![KLAIM KEBISUAN TEKS AL-QUR’AN [Kritik Atas Pembacaan Atomistik Kalam Tuhan]](https://aliflam.staidk.ac.id/wp-content/uploads/2022/01/1917183AlquranTertua061437653811-previewp.jpg)
KLAIM KEBISUAN TEKS AL-QUR’AN [Kritik Atas Pembacaan Atomistik Kalam Tuhan]
Muhammad Syafirin, STAI Darul Kamal NW Kembang Kerang
Tidak dapat disangkal bahwa al-Qur’an merupakan salah satu kitab yang paling sering dibaca dalam sepanjang sejarah umat manusia. Dikarenakan umat Islam dalam berbagai ritus keagamaan maupun aktifitasnya selalu membaca ayat-ayat al-Qur’an, sekurang-kurangnya membaca basmalah atau surah al-Fatihah.
Meski ayat-ayat al-Qur’an paling sering dibaca, namun pesan-pesan yang tersampaikan belum pasti menuai hasil maksimal sebagaimana yang dikehendaki al-Qur’an itu sendiri. Hal ini tidak terlepas dari polaritas dialogis antara al-Qur’an dan audience yang membacanya.
Di kalangan umat Islam sendiri, al-Qur’an terkesan sebagai kitab suci yang—seolah-olah—berwajah ganda. Di satu sisi Ia sebagai teks yang bersifat pluralis dengan mengusung perdamaian, namun di sisi yang lain, ia bersifat sentrifugal yang menjadi kekuatan daya pemecah-belah. Benarkah demikian? Jawaban saya bisa iya, bisa pula tidak. Kalau kita kembali melihat sejarah ribuan tahun silam saat diturunkannya al-Qur’an, kita mendapati bahwa al-Qur’an mewujud sebagai ‘ruh’, ‘nyawa’ dan nafas segar yang membawa kedamaian, membina spiritual serta mengatasi degradasi moral kemanusiaan. Al-Qur’an pun menyatakan dengan tegas bahwa pesan-pesan ajarannya merupakan ‘raẖmatan lil ‘âlamîn’ (QS. al-Anbiyâ [21]: 10). Tetapi jika kita melihat eksistensi al-Qur’an pasca periode Nabi saw., kita bisa berkata bahwa betapa al-Qur’an bukan lagi berperan menjadi kekuatan daya penyatu (sentipetal), melainkan sebaliknya. Beberapa peristiwa kelam di masa lalu yang memilukan hati, terutama berbagai konflik yang terjadi di kalangan internal umat Islam sendiri, membuktikan bahwa al-Qur’an bagaikan entitas yang kusam, gersang dan bisu, ia hanya sebagai alat justifikasi dan motif identitas kelompok sektarian saat itu.
Pada masa Nabi, umat Islam adalah satu, dan al-Qur’an mengklaimnya dengan konsep komunitas tunggal “ummatan wâẖidah” (QS. al-Anbiyâ’[21]: 92, QS. al-Mu’minūn [23]: 52). Pada masa itu, terlihat dengan begitu jelas kekompakan kaum muslimin dalam berbagai dimensi, seperti dalam hal mendakwahkan ajaran Islam, berta’âwun dan amar ma’ruf nahi munkar. Lantas mengapa al-Qur’an mengalami kebisuan pasca Nabi? Mengapa al-Qur’an tidak menggugat saat dirinya diperalat untuk kepentingan duniawi saat itu? Dan pada saat al-Qur’an dipahami sebagai dalil kehalalan darah Sayyidina Ali dan Mu’awiyah, mengapa al-Qur’an hanya terdiam dan tidak merespon apa-apa?? Bukankah misi utama al-Qur’an adalah persatuan, dan kedamaian serta keadilan?
Dalam studi kajian ketimuran yang dilakukan oleh para orientalis, mereka tidak segan-segan menyerang al-Qur’an dengan berbagai upaya. Kesimpulan yang mereka dapatkan dari kajian-kajian yang mereka lakukan adalah bahwa al-Qur’an merupakan teks mati yang dipaksa hidup (oleh umat Islam) untuk berperan sebagai kitab suci mereka. Kenapa demikian? Salah satu dedengkot orientalis, Theodor Noldeke, mengatakan, al-Qur’an itu sebenarnya merupakan ajaran plagiasi atas ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab Yahudi dan Nasrani, dikarenakan semua pesan-pesan yang terkandung dalam al-Qur’an sudah ada dalam kitab sebelumnya. Malah apa yang tercantum dalam al-Qur’an itu belumlah sempurna jika dibandingkan dengan apa yang terdapat dalam Taurat dan Bibel.
