Kebisuan Teks Al-Qur’an [Kritik Atas Pembacaan Atomistik Kalam Tuhan]
Muhammad Syafirin, Ahad, 06 Desember 2020
.
.
Tak banyak alasan untuk menolak ungkapan yang mengatakan, ‘Al-Qur’an merupakan salah satu kitab yang paling sering dibaca sepanjang sejarah umat manusia’, di karenakan umat Islam dalam berbagai ritus keagamaannya selalu membaca ayat-ayat Al-Qur’an, sekurang-kurangnya membaca surah al-Fatihah.
Meski ayat-ayat Al-Qur’an paling sering dibaca, pesan-pesan yang tersampaikan belumlah menuai hasil maksimal sebagaimana yang dikehendaki Al-Qur’an itu sendiri. Hal ini tidak terlepas dari polaritas hubungan antara Al-Qur’an dan subjek yang membacanya.
Dalam kalangan umat Islam, Al-Qur’an terkesan sebagai kitab suci yang berwajah ganda. Di satu sisi Ia sebagai teks agama yang bersifat pluralis dengan mengusung perdamaian, namun pada sisi yang lain Ia justru bersifat sentrifugal yang menjadi kekuatan daya pemecah-belah. Benarkah demikian? Jawabannya bisa iya bisa pula tidak. Kalau kita melihat sejarah ribuan tahun silam saat diturunkannya Al-Qur’an, kita akan mendapati bahwa Al-Qur’an sebagai ruh, nyawa dan nafas segar yang membawa kedamaian, membina keterpurukan spiritual dan degradasi moral, dan Al-Qur’an-pun menyatakan tegas bahwa pesan-pesan ajarannya sebagai ‘rahmatan lil ‘alamin’. Adapun bila kita melihat Al-Qur’an pasca risalah Nabi Saw., kita bisa berkata bahwa Al-Qur’an bagi sebagian kaum muslimin bukan lagi sebagai kekuatan daya penyatu (sentipetal), melainkan sebaliknya. Beberapa peristiwa kelam di masa lalu yang memilukan hati, terutama berbagai konflik yang terjadi di kalangan internal umat Islam sendiri, membuktikan bahwa Al-Qur’an seperti entitas yang kusam, gersang dan bisu, ia hanya sebagai alat justifikasi dan motif identitas kelompok sektarian tertentu.
Pada masa hidup Nabi, umat Islam adalah satu, dan Al-Qur’an mengklaimnya dengan konsep komunitas tunggal “ummatan wahidah” (QS. Al-Anbiya’[21]: 92, dan QS. Al-Mu’minun [23]: 52). Dan pada masa itu, terlihat jelas kekompakan kaum muslimin dalam segala dimensi, baik dalam hal dakwah, ta’awun dan amar ma’ruf nahi munkar. Lalu mengapa Al-Qur’an mengalami kebisuan pasca Nabi? Mengapa Al-Qur’an tidak menggugat saat dirinya diperalat sebagai stimulus kepentingan duniawi saat itu? Dan pada saat Al-Qur’an dipahami sebagai dalil kehalalan darah Sayyidina Ali, mengapa ia hanya diam saja dan tidak merespon apa-apa?? Bukankah misi utama Al-Qur’an adalah persatuan, dan kedamaian serta keadilan?
Dalam studi kajian ketimuran yang dilakukan oleh para orientalis, mereka tidak segan-segan menyerang Al-Qur’an dengan berbagai upaya. Kesimpulan yang mereka dapatkan dari kajian-kajian mereka adalah bahwa Al-Qur’an merupakan teks mati yang dipaksa hidup untuk berperan sebagai kitab suci oleh umat Islam. Kenapa demikian? Salah satu dedengkot orientalis, Theodor Noldeke, mengatakan, Al-Qur’an itu sebenanya meng-copy paste ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab Yahudi dan Nasrani, karena semua isi pesan-pesan dalam Al-Qur’an sudah ada dalam kitab sebelumnya, malah apa yang tercantum dalam Al-Qur’an itu belumlah sempurna jika dibandingkan dengan isi kitab Yahudi Nasrani. Pendapat lainnya lagi diungkapkan oleh seorang tokoh pendiri Yahudi Liberal di Jerman, Abraham Geiger, dalam sebuah kompetisi di Universitas Bonn tahun 1832, ia menulis esai berjudul: Was Has Muhammed aus dem Jdenthume aufgenomment? (Apa yang Telah Muhammad Pinjam dari Yahudi?), dalam tulisan itu Geiger tegas menyatakan bahwa Al-Qur’an banyak dipengaruhi oleh bahasa asing (Yahudi), terbukti dari kosakata Ibrani yang cukup banyak diadopsi oleh Al-Qur’an, seperti: Tabut, Taurat, Jannah, Jahannam, Akhbar, Thagut, Ma’un, Malaikat, dan sebagainya.
Kemudian dalam esai yang lain, ditulis oleh Alphonse Mingana pada tahun 1927. Seorang pendeta Kristen asal Irak ini bependapat bahwa ada 100% bahasa asing yang mempengaruhi Al-Qur’an, 5% mewakili Ethiopia, 5% Persia, 10% Ibrani, 10% bahasa Yunani-Romawi dan 70% Syiriak. Ia membuktikan bahwa ada enam perkara pengaruh Syiriak yang ada dalam Al-Qur’an. Pertama, berkaitan dengan nama-nama tokoh, seperti Sulaiman, Ishaq, Ya’kub, Ismail, Nuh, Zakaria dan Maryam; kedua, berkenaan dengan istilah-istilah religi sepeti Qishshis, Dîn, Kāhin, Masîẖ, Thāgût, Rabbāni, Qurban, Malakût, Jannah, Malak, Ruh al-Quddus dan lainnya; ketiga, kata-kata yang umum seperti Qur’an, Muhaimin, Husban, Nun, Thûr, Bariyyah, Misk, Muqalid dan lain-lain; keempat, hal-hal yang berkenaan dengan otografi pengkhianatan terhadap pengaruh Syiriak; kelima, konstruksi kalimat-kalimat sebagaimana yang terdapat dalam beberapa ayat Al-Qur’an; keenam, sejarah-sejarah asing yang terdapat dalam Al-Qur’an seperti legenda Dzulqarnain (Alexander The Great), Nashara, Hanif, Majusi, dan Rum.
Berdasarkan berbagai sikap kaum muslimin serta tuduhan miring orientalis terhadap Al-Qur’an di atas, penulis ingin mengajak kita semua untuk berpikir dan merenung, mengapa Al-Qur’an diperlakukan sedemikian brutal? Seolah-olah penyematan Al-Qur’an sebagai ‘wahyu Tuhan’ itu dikesampingkan dan dilupakan begitu saja. Dan terlihat jelas bahwa mereka menjadikan Al-Qur’an itu sebagai teks bisu yang selalu manut begitu saja terhadap apa yang mereka inginkan.
Baiklah, pada kesempatan baik ini, penulis ingin menjawab kekeliruan-kekeliruan di atas dengan membuktikan eksistensi Al-Qur’an yang hidup, yang memiliki ruh dan senantiasa berinteraksi dan berdialog dengan manusia. Mari kita lihat ayat pertama yang diwahyukan kepada Nabi Saw. di Gua Hiro’, yakni “Iqra’ bismi rabbikalladzi khalaq”. Pada ayat ini didahului dengan kata ‘Iqra’’ (bacalah..!), ini mengisyaratkan bahwa manusia diharapkan untuk memperluaskan bacaannya terutama terhadap Al-Qur’an. Kata ‘membaca’ memiliki arti yang luas, dan ulama menyebutkan beragam maknanya, di antaranya: ‘mempelajari’, ‘meneliti’, ‘bereksperimen’, ‘berkarya’ dan lain-lain. Namun perintah-Nya bukan hanya sampai disana, tetapi disertai “Bismi rabbikalladzi khalaq” ‘Dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan’. Ini berarti bahwa untuk mengetahui hakikat Al-Qur’an tidak cukup hanya dengan membaca saja, namun pengakuan atau keimanan kepada Allah adalah hal yang paling urgen. Keimanan akan melahirkan ketakwaan, dan dengan ketakwaanlah seseorang akan merasakan betapa hebatnya Al-Qur’an dengan pesan-pesan sakralnya.
Al-Qur’an juga mengajukan pembelaan terhadap dirinya atas praduga atau tuduhan orang-orang kafir maupun orang munafik. Dalam QS. Al-Baqarah [2]: 2, dinyatakan, “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi orang bertakwa (muttaqin)”.
Pada ayat di atas, terdapat sekurang-kurangnya dua problema penting yang terkandung di dalamnya, antara lain: pertama, masalah perbedaan antara keimanan dan keraguan serta penolakan terhadap kitab suci; kedua, konsistensi dan ke-eksistensi-an wahyu Tuhan sebagai petunjuk bagi orang-orang yang beriman.
Problem pertama pada ayat di atas adalah menepis keraguan orang-orang kafir dan munafik, ‘La raibafih’. Keraguan merupakan bagian kehendak bebas, sehingga kelompok-kelompok orientalis sebagaimana yang disebutkan di atas, mereka sebetulnya berangkat dari sebuah keragu-raguan dalam membaca dan memahami teks Al-Qur’an. Walaupun pada akhirnya mereka menemukan hipotesa kebenaran Al-Qur’an, toh juga mereka akan berusaha menolak dan menyembunyikannya.
Kemudian problem kedua, Al-Qur’an menyatakan ke-konsistensi-nya sebagai wahyu Tuhan yang memberikan petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa, sedangkan takwa hanya akan diraih dengan keimanan. Adapun konsekuensi keimanan adalah menerima segala petunjuk yang diberikan Tuhan, yang mesti diterjemahkan dalam segala aspek perbuatan. Makanya orang yang tidak beriman akan sulit mengerti tentang konsep takwa, tidak seperti mereka yang beriman, takwa menjadi premis dasar yang paling konkrit dalam menjalani kehidupan. Ziauddin Sardar dalam bukunya Reading The Qur’an menafsirkan kata takwa dengan cukup stimulatif, ia mengatakan bahwa takwa adalah ingat kepada Allah, dan kesadaran mengenai sebuah kepastian, hakikat, dan keberadaan-Nya yang dialami secara intelektual, spiritual, maupun emosional.
Kelihatannya, penafsiran Sardar di atas cukup meransang batin kita untuk meletakkan takwa dalam memandang dan membaca teks Al-Qur’an sebagai kitab suci. Karena penyebab utama kaum muslimin terpecah belah dan kerapkali memicu peperangan antar sesama muslim adalah mereka menjadi sama kerdilnya dengan orang-orang munafik yang mengubah ke-universalitas dan ke-kontinuitas pesan Al-Qur’an, menjadi identitas yang eksklusif dan sempit. Tidak sedikit di kalangan umat Islam sendiri membaca kitab suci mereka secara atomistik dan parsial-monolitik, sehingga wajar saja apabila sebagian umat Islam ada yang menjadi radikal dan menjadikan Al-Qur’an sebagai justifikasi kebenaran mazhab-mazhab mereka. Tidak sedikit pula sekte yang satu dengan sekte lainnya saling mengkafirkan dengan dalih agama. Padalah Al-Qur’an tidaklah menghendaki demikian. Dan penulis menganggap, mereka-mereka ini sesungguhnya telah meng-korupsikan ayat-ayat Al-Qur’an demi kepentingan komunal mereka.
Dalam buku The Qur’an; a Shot Introduction yang ditulis oleh seorang sarjana muslim asal Afrika Selatan, Farid Esack, ia mencoba mengilustrasikan wujud Al-Qur’an dengan cukup unik. Baginya Al-Qur’an itu hidup dan seakan-akan mempunyai jiwa dan karakter layaknya manusia. Ia terinspirasi dari salah seorang sahabatnya di India, yang tidak mau berganti pakaian di tempat tidurnya demi menghormati Al-Qur’an yang ditaruh di rak paling atas di kamarnya. Perilaku semacam ini berangkat dari kepercayaan bahwa Al-Qur’an selalu mengawasi gerak-gerik manusia, dan dia akan memberi persaksian di hadapan Tuhan pada hari kiamat nanti. Lanjut Esack, alasan bahwa Al-Qur’an memiliki wujud dan karakter seperti manusia dapat dilihat dari pola kemunculannya, yang menggambarkan pertemuan dua unsur, yaitu antara eksistensi manusia dengan transendensi wahyu Tuhan, itulah sebabnya mengapa Al-Qur’an layaknya bagaikan manusia, dibekali perasaan, emosional bahkan kekuatan. Dan kekuatan Al-Qur’an bersifat transfaransi, terbukti dari tradisi umat muslim yang tidak jarang menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai ajimatnya agar terhindar dari gangguan makhluk halus dan mara bahaya, serta sebagai obat penyembuh dari berbagai penyakit. Bahkan hingga kini, tradisi semacam ini masih banyak dipegang oleh umat muslim di seluruh dunia.
Dari pernyataan Esack di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa tidaklah benar bila dikatakan Al-Qur’an itu adalah teks yang kusam dan wahyu yang bisu. Al-Qur’an adalah firman Tuhan yang senantiasa berinteraksi dengan kita, tiada nafas dan haluan pikir yang keluar dari diri kita yang tidak diawasi Al-Qur’an. Ia selalu berbicara, bahkan melebihi pembicaraan manusia. Namun sayangnya, suara Al-Qur’an hanya akan mampu didengar oleh mereka yang memiliki keimanan dan ketakwaan. Kecuali di hari pembalasan kelak, ia akan tampil sebagai saksi dan diperdengarkan di hadapan seluruk makhluk.
Penulis ingin mengakhiri tulisan sederhana ini dengan menampilkan sebuah refleksi kekuatan Al-Qur’an yang dinyatakan dalam QS. Al-Hasyr [59]: 21, yang berbunyi: “Seandainya Kami menurunkan Al-Qur’an pada sebuah gunung, pastilah kamu akan melihatnya tunduk terpecah-belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir”.
Semoga bermanfaat..!
Referensi:
Abu Hamid Al-Ghazali, Jawahir Al-Qur’an (Jakarta: Qaf Media Kreativa, 2019)
Fadli Lukman, Menyingkap Jati Diri Al-Qur’an (Yogyakarta: Bening Pustaka, 2018)
Farid Esack, The Qur’an; a Short Introduction, terj. Nuril Hidayah (Jogjakarta: Diva Press, 2007)
Ziauddin Sardar, Reading The Qur’an: The Contemporary Relevance of The Sacred Text of Islam, terj. Zainul Am dkk. (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2014)