IKHTIAR
Minggu, 26 September 2021
Tepat jam 7.30 Am aku pergi membawa ayah ke rumah sakit, sesuai dengan perawat tadi malam, namun sayangnya sesampai kami di sana belum ada yang datang, ruang administrasi nampak sepi tidak ada yang menjaga sama sekali. Akupun mengambil posisi duduk di bangku depan UGD, sementara ayahku berdiri disampingku, beliau tidak berani duduk karena itu akan membuat beliau akan lebih merasakan sakit.
Beberapa saat kemudian bapak kadus dateng dan menghampiri kami, beliaupun ikut duduk di korsi kosong sebelahku. Sudah lama kami menunggu tapi belum juga ada orang yang datang, kamipun berusaha untuk bersabar. Melihat ayah yang terus berdiri aku sangat tidak tega sekali, lalu aku tawarkan beliau untuk duduk “Ayah,,, ayo duduk sini, kenapa ayah berdiri terus” (sambil menatap wajah ayah), “tidak anakku, ayah berdiri aja, ayah tidak bisa duduk, ini akan membuat ayah lebih sakit” (menjelaskanku sambil menahan rasa sakit), kebetulan kursi ini juga terbuat dari kayu, jadi tidak mungkin ayah akan mendudukinya, karena itu sangat keras sekali”.
Kembali air mata ini mengunang di pelupuk mataku, aku mencoba untuk menahannya agar tidak tumpah, karena aku tidak mau ayah melihatku untuk mengais lagi. Mana mungkin hati ini tidak teriris melihat kondisi beliau, berjam-jam beliau menahan rasa sakit, nampak sekali di wajah beliau kerutan yang menandakan betapa ganasnya penyakit itu menyerang beliau.
Hampir 2 jam kami menunguu, tapi tidak ada orangpun yang datang, jadi bapak kadus mencoba menghubungi perawat kenalan beliau. Dari perawat itu beliau mendapat imformasi bahwa dokter yang akan menangani ayah tidak akan datang hari ini, karena ini juga bertepatan hari minggu, dimana jadwal dokter itu libur, dengan terpaksa dan rasa kecewa kamipun pulang. Dan kami disuruh untuk datang besok lagi.
Akupun membawa ayah pulang, dengan sangat pelan dan hati-hati aku jalankan motorku, supaya ayah tidak terlalu merasakan kesakitan, aku sudah janji pada diriku untuk merawat ayah semaksimal mungkin, jadi mulai hari ini aku putuskan untuk izin di sekolah untuk tidak bekerja, karena aku mau fokus untuk merawat ayahku.
Sabar wahai “Bulan Purnamaku” engkau akan lebih lama lagi untuk menahan rasa sakit ini, (kataku di dalam hatiku), semua ini sudah Allah atur, pasti ada hikmah di balik semua ini, yang penting kita sudah ikhtiar, yang bisa menyembuhkan hanya dia semata. Tidak ada katapun yang terucap di antara kami, aku hanya diam sambil menahan kesedihan, dan berusaha fokus mengendarai motorku, sesekali aku perhatikan ayahku yang duduk di belakangku lewat kaca spionku dan nampak ayahku sedang menahan rasa sakit yang diderita.