
Berfikir Kritis Terhadap Al-Qur`an
Sejak al-Qur`an pertama kali diturunkan kepada Rasulullah saw kemudian disampaikan kepada umatnya, keoriginalitas al-Qur`an sudah dipertanyakan dan dipertentangkan oleh masyarakat jahiliah kafir quraish, namun al-Qur`an tidak serta merta menerima kritikan-kritikan yang dilontarkan oleh pembenci Muhammad saw saat itu, bahkan al-Qur`an sendiri menantang orang-orang yang hendak merobek kesucian ayat-ayat Allah untuk membuat satu ayat atau satu surat yang serupa dengan al-Qur`an seperti yang disebutkan pada surat al-baqarah ayat 23. Tantangan-tantangan terhadap keontetikan al-Qur`an tidak hanya cukup sampai ketika Rasulullah saw masih hidup sebagai pembawa risalah, tantangan tersebut semakin berat dengan adanya ekspansi Islam ke luar bangsa arab (ajam), akibat ekspansi tersebut problem dalam diri al-Qur`an yang menjadi topik para pengkaji al-Qur`an beberapa tema diantaranya adalah: ilmu qiraat al-Qur`an, kodifikasi al-Qur`an, pencetakan al-Qur`an, penerjemahan al-Qur`an dan hal-hal lain yang terus didiskusikan sampai hari ini.
Terkait itu, umat Islam dituntut untuk mengembangkan diri demi ikut menjaga kitab sucinya dari tangan-tangan kotor yang mencoba mengganggu keontetikan al-Qur`an, namun diperlukan cara-cara yang juga dilakukan oleh orang-orang yang berniat menghancurkan al-Qur`an, belakangan terjadi perang urat saraf terhadap al-Qur`an, munculnya orang-orang orientalis (outsider) yang mencoba mendekati al-Qur`an dengan lebih rasional membuat umat Islam khususnya orang-orang yang mengkaji al-Qur`an dengan rasio juga. Salah satu tahap pembentengan diri terhadap al-Qur`an adalah berfikir kritis atau dalam englishnya disebut berfikir out of the box, lalu bagaimana seharusnya umat Islam berfikir kritis terhadap al-Qur`an?
Pergumulan Berfikir Kritis
Berfikir merupakan aktivitas komunikasi dengan diri sendiri dengan mengatasnamakan akal, sedang kritis adalah mempertimbangkan, menganalisa, merenungkan, dan sebuah jalan untuk menemukan hakikat suatu problem. Menurut Sutaridho berfikir kritis adalah berpikir yang akurat, relevan, wajar dan juga teliti dalam konteks menganalisis masalah, mensintesis, generalisasi, menerapkankonsep, menafsirkan, mengevaluasi mendukung argumen dan hipotesis,memecahkan masalah, dan juga dalam membuat keputusan. Sedangkan menurut Euis Istianah bahwa berpikir kritis mengarah pada kegiatan menganalisa gagasan ke arah yang lebih spesifik, membedakan sesuatu hal secara tajam, memilih,mengidentifikasi, mengkaji, dan mengembangkan ke arah yang lebih sempurna. Seorang filsuf Yunani, Descartes mengajak kita untuk berfikir kritis dan mendalam terhadap sumber-sumber pengetahuan. Sumber pengetahuan yang akurat adalah rasio, rasionalisme mampu menjawab permasalahan-permasalahan yang tidak bisa dijangkau oleh indra manusia. Brookfield dalam Alwasilah (2008:158) menyebutkan lima karakteristik berpikir kritis:
