![Agama dan Terorisme: Benturan Antara Teks dan Pemahaman Teks” [Part. 2]](https://aliflam.staidk.ac.id/wp-content/uploads/2020/12/Teroris.jpg)
Agama dan Terorisme: Benturan Antara Teks dan Pemahaman Teks” [Part. 2]
Muhammad Syafirin, 16 Desember 2020
Doktrin Agama Melahirkan Terorisme, benarkah?
Jika kita melihat agama sebagai sebuah entitas, wajah asli dan esensi ajarannya adalah mulia dan transenden. Namun tentang bagaimana agama itu berkembang, pandangan kita selalu melahirkan interpretasi yang berbeda-beda. Pemahaman keagamaan-pun dari masa ke masa terus berkembang dan dinamis. Penafsiran terhadap teks keagamaan oleh tokoh agama dengan tokoh agama lainnya kadangkala melahirkan berbagai persamaan perspektif, namun pada saat yang sama, banyak pula menawarkan perbedaan-perbedaan yang spesifik. Kita dapat melihat penomena ini pada tokoh-tokoh agama beserta karya-karyanya, baik yang terjadi di dalam agama Islam, Kristen, dan lainnya.
Lalu bagaimana sikap kita terhadap terorisme? Mungkinkah ia lahir dari suatu pemahaman keagamaan? Jawabannya bisa iya, bisa juga tidak. Realita yang terjadi sebagaimana yang telah penulis jelaskan sebelumnya, dapat membenarkan poin jawaban pertama, namun bila kita memahami laju perkembangan pemahaman keagamaan tersebut, setidaknya kita dapat bersikap kritis di sini. Charles Kimball, dalam bukunya “When Religion Becomes Evil”, pernah mengkritik sebuah analogi dari pihak yang berpendapat bahwa agama sebagai sumber terorisme, “agama bagaikan senapan dengan peluru”, ia mengatakan, suatu agama dikatakan sebagai sumber konflik atau tidaknya tergantung bagaimana seseorang memahami agamanya, jika agama dijadikan sebagai pandangan hidup, maka manusia dapat menemukan makna dan harapan. Akan tetapi jika teks-teks agama diinterpretasikan secara atomistik, dan parsial-monolitik (monolithic-partial) justru akan menyempitkan makna dan penafsiran dari teks-teks tersebut. Pemahaman atomistik yaitu menafsirkan teks-teks agama secara terperinci hingga melupakan adanya keterkaitan antara teks-teks tersebut, pola penafsiran semacam ini biasanya akan membuat kandungan teks itu menjadi terpisah-pisah dan jauh dari kebenaran. Adapun pemahaman parsial-monolitik yaitu menafsirkan teks agama secara universal yang kemudian memandangnya sebagai pemahaman yang utuh dan paling benar hingga menafikan kebenaran penafsiran-penafsiran yang lain, sebagaimana yang terlihat pada golongan-golongan fundamentalis.
Pandangan Charles Kimbal di atas mencoba memberikan kita pemahaman bahwa agama bukanlah sumber terorisme, dan agama tidak pernah menghendaki kekerasan di atas muka bumi ini. Mengenai aksi-aksi teror yang dilakukan oleh penganut agama, sesungguhnya itu merupakan gambaran (image) institusi dan moral manusia yang menyeleweng dari ajaran agama.
Seseorang yang menjalani agamanya dengan benar, telah menunjukkan bukti kecintaannya kepada Tuhan. Pakar pilosof, Plato, menyatakan bahwa Tuhan menciptakan makhluk-Nya dengan kecintaan dan kebaikan, ini berarti‒bila seseorang melakukan tindakan teror atau menciptakan keresahan terhadap seluruh makhluk Tuhan di bumi ini‒, ia telah mengaburkan dan menyelewengkan citra kasih sayang Tuhan. Pada kasus ini, kita dapat berkata, sungguh agama telah dikorupsi oleh orang yang mengaku beragama dan mengaku sebagai hamba Tuhan Yang Mahakasih.
Gejala Terorisme Berdasarkan Tinjauan Sosial
Kita sepakat bahwa terorisme bukanlah bagian dari doktrin agama apapun, tetapi anehnya kenapa pelaku-pelaku terorisme sering diidentikkan dengan religiusitas? Jawabannya adalah adanya sisi pemahaman keagamaan yang di salah pahami, atau salah dalam penerapan. Makanya tidak heran jika pelaku terorisme yang nampaknya rajin menjalankan perintah agama, namun tega membunuh sesama manusia dengan dalih agama. Fenomena saat ini, banyak orang terlihat rajin ibadah, namun buruk dalam hubungan sosial dan tidak mencerminkan akhlak yang baik di kalangan masyarakat.
Buya Husein Muhammad dalam pidatonya saat menerima penghargaan Opus Prize, mengatakan, misi agama pada hakikatnya adalah keadilan dan moralitas kemanusiaan. Aktivitas manusia yang paling disukai Tuhan adalah melepaskan penderitaan manusia, menghilangkan rasa lapar mereka, membagi kegembiraan/kebahagiaan di hati dan menebarkan kedamaian di tengah-tengah masyarakat. Agama hadir untuk mewujudkan moralitas luhur, kebaikan dan kasih sayang, bukan untuk melahirkan kerusakan, kebodohan dan kebencian. Apabila manusia telah menyelewengkan misi luhur agama ini, maka tercorenglah entitas maupun identitas agama itu, yang pada akhirnya akan menjadi gejala lahirnya penyakit sosial. Akibat dari kebodohan, keterbatasan dan kekerdilan dalam memahami teks-teks agama dengan benar, akan melahirkan pemahaman yang salah dan radikal, kemudian dari sikap radikal akan berindikasi kepada gerakan teror. Dari sinilah terorisme terus berkembang biak, dan pada ujung-ujungnya agama dijadikan dalih untuk membenarkan alasan mereka melakukan aksi teror tersebut. Penulis menilai, dengan pandangan semacam ini, sesungguhnya mereka telah merendahkan harkat martabat dan citra agamanya sendiri di depan wajah dunia sebagai agama yang bengis, kasar dan intoleran.
Setiap agama, apapun namanya, tidaklah hadir untuk menciptakan kerusuhan, keonaran, dan kekacauan sosial maupun spiritual serta memusuhi makhluk ciptaan Tuhan, melainkan untuk mempersaudarakan, mempersatukan, dan menciptakan kedamaian dan kasih sayang.
Islam Sebagai Penisbahan Terorisme
Akhir-akhir ini, Islam telah menjadi tranding topik gerakan terorisme. Hal ini di dasari melalui beberapa tindak aksi teror yang dilakukan oleh beberapa pihak yang mengatasnamakan diri Islam, seperti Al-Qaeda pada peristiwa 11 September 2001 di New York. Padahal, jika kita membaca sejarah, terdapat sekian banyak organisasi teroris yang justru umat Islam-lah sebagai korban kejahatan tersebut. Tuduhan-tuduhan yang disematkan kepada Islam banyak tersebar di media masa, mereka menyebarkan fitnah bahwa Islam mengandung ajakan perintah revolusi melalui kekerasan dan penindasan. Islam dianggap sebagai agama yang menyeru umatnya untuk melakukan tindak terorisme, agar musuh-musuh Islam akan hancur dan tunduk di bawah kekuasaannya.
Sejumlah ayat dan hadis tentang ‘jihad’ yang memerintahkan menyerang kaum musyrikin dikutip sebagai justifikasi pembenaran terhadap tuduhan tersebut. Di sini, penulis perlu menegaskan bahwa klaim mereka terhadap Islam sebagai agama yang menyerukan aksi teror itu tidaklah benar. Penulis berkata demikian bukan dalam posisi membela Islam atas tuduhan tadi, akan tetapi karena memang secara aksiomatik agama Islam adalah agama yang jauh dari tindak kekerasan. Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah Islam telah mengajarkan kasih sayang kepada umatnya, dan kepada segenap manusia pada umumnya.
Kaum muslimin sama sekali tidak di ajarkan iri hati, dengki, hasad, dan fanatik kesukuan (rasisme), dan semacamnya, yang bisa berindikasi penyeruan teror kepada orang selain Islam. Apalagi jika kita membaca lagi sejarah al-irhaab (kriminal) sebagai dosa pertama yang dilakukan oleh salah seorang keturunan Adam kepada saudaranya, tiada lain disebabkan oleh dorongan rasa hasad, dan iri hati, sebagaimana al-Qur’an menyebutkan kisah mereka dalam Surah al-Maidah: 32.
Bagaimana mungkin umat Islam akan melakukan aktifitas teror, sementara dalam kitab suci mereka, Allah menyatakan bahwa risalah Muhammad adalah agama cinta. Allah berfirman, “Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Anbiya’: 107) Dalam ayat lain juga disebutkan: “Siapapun yang membunuh seorang manusia tanpa alasan atau merusak di bumi, maka ia seolah-olah membunuh manusia seluruhnya. Dan siapa yang menyelamatkan seorang manusia, maka seakan-akan ia menyelamatkan seluruh manusia”. (Q.S Al-Maidah: 32). Demikian juga diriwayatkan oleh Muslim, ketika sahabat bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, doakanlah celaka kepada orang-orang musyrik!, beliau menjawab: “Sungguh saya tidak diutus untuk melaknat, akan tetapi saya diutus sebagai pembawa rahmat”. (HR. Muslim: 2599)
Ketiga dalil di atas cukup mewakilkan gambaran bahwa Islam bukanlah agama yang mengajarkan kekerasaan dan teror, serta menyeru pembunuhan dalam membumikan ajarannya dan kepada siapa yang berselisih paham dengannya. Maka tuduhan-tuduhan di atas yang disematkan kepada Islam tidaklah tepat adanya.
Barangkali di sini, penulis merasa, mereka tidak memahami konsep ‘jihad’ dalam Islam secara konprehensif yang dijadikan alasan mereka menuduh Islam sebagai biang kerok terorisme.
Jihad Bukanlah Terorisme
Suatu tindakan kejahatan (teror) yang diklaim sebagai jihad tersebut merupakan tafsiran yang salah terhadap jihad. Padahal, Islam telah menyerukan dirinya sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semesta alam), dan tentunya segala macam bentuk aktifitas keagamaan dalam Islam, termasuk berjihad, akan mengacu kepada tipologi ini.
Bagi Islam, jihad bertujuan untuk menciptakan kedamaian, bukan kerusakan. Itulah sebabnya, jihad di jadikan sebagai tameng agama dari serangan musuh, dan bukan untuk mencari musuh.
Kalau kita mengacu kepada Surah al-Maidah: 32 di atas, terorisme telah jelas bertentangan dengan ajaran Islam, sebab Islam tidak menghendaki adanya korban jiwa yang tidak bersalah dan tidak pula menghendaki kerusakan-kerusakan. Perbedaan antara jihad dan terorisme, dalam pengamatan penulis, dapat kita lihat pada tiga aspek, yaitu terletak pada sifatnya, tujuannya, serta target atau sasarannya. Aspek pertama, jihad sifatnya menjalin ishlah (perbaikan hubungan) sekalipun meniscayakan adanya peperangan sebagai jalan akhir, sedangkan terorisme sifatnya ifsad (merusak), anarki, dan tidak berperikemanusiaan, serta mengancam keamanan masyarakat dunia; aspek kedua, jihad bertujuan untuk menegakkan kalimatullah dan membela kaum-kaum yang teraniaya dan keadilan dengan cara-cara yang berperikemanusiaan, sedangkan terorisme bertujuan menghancurkan pihak-pihak lain, merusak sendi kehidupan, harta benda, dan kehormatan manusia; aspek ketiga, jihad dilakukan dengan syarat-syarat ketat yang telah ditetapkan syari’at dengan sasaran yang jelas, sedangkan terorisme dilakukan sekehendak hatinya, tanpa aturan, dan membunuh sasaran dengan tanpa batas.
Sedemikian jelas ketiga perbedaan di atas, menandakan bahwa klaim jihad yang dianggap sebagai tindakan teror, sangat bertolak belakang dengan makna jihad itu sendiri.
Makna Jihad yang Sebenarnya!
Dalam bahasa Arab, kata jihad terambil dari kata juhd yang mempunyai aneka makna, seperti: upaya, kesungguhan, kesulitan, keletihan dan lain-lain. maknanya bermuara pada “mencurahkan segenap kemampuan” atau “menanggung beban pengorbanan”. Pengertian ini menunjukkan bahwa jihad adalah mencurahkan segala usaha dan kemampuan secara sungguh-sungguh dengan penuh pengorbanan diri demi menampik keburukan atau meraih kebaikan.
Dalam al-Qur’an sendiri, kata jihad terulang sebanyak 31 kali, sedang kata perang hanya 4 kali. Perang meniscayakan penggunaan senjata terhadap lawan, sedangkan jihad tidak selalu demikian. Bukankah ada sebuah istilah jihadan kabira (jihad yang besar), yakni jihad melawan hawa nafsu, sebagaimana ungkapan populer yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad ketika beliau baru pulang dari peperangan (fisik), beliau berkata “Kita baru saja kembali dari jihad kecil menju jihad besar (perang melawan hawa nafsu)”.
Oleh karena itu, amar makruf dan nahi munkar yang merupakan bagian dari jihad, tidak selamanya identik dengan peperangan atau keharusan menggencat senjata. Quraish Shihab mengutip pendapat Ibnu Taimiyah dalam kumpulan fatwa-fatwanya, ia mengatakan, “Jihad mencakup segala macam ibadah, baik lahir maupun batin, seperti mencurahkan cintanya kepada Allah, bertawakal kepada-Nya, menafkahkan sebagian harta kepada tetangga yang tidak mampu, serta berzikir kepada Allah. Bahkan termasuk jihad pula, menyerukan kebenaran dengan argumentasi pemikiran, lisan, dan melalui karya tulis”.
Referensi:
Asad, Talal, Genealogies of Religion: Disciplines and Reasons of Power in Christianity and Islam (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1993)
Benjamin, Daniel and Steven Simon, The Age of Sacred Terror: Radical Islam’s War Against America (New York: Random House, 2002)
Cavanaugh, William, The Myth of Religious Violence (New York: Oxford University Press, 2009)
Esposito, John L., Unholy War: Terror in the Name of Islam (New York: Oxford University Press, 2002)
Fatwa, A.M., Terorisme Global dalam Perspektif Islam, (Jurnal Tarjih edisi ke-9, Januari 2007)
Fox, Jonathan, “Clash of Civilizations and Clash of Religions: Which is a More Important Determinant of Ethnic Conflict?”, Ethnicities, Vol. 1, No. 3 (2001)
Hamilton, Malcolm, The Sociology of Religion: Theoretical and Comparative Perspectives, Second Edition (New York: Routledge, 2001)
Hoffman, Bruce, Inside Terrorism (New York: University of Columbia Press, 1998)
Horgan, John, The Psychology of Terrorism (London and New York: Routledge, 2005)
Hunt, Stephen J., Religion in Western Society (New York: Palgrave, 2002)
Juergensmeyer, Mark, Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence, Updated Edition with a New Preface (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 2000)
Kataoka, Tatsuki, “De-Institutionalizing Religion in Southeast Asia,” Southeast Asian Studies, Vol. 1, No. 3 (Desember 2012)
Kepel, Gilles, Muslim Extremism in Egypt: The Prophet & Pharaoh (Berkeley and Los Angeles: University California Press, 1985)
Mustofa, Imam, Terorisme: Antara Aksi dan Reaksi (Gerakan Islam Radikal sebagai Respon terhadap Imperialisme Modern), Jurnal RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012
Roham, Abujamin, Ensiklopedi Lintas Agama, (Jakarta: Emerald, 2009)
Santi, Selpia, Terorisme Dan Agama Dalam Perspektif Charles Kimball, Jurnal ICMES Volume 1, No. 2, Desember 2017
Shihab, M. Quraish, Islam yang Saya Pahami, Keragaman Itu Rahmat, (Tangerang: Lentera Hati, 2017)
Uergensmeyer, Terror in the Mind of God, 5; Joseph S. Tuman, Communicating Terror: The Rhetorical Dimensions of Terrorism (Thousand Oak, CA: Sage Publication, 2003)