Pendapat lainnya diungkapkan oleh seorang tokoh pendiri Yahudi Liberal di Jerman, Abraham Geiger, dalam sebuah kompetisi di Universitas Bonn tahun 1832, ia menulis esai berjudul: Was Has Muhammed aus dem Jdenthume aufgenomment? ‘Apa yang Telah Muhammad Pinjam dari Yahudi?’, dalam tulisan itu Geiger tegas menyatakan bahwa al-Qur’an telah banyak dipengaruhi oleh bahasa asing (Yahudi), terbukti dari kosakata Ibrani yang cukup banyak diadopsi oleh Al-Qur’an, seperti: Tabut, Taurat, Jannah, Jahannam, Akhbar, Thagut, Ma’un, Malaikat, dan sebagainya.
Kemudian dalam esai yang lain, ditulis oleh Alphonse Mingana pada tahun 1927. Seorang pendeta asal Irak ini bependapat bahwa ada 100% bahasa asing yang mempengaruhi Al-Qur’an, 5% mewakili Ethiopia, 5% Persia, 10% Ibrani, 10% bahasa Yunani-Romawi dan 70% Syiriak. Ia membuktikan bahwa ada enam perkara pengaruh Syiriak yang ada dalam Al-Qur’an. Pertama, berkaitan dengan nama-nama tokoh, seperti Sulaiman, Ishaq, Ya’kub, Ismail, Nuh, Zakaria dan Maryam; kedua, berkenaan dengan istilah-istilah religi sepeti Qishshis, Dîn, Kāhin, Masîẖ, Thāgût, Rabbāni, Qurban, Malakût, Jannah, Malak, Ruh al-Quddus dan lainnya; ketiga, kata-kata yang umum seperti Qur’an, Muhaimin, Husban, Nun, Thûr, Bariyyah, Misk, Muqalid dan lain-lain; keempat, hal-hal yang berkenaan dengan otografi pengkhianatan terhadap pengaruh Syiriak; kelima, konstruksi kalimat-kalimat sebagaimana yang terdapat dalam beberapa ayat al-Qur’an; keenam, sejarah-sejarah asing yang terdapat dalam al-Qur’an seperti legenda Dzulqarnain (Alexander The Great), Nashara, Hanif, Majusi, dan Rum.
Berdasarkan atas hipokritisasi (sebagian) kaum muslimin serta tuduhan miring para orientalis terhadap al-Qur’an di atas, penulis ingin mengajak kita semua untuk berpikir dan merenung. Mengapa al-Qur’an diperlakukan sedemikian brutal? Seolah-olah penyematan al-Qur’an sebagai ‘wahyu Tuhan’ itu dikesampingkan dan dilupakan begitu saja. Dan terlihat jelas bahwa mereka menjadikan al-Qur’an itu sebagai teks bisu yang selalu manut begitu saja terhadap apa yang mereka inginkan.
Baiklah, pada kesempatan ini, penulis ingin menjawab kekeliruan-kekeliruan di atas dengan membuktikan eksistensi al-Qur’an yang hidup, yang memiliki ruh dan senantiasa berinteraksi dan berdialog dengan manusia. Mari kita lihat ayat pertama yang diwahyukan kepada Nabi saw. di Gua Hiro’, yakni “Iqra’ bismi rabbikalladzi khalaq” (QS. al-‘Alaq [96]: 1). Ayat ini didahului dengan kata ‘Iqra’’ (bacalah..!), ini mengisyaratkan bahwa manusia diharapkan untuk memperluaskan bacaannya terutama terhadap al-Qur’an. Kata ‘membaca’ memiliki arti yang luas. Para ulama menyebutkan beragam maknanya, antara lain: ‘mempelajari’, ‘meneliti’, ‘bereksperimen’, ‘berkarya’ dan lain-lain. Namun, perintah-Nya bukan hanya sampai disana, terdapat kalimat yang menyertainya, yakni “Bismi rabbikalladzi khalaq” ‘Dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan’. Ini berarti bahwa untuk mengetahui hakikat al-Qur’an tidak cukup hanya dengan membaca saja, tetapi pengakuan atau keimanan kepada Allah adalah hal yang paling urgen. Keimanan akan melahirkan ketakwaan, dan dengan ketakwaanlah seseorang akan merasakan betapa hebatnya al-Qur’an dengan pesan-pesan sakralnya.
al-Qur’an juga mengajukan pembelaan terhadap dirinya atas praduga atau tuduhan orang-orang kafir dan orang yang munafik. Dalam QS. Al-Baqarah [2]: 2, dinyatakan, “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi orang bertakwa (muttaqin)”. Pada ayat ini terdapat sekurang-kurangnya ada dua problema penting, yaitu pertama, masalah perbedaan antara keimanan dan keraguan serta penolakan terhadap kitab suci; kedua, konsistensi dan ke-eksistensi-an wahyu Tuhan sebagai petunjuk bagi orang-orang yang beriman.
Problem pertama pada ayat di atas adalah menepis keraguan orang-orang kafir dan munafik, ‘Lâ raibafîh’. Keraguan merupakan bagian dari kehendak bebas, sehingga kelompok-kelompok orientalis sebagaimana yang disebutkan di atas, mereka sebetulnya berangkat dari sebuah keragu-raguan dalam membaca dan memahami teks al-Qur’an. Walaupun pada akhirnya mereka menemukan hipotesa kebenaran al-Qur’an, toh juga mereka akan berusaha menolak dan menyembunyikannya.
