Catatan Pinggir Menjelang Pasca
4 mins read

Catatan Pinggir Menjelang Pasca

“Emas; tersempal dimana pun, kan selalu dicari orang”

(Muhammad Syafirin, ditulis hari Selasa, 28 Desember 2021)

Setiap mahasiswa, umumnya memiliki harapan agar sebisa mungkin dapat memberikan perhatian maksimal terhadap efektifitas dari setiap dosen studinya. Dengan tidak kurang dari dua puluhan SKS disertai dengan tugas makalah di masing-masing mata kuliah, merupakan kontestasi yang tidak mudah (not simple) bagi seorang mahasiswa. Sementara para dosen, di satu sisi, ingin—atau bahkan selalu, mengimingkan mata kuliah di bawah ampuannya itu dapat diperhatikan dan dipenuhi secara excellently. Dalam situasi demikian, ada sementara dosen yang memiliki karakter atau berpenampilan cukup tegas. Hal ini biasanya terlihat dari tata caranya mengajar dan dalam memberikan tugas. Pada  konteks kedua, ketika mahasiswa diberikannya suatu tugas, katakanlah tugas makalah atau artikel penelitian, mereka biasanya tidak diperkenankan mengumpulkan tugas tersebut sebelum membawakan bukti rujukan sesuai dengan yang tertera di daftar pustaka. Type demikian biasanya diterapkan oleh dosen-dosen yang berpose kritis, kalau di STAI Darul Kamal khususnya di prodi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir (IAT), layaknya–menurut saya–seperti Dr. Syamsul Wathani. Beliau unik, memang! Dan beliau termasuk dosen yang bukan hanya kerap kali dijuluki kawan-kawan IAT sebagai The Killer of The Books, melainkan juga The Killer of Edicate. Kesan yang kedua ini memang lumrah mewacana di kalangan mahasiswa IAT; saya yakin itu!

Pada bulan November 2019 yang lalu, saya masih ingat kala itu di semester III, pernah mengikuti mata kuliah tafsir di bawah bimbingan beliau; sebuah mata kuliah yang saat itu terasa cukup muskil dan menguras tenaga. Berat yang saya maksud disini bukan diartikan sebagai konsekuensi logis pembelajaran ‘tafsir’nya, bukan juga memenati otak untuk menemukan reasonable kajiannya; melainkan muskilnya itu pada, merubah entitas moral pada diri saya yang kusam dari prinsip-prinsip keilmuan, menuju entitas akademistik yang terus berproses secara kontinyu (progress of knowledge), sebagaimana yang diekspektasikan Dr. Syamsul dalam tiap-tiap bait ocehannya di kelas. Saya, atau bahkan kawan-kawan, betapapun kerap mengabaikan siraman kritisnya saat itu, sebetulnya kami melek;  melek bahwa beliau sedang marah! Tapi ya mau gimana lagi, ‘Konang ndek ton na luk’ (kata orang Kembang Kerang). Hehe,, Just Kidding.. akin-akin dan bain-bain!

Kembali ke konteks. Dalam kesempatan yang diheningkan amarah itu, beliau menyampaikan sebuah pesan dan berkata, jangan pernah memanjakan otak kalian untuk berpikir, kerjakan semua tugas kalian dengan tanpa menilainya sebagai beban, pandanglah dia sebagai sebuah hobi; maka kalian akan semangat dan optimis menyelesaikannya. Ghirah belajar seseorang tidak akan pernah digapai hanya karena memikirkan kebercucuran keringat orang tua di rumah; sementara kepala kalian hanya tersungkur melambai di atas bantal sambil menikmati delusi. Kesuksesan itu dikejar dengan usaha dan kemauan, serta bergerak optimis menggapainya dengan rajin membaca, belajar dan mengerjakan tugas. Pendidikan itu memang persoalan birokrasi, tetapi ilmu adalah esensi! Ujar beliau.

Kemudian menjelang berakhir jam pembelajaran, beliau berpesan lagi, “Jadilah kalian seperti emas; tersempal di manapun, akan selalu dicari orang. Kemana dan dimana pun kalian hidup, senantiasa akan dibutuhkan, diharapkan, ditokohkan dan dihargai orang lain. Maka jika ingin menjadi emas, satu-satunya jalan adalah belajar, belajar dan belajar. Hargai dosen kalian dengan rajin mengikuti perkuliahan dan mengerjakan tugas.”

Demikian kenangan tiga tahun yang lalu yang cukup berharga dan mengesankan pada diri saya dan kawan-kawan. Namun sebetulnya—sebagai penutup catatan singkat ini, kesan-kesan yang sama dalam waktu yang berbeda juga banyak saya dapatkan dari dosen-dosen lainnya, baik dari yang type moderat seperti Pak Prof. Lukman (alm), Pak Yunus, Pak Tarmizi, Pak Faizin, Pak Yusri dll., hingga yang bertype cukup radikal, seperti Pak Abdu, Ibu Asiyah dst. Meski catatan singkat ini belum dan atau bahkan tidak dapat mewadahi pesan-pesan mereka semua, namun yang terpenting ialah bahwa jasa-jasa mereka semua luar biasa. Kesabaran mereka juga cukup besar. Mereka adalah orang-orang terbaik. Karenanya, masa dan waktu pun akan Kutuntut jika hendak atau mencoba menghilangkan, walau secuil, dari ingatan ini tentang mereka!