Mengenal Al-Baidlawi: Mufasir Ulung Sang Jalalain-Nya Eropa
11 mins read

Mengenal Al-Baidlawi: Mufasir Ulung Sang Jalalain-Nya Eropa

Muhammad Syafirin, 29 April 2021

Siapa Al-Baidlawi?

Mendengar kata ‘al-Baidlawi’ tentunya tidak asing lagi di telinga kita. Terlebih lagi orang yang bergelut dalam ranah studi al-Qur’an dan tafsir. Kata ‘al-Baidlawi’ sebetulnya bukanlah nama. Melainkan sebuah sematan (nisbah) kepada seorang mufasir ulung abad 5 H. bernama, Nashruddin Abul Khayr Abdullah bin Umar bin Muhammad bin Ali al-Baidlawi al-Syafi’i. Penisbahan ‘al-Baidlawi’ diambil dari nama suatu daerah di dekat kota Syiraz di Iran Selatan, bernama ‘Baidla’. Di daerah inilah beliau lahir, tumbuh dan berkembang sebagai pegiat ilmu pengetahuan. Beliau juga pernah menetap dan menjalani studi di Baghdad hingga, betul-betul menjadi seorang ‘alim lagi faqih (ahli dalam bidang fiqih). Keluasan serta keluwesan ilmu yang dimilikinya menjadikan al-Baidlawi mendapatkan jubah kehormatan diangkat menjadi hakim agung (Qadi al-Qudat) di Syiraz; sebagaimana yang telah diemban ayahnya dulu.

Selain terkenal sebagai mufasir lagi faqih, al-Baidlawi juga merupakan seorang teolog, lughawy, ushuly, al-nahwy, bahkan manthiqy serta banyak lagi keahilian lainnya. Saya, dan bahkan kita semua, barangkali tak bisa mengekspresikan bagaimana kepiawaian seorang al-Baidlawi apabila tampil sebagai al-Mujâdil (ahli debat) dengan suplai keilmuan di atas. Tentunya akan mencengangkan bukan? Dan ternyata kenyataannya demikian!. Al-Baidlawi sangat prominen dalam hal itu. Beliau begitu popular dengan  kefasihan serta penguasaan materinya dan, pada saat yang sama, beliau sangat apik dalam etika berdiskusi. Sedemikian banyak perangkat dan keluasan ilmu yang dimilikinya, tidaklah heran, apabila al-Baidlawi pantas menyandang gelar al-nadlâr (sang emas) atau mutadabir fi maida fursan al-kalam pada masanya; sebagaimana tutur Haji Khalifah dalam Kasyf al-Zunun-nya.

Akar Historis Penulisan Tafsir Al-Baidlawi

Melahirkan sebuah karya tafsir merupakan aspirasi terbesar dalam hidup al-Baidlawi. Baginya ilmu tafsir itu bagaikan penghulu bagi ilmu-ilmu agama lainnya. Bukan hanya sekedar itu. Al-Baidlawi bahkan menyatakan dalam muqaddimah tafsirnya bahwa, keilmuan tafsir adalah patokan dan fondasi dasar agama (alasâs al-dîn).

Al-Baidlawi yang kala itu masih menjabat sebagai hakim agung, tidak menjadikannya produktif dalam menghasilkan karya tulis, dalam hal ini kitab tafsir. Beliau hidup di Syiraz dalam situasi politik yang tidak menentu. Supermasi hukum tengah mengidap degradasi yang serius.

Sultan Abu Bakar yang sebagai mâlik (pemimpin) Syiraz saat itu kian hari kian merosot dan rapuh. Dia tidak memiliki kekuatan yang cukup‒bahkan gagal‒dalam menciptakan tatanan masyarakatnya yang harmonis dan berkeadaban. Nurani para elite penguasa penuh dengan nafsu duniawi bercokol hedonisme nan boros. Belum lagi intervensi penguasa dalam dunia peradilan yang kian mencomot, sehingga banyak fuqaha‒termasuk al-Baidlawi‒yang menghawatirkan kemungkinan diperintah mengeluarkan fatwa yang rivalitas dengan syariat Islam. Menurut saya, hal ini yang akhirnya “menggugat” ketenangan psikologis al-Baidlawi sehingga konsekuensi logisnya dan‒setelah diwejang oleh murabbi spiritualnya, Syekh Muhammad al-Khatta’i, agar give way dari jabatan pemerintahan‒ yang kemudian menyebabkan al-Baidlawi mencopot baju kehormatan tersebut.

