Kerancuan Menalar Demokrasi: Antara Diktator Mayoritas Dan Egoisme Kebebasan
3 mins read

Kerancuan Menalar Demokrasi: Antara Diktator Mayoritas Dan Egoisme Kebebasan

Muhammad Syafirin, Sabtu 16 April 2022

Berbicara prihal demokrasi di Indonesia,  ada sebuah ungkapan unik dari salah seorang cendekiawan Indonesia, Prof. Nurchalis Madjid, yang menyatakan bahwa, dalam paruh 1/2 abad kemerdekaan bangsa Indonesia, masyarakat―bahkan para pendiri Republik ini―masih melihat demokrasi layaknya ‘rumah antik’ yang asing dari gambaran tentang bagaimana penghuninya dulu hidup, apakah rumah tersebut merupakan potret kejayaan di masa lalu ataukah sebagai tempat penindasan terhormat bagi tokoh penting kala itu? Demikian syak-wasyangka di benak mereka.

Polemik yang kita hadapi sekarang ini hampir sama konsepnya dengan syak-wasyangka para pendahulu Republik kita. Letak bedanya adalah, kalau dulu demokrasi dianggap bagai barang antik yang menyulut kontroversi dialogis, maka sekarang demokrasi kerap dipandang sebagai sebuah tabu, atau bahkan sabu-sabu; mengingat tidak sedikit yang lepas kontrol dan mabuk dikarenakannya.

Kita patut bertanya pada diri kita, apakah iya, kita telah menjadi masyarakat dan bangsa yang berdemokrasi? Pastikah kita telah menghayati konsep demokrasi sebagaimana cita-cita, ‘azam, maupun harapan kita semua bersama seluruh pendiri bangsa ini?

Apa yang dipertontonkan sebagian kecil masyarakat kita belakangan ini―yang secara membabi-buta menolak demokrasi―ialah mereka yang tidak memahami makna demokrasi secara benar dan sadar, sehingga pemaksaan terhadap ideologi ‘liar’ yang sungguh tidak relevan dengan kebinekaan di Indonesia menjadi langkah keseharian mereka, sedang mendalami doktrin pesaing tempur demokrasi merupakan makanan rutinitas mereka.

Pada sisi yang lain juga, mereka yang secara sadar bahkan percaya diri menyuarakan ide/gagasan personal―terlepas dari klaim mereka sebagai pemahaman progresif dan sebagainya―kepada publik, tetapi dengan tanpa memikirkan konsekuensi akhir atas tindakannya itu ialah orang-orang yang belum―jika berat berkata ‘tidak’―menghayati esensi pokok dan substansi dasar dihadirkannya demokrasi sebagai sistem bernegara kita.

Kedua jenis kalangan di atas merupakan korban demokrasi yang tidak sehat. Meskipun pada kenyataannya demokrasi menghendaki apa yang disebut sebagai kebebasan, tetapi kebebasan menurut demokrasi kita di Indonesia bukan berarti mengabaikan kultur dan moral etika masyarakat yang mengitarinya, lebih-lebih pemahaman religius yang cukup banyak dan beragam menuntut kita menghindari persoalan yang sensitif dan transenden bagi penganutnya.

Demikian pula tidak dibenarkan bila berperilaku ‘mau menang sendiri’ dalam mendudukkan persoalan, karena hal ini juga dapat menghambat pertumbuhan dan kemajuan demokrasi di Indonesia. Misalnya, mentang-mentang kelompoknya menduduki posisi mayoritas di negeri ini, lantas mereka semau gue main hakim sendiri tanpa mementingkan hak asasi minoritas (diktator mayoritas). Mereka menista keyakinan orang lain hanya karena berbeda dengan apa yang diyakininya, demikian seterusnya.

Padahal dalam sistem kenegaraan kita tercinta, terdapat formulasi yang melengkapi kita dengan prasyarat asasi yang mampu mewujudkan demokrasi atau tatanan sosial politik yang membawa pada kemaslahatan bersama; itulah dia PANCASILA.

Prasyarat asasi yang terkumpul dalam Pancasila sebagai pedoman kita dalam berdemokrasi antara lain: pertama, adanya orintasi hidup yang transendental; kedua, terdapat ikatan bati pada nilai-nilai kemanusiaan; ketiga, kesadaran akan tanggung jawab bersama; keempat, mendahulukan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi; kelima, prasarana dan wadah persatuan dan kesatuan negara dan bangsa.

Jika kita mampu memahami dan menghayati lima prasyarat di atas, niscaya prilaku diktator mayoritas maupun egoisme kebebasan akan sirna, sehingga terciptalah suatu akhlak dalam berdemokrasi yang sehat, dinamis, universal dan partisipatif. Sekian..!