Merevitalisasi Makna Iqra’ dan Konsep ke-Ummi-an Nabi Muhammad
Muhammad Syafirin, Selasa/12/04/2022
Konsep tentang ke-ummi-an Nabi Muhammad rupanya menjadi bahan perdebatan yang eksis hingga hari ini. Beberapa pakar muslim kontemporer misalnya, telah mencoba memberikan dekonstruksi makna terkait bagaimana mendialogkan pengertian ‘ummi’―yang kerap dipahami oleh mayoritas ulama klasik sebagai orang yang ‘buta huruf’―dengan status Muhammad sebagai seorang ‘nabi’ dan Rasul.
Sebagian pakar tersebut memberikan sikap kritis terhadap pernyataan ulama klasik yang dilayangkan kepada Nabi Muhammad itu, sebagian lainnya tetap mengikuti alur klasik namun dengan memberikan konstruksi tambahan berdasarkan fakta-fakta Nabi setelah berada di Madinah.
Kelompok pertama yang menolak pendapat mayoritas di atas, menganggap bahwa kata ‘ummi’ tidak cocok dan sesuai untuk diartikan sebagai ‘buta huruf’, sebab tindakan itu sama saja dengan melecehkan seorang Nabi, yang mana Tuhan telah mempersiapkannya sebagai pemimpin sekaligus pembawa risalah agung yang merupakan edisi terakhir dari risalah-risalah sebelumnya. Pengusung pendapat ini mempertanyakan beberapa hal, kalau memang benar Nabi Muhammad adalah seseorang yang ‘buta huruf, lalu mengapa Allah memerintahkan sesuatu di luar kemampuan hamba-Nya? Bukankah Allah sendiri mengatakan, Lâ yukallifullâhu nafsan illâ wus’ahâ? Dan dalam kasus penulisan huruf-huruf muqâtha’ah dalam al-Qur’an, Nabi pernah mengajarkan sahabat penulis wahyu tentang bagaimana penulisan huruf yang tepat, maka pantaskah situasi demikian dapat dianggap sebagai ‘tidak faham’ baca tulis?
Adapun kelompok yang kedua, mereka menganggap Nabi memang benar buta huruf tetapi tidak seterusnya demikian. Ke-ummi-an Nabi dalam pengertian ini hanya berlaku di Makkah dan tidak berlaku di Madinah. Pasalnya, beberapa fakta-fakta membuktikan bahwa Nabi tidak lagi ‘buta huruf’ setelah berada di Madinah; salah satunya pada kasus penulisan al-Qur’an sebelumnya. Singkatnya, pandangan ini hendak menggambarkan sosok Nabi yang pada mulanya merupakan seorang yang tidak pandai membaca dan menulis, kemudian secara bertahap berubah menjadi seorang yang mahir bahkan memahirkan orang lain setelah penerimaan wahyu dari Allah.
Dalam literatur klasik, kita tahu bahwa konsepsi tentang kebuta-hurufan Nabi Muhammad dipertahankan demi meng-counter al-Qur’an sebagai ciptaan dan kreasi Nabi Muhammad sendiri. Kita bisa memahami upaya baik ini pada konteks saat itu, karena Islam di masa itu memang belum mewujud sebagai entitas peradaban. Akan tetapi dalam konteks sekarang, kita dapat merasakan bagaimana al-Qur’an―yang hadir semenjak XIV abad yang lalu―tetap dan terus berperan aktif dalam membina dan menumbuhkembangkan tatanan sosial dan spiritualitas umat Islam. Berjuta-juta karya kesarjanaan muslim dengan beragam genre keilmuan yang tersimpan dan tercecer di berbagai perpustakaan negara-negara muslim di Timur Tengah maupun Barat dan Eropa, adalah sebagian kecil dari inspiration yang diberikan al-Qur’an. Sehingga, jika hari ini ada segelintir orang yang ingin mempersoalkan substansi al-Qur’an atau menafikan keautentikan al-Qur’an sebagai sebuah wahyu, maka dapat dipastikan mereka hidup jauh mundur ke belakang.