Kemudian pada problema yang kedua, al-Qur’an menyatakan kekonsistensiannya sebagai wahyu Tuhan yang memberikan petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Takwa tidak akan dapat diraih kecuali dengan modal iman. Sedangkan konsekuensi keimanan adalah menerima segala petunjuk dari Tuhan, yang mesti diterjemahkan dalam segala aspek perbuatan. Makanya orang yang tidak beriman akan sulit mengerti tentang konsep takwa. Tidak seperti mereka yang beriman. Takwa menjadi premis dasar yang paling konkrit dalam menjalani kehidupan. Ziauddin Sardar dalam bukunya Reading The Qur’an menafsirkan kata takwa dengan cukup stimulatif, ia mengatakan bahwa takwa adalah ingat kepada Allah, dan kesadaran mengenai sebuah kepastian, hakikat, dan keberadaan-Nya yang dialami secara intelektual, spiritual, maupun emosional.
Kelihatannya penafsiran Sardar di atas cukup meransang batin kita untuk meletakkan takwa dalam memandang dan membaca teks al-Qur’an sebagai kitab suci. Karena penyebab utama umat Islam terpecah belah dan kerap memicu peperangan antar sesama muslim adalah mereka menjadi manusia yang sama kerdilnya dengan orang-orang munafik (hipokritis) yang mengubah universalitas dan kontinuitas pesan al-Qur’an menjadi identitas yang eksklusif dan sempit. Tidak sedikit di kalangan umat Islam sendiri membaca kitab suci mereka secara atomistik dan parsial-monolitik, sehingga wajar saja apabila sebagian umat Islam ada yang menjadi radikal dan menjadikan al-Qur’an sebagai justifikasi kebenaran mazhab-mazhab mereka. Tidak sedikit pula sekte yang satu dengan sekte lainnya saling mengkafirkan dengan dalih agama. Padalah al-Qur’an tidaklah menghendaki demikian. Dan penulis menganggap, mereka-mereka ini, sesungguhnya telah meng-korupsikan ayat-ayat al-Qur’an demi kepentingan sekte mereka.
Dalam buku The Qur’an; a Shot Introduction yang ditulis oleh seorang sarjana muslim asal Afrika Selatan, Farid Esack, ia mencoba mengilustrasikan wujud al-Qur’an dengan cukup unik. Baginya al-Qur’an itu hidup dan seakan-akan mempunyai jiwa dan karakter layaknya manusia. Ia terinspirasi dari salah seorang sahabatnya di India yang tidak mau berganti pakaian di kamar tidurnya demi menghormati al-Qur’an yang ditaruh di rak paling atas di kamar tersebut. Perilaku semacam ini berangkat dari keyakinan bahwa al-Qur’an selalu mengawasi gerak-gerik manusia, dan dia akan memberi persaksian di hadapan Tuhan pada hari kiamat nanti.
Lanjut Esack. Alasan bahwa al-Qur’an memiliki wujud dan karakter seperti manusia dapat dilihat dari pola kemunculannya yang menggambarkan pertemuan dua unsur, yaitu antara eksistensi manusia dengan transendensi wahyu Tuhan. Itulah sebabnya mengapa al-Qur’an layaknya bagaikan manusia, dibekali perasaan, emosional bahkan kekuatan. Dan kekuatan al-Qur’an bersifat transfaransi, terbukti dari tradisi umat muslim yang tidak jarang menggunakan ayat-ayat al-Qur’an sebagai jimatnya agar terhindar dari gangguan makhluk halus atau mara bahaya yang mencekam, serta menjadi obat (mantra) penyembuh dari berbagai penyakit. Bahkan hingga kini, tradisi semacam ini masih banyak dipegang oleh umat muslim di seluruh dunia.
Dari pernyataan Esack di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa tidaklah benar bila dikatakan al-Qur’an itu adalah teks yang kusam dan wahyu yang bisu. Al-Qur’an adalah firman Tuhan yang senantiasa berinteraksi dengan kita, tiada nafas dan haluan pikir yang keluar dari diri kita yang tidak diawasi al-Qur’an. Al-Qur’an selalu berbicara, bahkan melebihi pembicaraan manusia. Namun sayangnya, suara Al-Qur’an hanya akan mampu didengar oleh mereka yang memiliki keimanan dan ketakwaan. Kecuali di hari pembalasan kelak, ia akan tampil sebagai saksi dan diperdengarkan di hadapan seluruk makhluk.
Sebagai penutup atas kritik ini, penulis ingin menampilkan sebuah refleksi kekuatan al-Qur’an yang dinyatakan dalam QS. Al-Hasyr [59]: 21 “Seandainya Kami menurunkan Al-Qur’an pada sebuah gunung, pastilah kamu akan melihatnya tunduk terpecah-belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir”.
Semoga bermanfaat..!