Usai dari pengunduran tersebut, al-Baidlawi kini melakukan rihlah ilmiah menuju Tabriz. Sebuah kota yang terletak di Iran bagian barat laut. Di kota inilah al-Baidlawi mengabdikan diri dengan ilmu pengetahuan hingga akhir hayatnya. Kota Tabriz merupakan permulaan karir gemilang plus tampuk sejarah dalam hidup sang Baidlawi. Harapan terbesarnya selama ini‒untuk menulis karya tafsir al-Qur’an‒dapat terealisasikan melalui rahim Tabriz itu.

Al-Baidlawi menuliskan karya tafsirnya atas dua alasan sentral. Alasan pertama, disebabkan urgensitas keilmuan tafsir al-Qur’an‒yang bagi al-Baidlawi‒adalah substansi dasar atas ilmu-ilmu agama lainnya, sebagaimana saya sebutkan di atas. Kemudian alasan yang kedua, hasrat terbesar al-Baidlawi untuk menorehkan a brilliant idea-nya yang‒telah dipelajari dari keilmuan para sahabat, tabi’in dan kaum salafus shalih‒kemudian menuangkannya dalam sebuah karya tafsir yang utuh.

Prosesi penulisan karya tafsir al-Baidlawi tak pernah lekang dari peranan murabbi spiritualnya, Syekh Muhammad al-Khatta’i, ulama yang memberikan saran agar al-Baidlawi menanggalkan diri dari pemerintahan. Al-Baidlawi tidak pernah menulis kitab tafsir kecuali beliau melakukan istikharah terlebih dahulu. Memohon petunjuk kepada Allah swt. agar apa yang menjadi hambatan‒dalam keinginannya menulis tafsir‒selama ini disingkapkan oleh Allah swt.

Mengenai berapa lama penulisan tafsirnya, tidak satupun‒sejauh bacaan saya yang terbatas‒dikemukakan hal demikian. Kalaupun melihat karya-karya tafsir yang muncul sebelumnya, saya rasa juga belum pernah ada penelitian yang mengungkapkan masa penulisan karya-karya tafsir dari para ulama seperti al-Thabari, Fakhruddin al-Razi, Zamakhsyari dan seterusnya. Tetapi menurut saya, merupakan kewajaran bila hal tersebut belum pernah ada. Sebab aktivitas penelitian karya tafsir atau bahkan living tafsir belum menjadi ruang tersendiri kala itu.

Kembali kepada al-Baidlawi. Setelah buku tafsirnya itu selesai disusun, barulah kemudian beliau memberikannya nama dengan, “Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl”. Dengan rampungnya penyusunan kitab ini, maka harapan dan cita-cita terbesar dalam hidup al-Baidlawi telah sukses terkabul. Pada akhirnya tiada dedaunan yang tak rontok, tiada mentari yang tak senja. Walau bagaimana pun kemasyhuran dan keluhuran yang diraih, manusia tetaplah manusia. Ia mesti hadir dan meninggalkan dunia sebagai bukti atas kesempurnaan penciptaannya. Rupanya Allah swt. merindukan al-Baidlawi untuk kembali ke persinggahan abadi dalam hadirat-Nya yang kudus. Demikian riwayat Ibnu Katsir menyatakan, Imam al-Baidlawi kembali ke hadirat-Nya pada tahun 685 H.

Kitab Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl: Bentuk & Corak Penafsiran

Menafsirkan al-Qur’an merupakan aktivitas penggalian daya tunjuk teks-teks al-Qur’an, terhadap maksud dan kehendak Allah, sesuai dengan kemampuan manusia. Itulah sebabnya tafsir al-Qur’an adalah produk pemikiran manusia yang tentunya dipengaruhi oleh sekian banyak faktor. Dalam konteks al-Baidlawi, beberapa penelitian menyebutkan bahwa beliau bukan hanya menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan syari’at, teologi, filsafat/hikmah dan bahasa, tetapi juga memuat berbagai macam qira’ah. Dalam pernyataannya sendiri, al-Baidlawi menyebut delapan imam qira’ah beserta bacaan dari qori’ lain yang diakui mu’tabar.