1. Berpikir kritis merupakan sebuah aktivitas produktif dan positif
2. Berpikir kritis merupakan sebuah proses bukannya sebuah hasil
3. Manifestasi berpikir kritis bervariasi sesuai konteknya
4. Berpikir kritis dipicu oleh kejadian-kejadian positif atau negatif
5. Berpikir kritis bersifat emotif juga rasional.
Merujuk pada karakteristik berpikir kritis di atas dapat diartikan bahwa berpikir kritis adalah segenap proses aktifitas manusia yang positif, emotif dan rasional yang manifestasinya bervariasi sesuai konteknya. Manusia harus senantiasa berfikir kritis tidak hanya untuk menemukan kebenaran, namun juga untuk menutupi diri dari kebenaran yang pasif. Dengan berfikir kritis juga, hubungan manusia dengan manusia lainnya tetap terjaga karena mampu menganalisa perbuatan dan aktivitasnya secara mendalam dan terbebas dari tuduhan-tuduhan yang ekstrem, dan juga tekstual. Potensi akal yang ada pada diri manusia harus diperjuangkan mati-matian karena demi menjaga eksistensinya sebagai manusia dan menyelamatkannya dari sifat hewaniah, karena sesungguhnya manusia adalah binatang yang berakal seperti yang diungkapkan dalam ajaran-ajaran agama.
Setiap pemikiran adalah musuh bagi pemikiran lainnya, ungkapan ini sepertinya bukan kata-kata hampa tanpa makna yang digaungkan oleh para tokoh filsafat, karena manusia memang fitrahnya berbeda (Qs. AL-Hujurat;13) , begitu juga akal tidak lepas dari pandangan yang berbeda antara individu dengan individu lainnya, antara kelompok dengan kelompok, antara individu terhadap kelompok dan sebaliknya antara kelompok terhadap individu. Perbedaan-perbedaan tersebut harus didinginkan dengan berfikir kritis, sebab seperti ungkapan Quraish Shihab “bisa jadi aku yang salah dan kamu yang benar, dan aku yang benar kamu yang salah”, jadi berfikir kritis akan melahirkan manhaj yang moderat. Berfikir kritis seyogyanya bukan cara untuk menjatuhkan, namun berfikir secara rasional akan mampu menjaga ketidakmampuan manusia menjangkau pengetahuan yang hanya dimiliki oleh Sang Pemilik Ilmu, dengan rasionalisme tersebut manusia dapat kembali menjadi manusia yang sesungguhnya yaitu makhluk yang diciptakan atas dasar kelemahan, kesalahan dan kelupaan.
Mengkritisi al-Qur`an
Al-Qur`an sebagai wahyu ilahi, kalam ilahi sepatutnya tidak boleh untuk diragukan kebenarannya. Keontetikannya sendiri sudah dijamin oleh Allah swt dalam surat al-Hijr ayat 9. Kalimat yang digunakan pada ayat tersebut adalah term “nahnu” yang berarti kami atau kita, menurut beberapa mufassir bahwa ayat tersebut menunjukkan adanya ruang untuk manusia ikut serta menjaga kesucian al-Qur`an sebagai pedoman hidupnya (way of life). Lalu bagaimana jika al-Qur`an dikomentari dengan nada negatif oleh non muslim bahkan mungkin dari kalangan muslim sendiri?, sesungguhnya kritikan-keritikan yang dilontarkan oleh kaum orientalis sangat rasional sekali dengan metode-metode ilmiahnya yang mengatakan bahwa al-Qur`an adalah duplikat atau plagiatis dari kitab-kitab sebelumnya. Mereka mendemonstrasikan argumentasinya dengan sangat terstruktural dan sangat teliti mempelajari al-Qur`an, mereka tidak main-main dalam upaya menjatuhkan kemuliaan al-Qur`an, dengan beragam cara dan pendekatan mereka lakukan.
