pengorbanan mereka tidak terbatas pada waktu dan tempat. Tidak ada yang diharapkan dari akhir proses itu selain kesuksesan dan kebahagian santri mereka adalah hal yang utama.

Realitas yang terbaca dari kehidupan dunia pesantren di atas, santri, guru dan walimurid/orang tua melahirkan sebuah hipotesa/asumsi/proposisi bahwa kesuksesan santri adalah buah dari keihklasannya dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran yang didukung oleh ridho orang tua dan guru. Ini bersifat debatable dan memungkinkan untuk diuji kebenaranya melalui research. Minimal bisa dijadikan sebagai rujukan sementara dalam memahami santri yang sukses.

salam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *