Membangun Revolusi Mental dan Budaya
“bagaimana bisa pujangga miskin kata, di negeri ini… laksana tiang tanpa bendera”
Berangkat dari teori sosiologi pembangunan dalam menelaah maju dan mundurnya suatu negara, tidak bisa lepas dari Teori Modernisasi. Teoti ini mencetuskan keterbelakangan suatu bangsa disebabkan oleh belum menularnya karakter bangsa maju atau negara modern kepada bangsa terbelakang. Diantaranya, karakter memiliki etos kerja tinggi, rasional, disiplin, efisien, hemat, dan jujur, seperti mentalitas dan karakter bangsa yang sudah maju.
Teori ini menyebutkan bahwa suatu bangsa hidup terbelakang, miskin, banyak pengangguran, kesehatan buruk, pendidikan rendah, disebabkan oleh mentalitas suatu bangsa yang mendarah dagingnya budaya malas, etos kerja rendah, tidak disiplin, tidak jujur, tidak rasional, mental menerobos. Jadi dibutuhkan mentalitas seorang pejuang untuk dapat membangaun bangsa yang terbelakang, walaupun pemerintah menyiapkan materi yang melimpah dan teknologi yang muktahir tapi apabila mentalitas bangsa itu sendiri masih lemah dan budaya yang masih tergolong rendah, maka tidak menutup kemungkinan dukungan yang diberikan pemerintah tidak mampu untuk mendorong suatu bangsa yang terbelakang menjadi bangsa yang di kategorikan maju.
Mengapa demikian, karena apabila dari segi mental belum siap untuk melakukan pembangunan maka sesuatu yang sudah susah payah dibangun akan roboh tentunya, ibaratnya mental dari suatu bangsa akan menjadi pondasi dari bangunan tersebut. Menurut teori modernisasi ini, apabila kita ingin membangun suatu bangsa dari yang lemah menjadi kuat, maka harus dilakukan perubahan mental dan memperkuat budaya. kalau suatu bangsa ingin maju, maka karakter bangsa maju harus disosialisasikan secara intensif ke individu-individu melalui pendidikan di sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Tergerusnya budaya
Generasi muda di era revolusi industri seperti saat ini memiliki tantangan tersendiri dalam memajukan peradaban bangsa. Dengan perkembangan teknologi seperti sekarang ini sangat berbanding terbalik dengan lemahnya moral dan budaya bangsa yang mengakibatkan lemahnya karsa. Oleh Bung Karno dalam trisaktinya disebut lemahnya kepribadian budaya bangsa. Hal ini bersumber dari dampak lemahnya faktor budaya internal bangsa dan faktor eksternal yang disebabkan terjadinya serangan budaya globalisasi yang tidak bisa dibendung lagi.
Budaya yang seharusnya menjadi ujung tombak untuk menuju ke arah bangsa yang bermartabat dan bermoral, justru sekarang sudah tersisihkan oleh budaya barat yang tidak bisa dibendung lagi oleh generasi muda bangsa. Hal ini berdampak pada merosotnya etika yang sudah dibangun oleh nenek moyang dari satu generasi ke generasi berikutnya yang mungkin tali-temali dengan adat istiadat, lingkungan masyarakat, agama dan budaya sehingga menghambat kemajuan suatu bangsa.
Dampak lemahnya faktor internal budaya bangsa bersumber dari generasi muda bangsa yang kurang menjunjung nilai-nilai budaya yang dengan susah payah dibangun oleh generasi terdahulu. Misalnya, sebagian besar generasi milenial lebih memilih menghormati artis idola dibandingkan dengan menghormati guru yang sudah bersusah payah mengajarkkan ilmu, beruntung ketika orang tua menyekolahkan anaknya di pondok pesantran yang masih kental dengan etika dan moral positif yang selalu diajarkan oleh para ustadz dan kiyai yang sering disebut dengan budaya pesantren.
Penguatan pendidikan
Bukan bangsa yang kuat apabila masih belum bermartabat, dalam upaya untuk meningkatkan kualitas dan martabat bangsa agar menjadi bangsa yang maju, sejahtera, mandiri, dan berdaya saing diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan unggul. Hal ini dapat dilakukan dengan membina SDM kita yang menurut Habibie memiliki jiwa entrepreneurship, menguasai, dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi, bermoral, dan beretika yang berbasis pada ajaran agama di negara yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Habibie mencetuskan teori HO2, yakni Hati (iman dan takwa), Otak (ilmu pengetahuan), dan Otot (teknologi). Tentu kita belum puas dengan kondisi pendidikan kita saat ini. Hasil survei lembaga internasional menunjukkan kualitas pendidikan menduduki peringkat ke-64 dari 120 negara yang disurvei. Tingkat daya saing nomor 38, di bawah Malaysia, Brunei, dan Thailand. Sedangkan, tingkat korupsi masih tinggi pada peringkat 118.
Sistem pembelajaran yang dilakukan oleh sebagian besar lembaga pendidikan di Indonesia justru menghasilkan pengangguran intelektual, kurang mandiri, pencari pekerjaan, bukan pioner pembuka lapangan kerja. Langkah utama dalam menciptakan revolusi mental yang paling strategis harus melalui penguatan kualitas pendidikan. Mari kita belajar dari Finlandia, sebuah negara yang menjadi role model pendidikan dunia, daya saing SDM-nya pernah menduduki peringkat pertama dunia.
Dalam meningkatkan pembangunan nasional bukan semata-mata kita ukur dari pertumbuhan ekonomi, tapi juga yang harus ditelaah lebih dalam adalah bagaimana SDM-nya bisa berkembang dangan cara mengedepankan keseimbangan hidup dan memberikan linkungan hidup yang nyaman. Menurut pakar pendidikan Finlandia Pasi Sahlberg, ini dilakukan dengan mengembangkan model belajar-mengajar yang berorientasi siswa agar terbiasa ingin tahu atau belajar berpikir, kemandirian siswa yang menekankan kemampuan kreativitas dan inovasi, serta mengedepankan nilai-nilai dan etos yang menjunjung tinggi lingkungan hidup.
Model pembelajaran yang dikembangkan di Finlandia yaitu melakukan pembelajaran bukan hanya terfokus kepada gurunya saja, tetapi bagaimana seorang guru bisa berkolaborasi dengan siswa untuk menciptakan pembelajaran yang sehat. Di Finlandia menjadi guru adalah profesi prestisius. Banyak orang muda yang terinspirasi ingin menjadi guru. Fakultas Keguruan telah menjadi pilihan nomor satu anak muda di Finlandia, di atas kedokteran dan hukum. Mari generasi muda bangsa, kita bersama-sama untuk membangun bangsa indonesia untuk mewujudkan revolusi mental guna memperkokoh kepribadian dan budaya bangsa.
mantap pak dosen
Sekedar berpartisipasi pak ketua.. ☕