Karya tafsir al-Baidlawi ini begitu terkenal baik di dunia Islam maupun Barat, terutama di Eropa. Pengaruh tafsir ini di Barat dan Eropa kononnya menyamai populernya tafsir jalalain karya Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi di kalangan umat Islam. W. Montgomery Watt menyebutkan, edisi Eropa karya tafsir ini diterbitkan dalam dua jilid di Leipzig pada tahun 1846 dan 1848 yang disunting oleh H.L. Fleischer. Di Indonesia pun tafsir ini kerap dijadikan rujukan oleh penuntut ilmu di pesantren terutama yang berkaitan dengan pembentukan kata (al-Shina’iyyat al-Lafzhiyyah). Popularitasnya tidak kalah banding dengan tafsir Jalalain, bahkan kitab ini dinilai lebih mendalam dan meyakinkan (matin wa muttaqin).

Oleh karena kitab tafsir ini dimaksudkan sebagai Madrasah atau Sekolah Masjid oleh muallifnya, maka beliau menyajikannya dalam bentuk ringkasan dari karya tafsir terbaik sebelumnya, seperti al-Kasysyâf karya Zamakhsyari dan Mafâtih al-Ghaîb karya Fakhruddin al-Razi dan tafsir karya al-Raghib al-Ashfahani. Kitab tafsir al-Baidlawi termasuk dalam pola penafsiran yang memadukan antara tafsir bi al-Ma’tsur dan bi al-Ra’yi. Tetapi sumber periwayatan (al-Ma’tsur) dalam tafsir ini, sebetulnya, hanya dijadikan sebagai legitimate untuk mendukung penafsiran al-Baidlawi yang berbingkai ‘ijtihadi’ (bi al-Ra’yi) itu.

Sementara ittijah (kecenderungan) yang terdapat dalam tafsir ini adalah teologis (ittijah i’tiqadi), yaitu tipologi penafsiran yang didominasi oleh persoalan aqidah. Al-Baidlawi yang notabene nya penganut teologi Asy’ariyah seringkali memerankan diri menjadi mutakallimin (teolog) daripada fuqaha’. Biasanya penafsiran seperti ini tampil untuk mengkritik paham-paham yang berseberangan dengan pemahamannya sendiri, khususnya Mu’tazilah dan Khawarij. Selain itu, al-Baidlawi juga memberikan porsi yang tidak sempit terhadap aspek kebahasaan, sehingga pada saat yang sama, penafsirannya bukan hanya berkutat pada persoalan teologis semata, melainkan signifikansi kebahasaan juga menjadi hal yang dominan. Oleh karenanya, tafsir al-Baidlawi juga memiliki kecenderungan lughawi.

Metode Penafsiran dalam Tafsir Al-Baidlawi

Pada akhir abad 5 H. kota Tabriz telah memasuki era yang berkemajuan. Jane Smith menyebutkan bahwa sistem sekolastik saat itu telah menampakkan eksistensinya. Para sarjanawan dan pelajar pada umumnya telah dapat mengadopsi materi pembelajaran dengan sangat mudah. Mereka mampu mengakses pemikiran para cendekiawan melalui karyanya lansung, bahkan juga dapat mengutipnya secara verbal.

Seperti pada umumnya, penulisan Tafsir Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl oleh al-Baidlawi mengikuti metode penafsiran yang berkembang saat itu; yakni menafsirkan al-Qur’an menggunakan metode tahlili (analitis) sesuai dengan tartib rasm ‘utsmani, dari ayat ke ayat dan dari surat ke surat dimulai dari surat al-Fatihah hingga an-nas. Dalam menafsirkan al-Qur’an, al-Baidlawi menjadikan ayat al-Qur’an, hadis Nabi saw., qaul sahabat dan tabi’in serta pandangan para ulama sebelumnya, sebagai khazanah dan sumber penafsirannya. Aspek lughawi serta  qiro’at juga menjadi bagian urgen (menu utama) untuk men-sharih-kan analisis dan penafsirannya.