Kita tidak lagi mesti mempertahankan konsep kebuta-hurufan di atas hanya karena dalih peng-counter-an, sebab hal ini bisa saja akan menimbulkan pertanyaan baru, misalnya, apakah Nabi tetap mengalami kebutaan huruf hingga akhir periode penuzulan wahyu? Jika iya, lantas mengapa responsi internal kaum muslimin cukup bervarian bahkan terkesan bertolak belakang tentangnya? Jika tidak, lantas siapakah orang yang mengajarkan Nabi membaca dan menulis? Dimana dan kapan?
Dalam catatan singkat ini, saya ingin menekankan―juga sebagai jawaban saya terhadap persoalan ini―bahwa perlunya kita membedah, memverifikassi dan melakukan dekonstruksi makna terhadap konsep ‘ummi’ dan makna iqra’ itu sendiri. Terlepas dari kesadaran saya sebagai seorang yang bukan ditakdirkan lahir di masa itu, tetapi pemahaman saya hari ini mengatakan bahwa, cukup aneh dan mengherankan bila kata iqra’ (bacalah!) itu mesti turun pertama kali kepada Nabi, jika memang benar beliau buta huruf (ummi), apalagi objek (maf’ul) bacaan yang dimaksud tidak jelas dan spesifik.
Seorang cendekiawan muslim Indonesia, Prof. Dr. Nasaruddin Umar menyatakan, pada masa-masa pewahyuan al-Qur’an, akar kata qara’a yang membentuk kata iqra’ dan akar kata kataba yang membentuk kata al-kitâb, memiliki konotasi yang selalu tertuju pada kitab suci atau objek yang bersifat sakral. Sementara bahasa tulisan atau simbol-simbol yang dianggap tidak sakral lumrahnya tidak disebut al-kitab, melainkan khath atau rasm.
Dari pengertian ini, kita bisa memahami perintah iqra’ adalah dalam konteks perintah untuk membaca kitab suci. Hal ini juga diperkuat melalui jawaban Nabi “mâ anâ bi qâri” (saya bukan pembaca kitab), artinya beliau bukanlah bagian dari oknum pembaca Taurat dan Bibel (Injil). Ucapan ini Nabi ulang hingga tiga kali lalu kemudian Jibril memberikan formulasi keyakinan yang kuat bahwa Nabi bersama kaumnya sudah masanya menjadi bangsa qari’ atau bangsa pembaca Kitab.
Persoalan kedua mengenai gelar ummi yang disandangkan kepada Nabi. Dalam kamus bahasa Arab, kata ummi diartikan “buta huruf”, sedangkan dalam kamus bahasa Ibrani (Hebrew), kata ini dapat diartikan native (pribumi). Saya cenderung menganggap pengertian kedua memiliki standar yang lebih otoritatif dibanding pengertian pertama dalam konteks Nabi. Alasannya adalah pertama, Nabi dan keluarga beliau serta suku Arab Mekkah, sebelumnya, bukan termasuk bagian dari oknum pembaca kitab; kedua, golongan yang masyhur sebagai qâri’ (pembaca kitab) pada saat itu ialah komunitas Yahudi dan Nasrani, dan kedua komunitas ini bukan warga pribumi Arab.
Dengan menganut pemahaman di atas, tentu kita tidak akan lagi menggambarkan sosok Nabi Muhammad sebagai seorang buta huruf dalam konotasi negatif, tetapi kita bisa mengkompromikan maknanya―meminjam istilah Prof. Nasaruddin Umar―menjadi satu sosok yang ‘belum’ menganut faham dari salah satu kitab suci. Kenyataan yang kita lihat dan dengar tentang kecerdasan Nabi, memang sulit untuk kita katakan beliau sebagai orang yang buta huruf atau orang yang tidak memiliki kapasitas dan kemampuan membaca dan menulis.
Demikian wallohu a’lam!