Sekarang umat Islam pun harus mempunyai benteng yang kuat, dengan menyampaikan kemurniaan al-Qur`an sebagai wahyu Tuhan secara rasional tentu akan mampu menjawab semua pertanyaan kaum orientalis yang notabenenya untuk menghancurkan Islam adapun yang murni mempelajari al-Quran tidak seberapa. Al-Qur
an sendiri meminta manusia supaya berfikir secara rasional dengan potensi akalnya, beberapa ayat membicarakan potensi akal tersebut: surah Ali-Imran ayat 190, surat al-baqarah ayat 164, bahkan pada ayat yang pertama kali turun yang memerintahkan Rasulullah saw untuk membaca “iqraa”, menurut pandangan Prof. Nasarudin Umar imam masjid istiqlal bahwa surat al-alaq yang berkisah tentang malaikat jibril menemui Rasulullah saw di Gua Hira kemudian menuntun Beliau mengucapkan kalimat iqra`, malaikat Jibril mengulangi kalimat iqra sampai tiga kali, menurut Prof itu iqra yang jumlahnya tiga kali tersebut masing-masing mempunyai fungsi masing-masing, tidak hanya membaca secara tekstual namun juga membaca secara kontekstual kondisi masyarakat Quraish, pada salah satu iqra` mengajak Rasulullah saw untuk berfikir kritis terhadap kondisi kejaihiliahan kaum quraish sebagai calon wadah dakwah Islam. Hal ini membuktikan bahwa berfikir kritis dijamin oleh Islam. Jadi untuk berfikir kritis terhadap kebenaran al-Qur`an adalah sebuah kerangka untuk membentengi iman dan Islam, mengkritisi al-Qur`an tidak dapat diartikan untuk menjatuhkan al-Qur`an sendiri atau meragukan kebenarannya, bahkan sementara itu dalam batas yang wajar dan dengan niat untuk menjaga keontetikan al-Qur`an, Islam akan sangat mendukung.
Kritis dalam Membaca al-Qur`an
Al-Qur`an adalah kitab suci yang berbeda dengan kitab atau buku-buku lainnya, salah perbedaannya adalah membaca al-Qur`an dijamin mendapat pahala yang berlipat lipat. Membaca al-Qur`an berbeda dengan membaca kitab-kitab maupun buku Islam, membaca al-Qur`an mempunyai tata cara yang sudah ditentukan, salah satu ilmu yang mengantarkan pembaca al-Qur`an kepada bacaan yang shahih adalah ilmu tajwid. Ilmu tajwid adalah ilmu yang membahas tata cara pembacaan al-Qur`an lebih tepatnya pengucapan huruf perhuruf, hukum-hukum bacaan. Ada juga ilmu tilawah yang mengajarkan cara membaca al-Qur`an dengan indah, disiplin ilmu ini mengajarkan tentang irama bacaan al-Qur`an. Dengan menguasai kedua ilmu tersebut, maka pembaca al-Qur`an akan mendapatkan pahala yang sudah dijanjikan, dengan demikian hukum mempelajari ilmu tajwid adalah wajib, sebab jika membaca al-Qur`an dengan sembrono akan menghilangkan makna yang diinginkan oleh al-Qur`an.
Selain kedua ilmu tersebut masih banyak disiplin-disiplin ilmu lainnya yang dapat memperkuat pemahaman kita terhadap al-Qur`an, terlebih bagi kaum ajam yang membutuhkan ilmu lebih dari orang arab asli yang secara budaya sudah erat dengan bahasa al-Qur`an. Dengan adanya ilmu-ilmu alat seperti nahwu, shorof, shorof, ushul fiqh, maka muncullah terjemahan al-Qur`an yang merupakan tafsir mini daripada al-Qur`an, dengan melihat sekilas terjemahan al-Qur`an akan memberikan pemahaman, namun tentu itu tidak cukup karena terjemahan bukanlah tafsir, terjemahan bukanlah al-Qur`an. Maka ketika memaca al-Qur`an tidak boleh sembarang apalagi sampai menerjemahkan secara mandiri, tentu sangat berbahaya karena di dalam al-Qur`an ada ayat-ayat harus ditafsirkan secara mendalam yang samar maknanya dan ada pula ayat-ayat yang secara tersurat jelas maknanya kedua hukum ini disebut sebagai: ayat mutasyabih dan ayat muhkam.
Di akhir tulisan ini penulis ingin mengutip sebuah syair yang digubah oleh TGKH.M. Zainuddin Abdul Majid dalam nazham batu ngompal:
jaranglah pandai membaca Quran
kebanyakan asyik tidak karuan
malu berguru tajwidnya Quran
besar kepala takut teguran
rajin berguru pada ahlinya