Tidak jarang pula al-Baidlawi mengutip kisah-kisah Israiliyat dari berbagai kitab tafsir sebelumnya, tetapi hal ini dilakukannya secara selektif. Dalam pengutipan tersebut, beliau menyebutkannya dengan menggunakan istilah “ruwiya” (diriwayatkan) atau “qila” (dikatakan). Penggunaan kedua istilah ini biasanya dimaksudkan untuk menerangkan kelemahan kualitas atas kisah-kisah israiliyat tersebut.

Dalam mengoperasikan penafsirannya, langkah pertama yang dilakukan al-Baidlawi adalah menjelaskan tempat turunnya ayat (Makki atau madani) dan jumlah ayat dari surah yang ditafsirkan tersebut. Setelah itu, beliau menjelaskan makna ayat satu persatu baik dengan menggunakan analisis lughawi, hadis maupun qiraat. Menjelang akhir setiap surat, beliau menyertakan hadis-hadis yang menjelaskan tentang keutamaan surat yang baru saja ditafsirkannya.

Pendekatan lughawi menjadi hal sangat urgen dalam setiap penafsiran al-Baidlawi. Dalam hal ini, beliau menjelaskan makna kata-kata atau istilah yang kurang jelas, menjelaskan relasi satu kata dengan kata lainnya, dan terkadang menjelaskan kedudukan kata dalam struktur kalimat.

Menafsirkan al-Qur’an dengan menghubungkannya dengan ayat lain (munâsabat al-âyat) juga merupakan bagian yang tidak kalah penting dalam karya tafsir al-Baidlawi. Metode ini dilakukan dengan cara menghubungkan kata dalam ayat yang sedang ditafsirkan dengan ayat lain dalam surat yang sama, atau mencari makna kandungan ayat yang sedang ditafsirkan dengan melihat ayat atau surat lain dari al-Qur’an.

Adapun dalam hal qira’at, al-Baidlawi tidak hanya menggunakan qira’at sab’ah (tujuh qira’at) yang kerap dianggap sebagai qira’at al-masyhurah, seperti bacaan al-Qur’an yang disandarkan kepada tujuh imam: Ibnu Amir, Ibnu Katsir, ‘Ashim, Abu ‘Amr, Hamzah, Nafi’ dan al-Kisa’i. Di samping menambahkannya juga dengan bacaan yang diperkenalkan oleh tokoh-tokoh qira’at lainnya, seperti Ya’qub al-Hadlrami, Abu Bakar dan sebagainya.

Mengenai contoh penafsiran yang dilakukan al-Baidlawi, saya tidak berniat untuk menjadikannya sub tema dalam ruangan ini. Dan alangkah baiknya pembaca bisa melihat lansung dalam “Tafsir Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl” karya Imam al-Baidlawi. Sekian terima kasih….! Wallohu A’lam..!

Sumber Bacaan:

Abdullah Mustaqim. “Ruh al-Ma’ani” dalam Studi Kitab Tafsir. Jogjakarta: Teras, 2004.

Andrew Rippin, “Baidawi”, The Encylopedia of Religion, Vol. II, New York: Macmillan Publishing Company, 1986.

Fakhruddin Faiz, Hermenetika Qur’ani; Antara Teks, Kontek, dan Kontekstualisasi, Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002.

Izzah Faizah, “Al-Qur’an dan tafsir dalam Sejarah Sejak Klasik Hingga Modern dan Kontemporer”, dalam Teks, Jurnal Program Pascasarjana, IAIN Sunan Gunung Jati, bandung, Vol. I, Maret, 2002.

Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz II, t.k: Dar al-Fikr, t.t.

  1. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1997.

Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an, cet I, terj. Khairon Nahdliyyin, Yogyakarta: LkiS, 2001.

Yusuf Rahman, “Unsur Hermeneutika dalam Tafsir al-Baidlawi” Ulumul Qur’an, Vo. VII, No. 3, Jakarta, 1997.

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *