Manusia Sebagai Eksistensi Alam Akbar; Kajian Teosofi ‘Wafî Anfusikum Afalâ Tubshirûn’
5 mins read

Manusia Sebagai Eksistensi Alam Akbar; Kajian Teosofi ‘Wafî Anfusikum Afalâ Tubshirûn’

Muhammad Syafirin, Kamis, 27 Januari 2022

Tidak berlebihan untuk mengatakan, bahwa semua pakar, apapun bentuk maupun dimensi fan keilmuannya, hingga saat ini belum mampu menjawab sederet pertanyaan tentang misteri makhluk yang bernama ‘manusia’ secara sempurna. Beberapa jawaban yang ditawarkan mereka belum membuahkan hasil yang memuaskan. Bahkan seorang sastrawan Arab pernah melontarkan sajak bersayap yang mendeskripsikan tentang eksistensi manusia sebagai makhluk terunik dalam tataran makhluqât. Ia menyatakan, تحسب أنك جرم صغير * وفيك انطوى العالم الأكبر ‘Hai manusia, engkau mengira dirimu benda yang kecil! Padahal dalam dirimu terkandung alam yang amat besar!’. Meskipun pernyataan demikian lahir jauh sebelum adanya temuan-temuan ilmiah tentang fenomena kemanusiaan sebagaimana hari ini, tetapi relefansi nilai yang terkandung di dalamnya dapat dijadikan sebagai paradigma baru dalam mengungkap hakikat eksistensi manusia sebagai misteri ‘Tangan Tuhan’.

Tuhan menciptakan manusia dalam struktur wujud dan proses yang sempurna (Ahsani taqwîm). Sementara pakar menyatakan, penciptaan manusia yang sedemikian unik, dengan susunan organ-organ tubuhnya yang serasi dan komplek, kemudian dengan sifat, karakter dan tabiatnya yang rumit, merupakan bukti keesaan dan kekuasaan Allah swt. Sehingga di dalam al-Qur’an, Allah mengajak manusia untuk memperhatikan bagaimana Dia menetapkan dan menghendaki yang demikian itu, firman-Nya, ‘Dan pada diri kamu sendiri, apakah kamu tidak melihat?’ (QS. Adz-Dzâriyât [51]: 21). Pada ayat ini, kita dapat mempertanyakan objek ‘melihat’ yang dimaksud, apakah itu sifatnya tertuju pada hal-hal yang bersifat material ataukah konsep abstraksi pada diri manusia?

Jika kita kembali kepada ayat sebelumnya (ayat 20), di mana Allah swt. memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan dan keesaan-Nya yang terbentang di langit dan di bumi, dan bagaimana Allah menciptakan sistem kerja alam semesta yang senantiasa teratur dan seimbang, serta dengan kelanggengan keindahan yang dipersembahkan sedemikian apik. Maka kenyataan-kenyataan inilah yang juga terdapat dalam diri manusia, sebagaimana yang ditegaskan dalam ayat 21 di atas. Dalam artian, manusia bagaikan miniatur alam semesta yang merangkum segala keindahan dan eksistensi alam semesta. Karenanya, secara teosofis, manusia merupakan ‘alam akbar (alam besar), sedangkan alam semesta ialah ‘alam shagir’ (alam kecil). Benarkah demikian? Mari kita buktikan!

Dalam kitab as-Sab’iyyah fi Mawâizh al-Bariyyât, Syaikh Abu Nashr Muhammad ibn Abdurrahman al-Hamdany menyebutkan, bahwa Allah swt. menciptakan tujuh bentuk kebaikan yang disifatkannya kepada tujuh bagian dari alam semesta ini. Pertama, Dia menciptakan ‘kebahagiaan’ yang disifatkan kepada syurga; kedua, sifat ‘keelokan’ diberikan kepada bidadari; ketiga, sifat ‘adh-dhiya’’ (sinar terang) diberikan kepada matahari; keempat, sifat ‘nur’ (cahaya terang) diberikan kepada bulan; kelima, sifat ‘kegelapan’ diberikan kepada malam; keenam, sifat ‘kelembutan’ diberikan kepada air; ketujuh, sifat ‘kehalusan’ diberikan kepada udara.

Jika kita kaitkan dengan eksistensi haqiqiyah manusia sebagai ‘alam akbar’, maka ketujuh sifat di atas terdapat pula pada manusia; di mana Allah menciptakan ‘kehalusan’ pada ruh nya; ‘keelokan’ pada pipinya; ‘cahaya’ pada matanya; ‘sinar’ pada wajahnya; ‘kegelapan’ pada rambutnya; ‘kelembutan’ pada hatinya; dan ‘kebahagiaan’ pada jiwanya.

Manusia dalam keunikannya sebagai ‘alam akbar’ menjadi ruah yang kokoh dalam menampung berbagai macam representasi hakikat alam semesta yang shagir itu. Sehingga, jika langit memiliki ketinggian, maka manusia mempunyai fisik yang tegak dan tegar. Jika di angkasa terdapat matahari dan bulan sebagai penerangnya bumi, maka pada diri manusia terdapat dua biji mata sebagai penerang langkah hidupnya. Jika langit memiliki ‘qathrah’ (tetesan air) yang turun ke bumi sebagai hujan, maka pada diri manusia terdapat ‘abrah’ atau air mata yang jatuh kala ia sedih, haru dan bahagia. Jika di langit ada bintang-binatang yang menghiasi kosmos jagat raya, maka pada manusia ada gigi-gigi yang menghiasi penampilannya. Jika langit mengeluarkan suara petir yang menggelegar, maka manusia pun mengeluarkan suara bersin sebagai menggempar. Jika alam semesta memiliki kestabilan, maka manusia memiliki kehebatan dan ketenangan. Dan jika di bumi ada sungai-sungai, maka pada diri manusia ada urat-urat sebagai wadah peredaran darahnya, dan adapun rambut atau bulu-bulu yang terdapat di kepala dan badannya adalah sebagai pengganti rerumputan maupun pepohonan di bumi. Kemudian jika di alam ini Allah menciptakan empat macam air; tawar, asin, pahit dan busuk, maka pada manusia juga terdapat empat macam air; yaitu air tawar pada mulutnya, air asin pada matanya, air pahit pada telinganya dan air busuk pada hidungnya. Demikian seterusnya..!

Fenomena-fenomena di atas hanyalah sebagian kecil dari sisi keunikan manusia. Belum lagi apabila kita ingin mengkaji sisi yang lebih abstrak, baik menyangkut ruh, nyawa, perasaan, wawasan maupun keyakinannya, tentunya pembahasan kita akan cukup panjang dan meluas. Tetapi pada intinya adalah di sini Tuhan hendak mengajak manusia untuk berpikir serta merenungkan semua ini, agar mereka sadar akan hakikat dirinya, tujuan penciptaannya, serta apa alasan Tuhan menjadikannya sebagai representasi alam semesta yang demikian luas dan tak terhingga ini. Kebanyakan manusia hanya takjub dengan sesuatu di luar dirinya. Dan tidak jarang menjadikan fenomena-fenomena di sekelilingnya sebagai bahan perenungan, padahal apa yang ditetapkan Allah dalam diri mereka jauh lebih besar dan dahsyat dari itu semua. Oleh karena itu, bacalah dirimu, pikirkan dirimu dan kaji dirimu; karena walau seluas dan sesempurna apapun Tuhan menciptakan alam semesta ini, satu-satunya tempat bagi ma’rifah-Nya adalah pada dirimu; yaitu di dalam hatimu! Sekian.. Wallahua’lam!