EKSISTENSI PUASA DAN GERBANG MEMAHAMI RAMADHAN
6 mins read

EKSISTENSI PUASA DAN GERBANG MEMAHAMI RAMADHAN

Syafirin Muhammad, Kamis 10 Ramadhan 1442 H.

Bulan Ramadhan merupakan moment utama sekaligus instrumen (manhaj) tarbiyah bagi umat Islam dalam meraup sejuta rahmat dan kebaikan. Bulan Ramadhan juga kerapkali disebut sebagai bulan adiluhung, karena dalam historitasnya, bulan ini banyak diwarnai dengan peristiwa sakral yang tidak pernah terjadi pada bulan-bulan lainnya. Bahkan, al-Qur’an sendiri menyebutkan bahwa pada bulan tersebut terdapat sebuah malam yang bobotnya melebihi kualitas dari seribu bulan (QS. [97]:3). Hal ini tentunya menjadikan Ramadhan patut dikatakan sebagai ‘king of the moon’ (Sayyid asy-Syuhûr); mengingat setiap aspek ‘ubudiyah yang terkandung di dalamnya menjanjikan peluang bagi setiap mukmin untuk meningkatkan dan memaksimalkan kualitas spiritualnya sebagai bekal menghadapi sebelas bulan berikutnya.

Bulan Ramadhan sebagai ‘penghulu bulan’ (Sayyid asy-Syuhûr) juga memiliki sekian banyak nama. Jika dalam sebuah kaidah dikatakan, Katsratul asmā’ dālatun ‘alā syarafil musammā, “banyaknya sebutan menunjukkan kemuliaan atas sesuatu yang diberi nama”. Maka ini menunjukkan pula bukti keagungan Ramadhan. Sebagaimana Allah swt. Yang Maha Agung memiliki‒tidak kurang dari‒99 nama-nama indah (Asmâ’ al-Husnâ) yang diabadikan dalam al-Qur’an sebagai bukti JalaliyahNya.

Mengenai sejumlah nama-nama bulan Ramadhan, penulis temukan keterangannya dalam kitab Ittihāf al-Anām bi Ahkāmi al-Shiyām; karya salah seorang pakar hadits asal Hadramaut, Dr. Zain bin Muhammad bin Husein Al-Idrus Bāa’lawi. Dalam penelitiannya, ia menemukan sekitar 17 nama-nama bulan Ramadhan yang tersurat dalam Nash al-Qur’an dan Hadits. Di antara nama-nama tersebut adalah ‘Syahru al-Qur’ān’ (bulan al-Qur’an); ‘Syahru Ash-Shiyām’ (bulan puasa); ‘Syahrul Qiyām’ (bulan didirikannya shalat); ‘Syahru al-Du’ā (bulan do’a); ‘Syahru al-Rahmah’ (bulan rahmat); ‘Syahru al-Maghfirah’ (bulan ampunan); ‘Syahru ash-Shabr’ (bulan kesabaran); ‘Syahru al-Shadaqah’ (bulan sedekah); ‘Syahru al-Rizq’ (bulan rezeki); ‘Syahrul Muwāsāt’ (bulan pertolongan); ‘Syahrul Jihād’ (bulan jihad); ‘Syahru al-Barakah’ (bulan keberkahan); ‘Syahru al-Masājid’ (bulan masjid-masjid);  ‘Syahru Asy-Syuhûr’ (penghulunya bulan-bulan lain); ‘Syahrul Hajj ma’a Rasulillah saw.’ (bulan berhaji bersama Rasulullah);  ‘Syahru al-‘Ibādah’ (bulan ibadah); ‘Syahru al-Khair’ (bulan kebaikan).

Banyaknya nama-nama di atas menandakan bahwa bulan Ramadhan memiliki urgensi dan hikmah terbesar (Hikmah al-Muta’âliyah) bagi seluruh umat Islam. Oleh karenanya, pensyariatan berpuasa merupakan  ‘kemestian absolut’ bagi setiap muslim yang mukallaf. Dasar perintah ini terdapat dalam ayat pertama dari rangkaian āyatush shiyām; yaitu QS. [2]: 183. Atabik Luthfi dalam Tafsir Tazkiyahnya menyatakan, bahwa ayat ini berbicara tentang tiga hal; pertama, objek pentaklifan puasa, yakni setiap muslim yang telah meraih iman; kedua, sejarah historis puasa yang disyari’atkan semenjak masa pra Islam; ketiga, tujuan (destinasi) berpuasa, yaitu menggapai maqam ketakwaan yang merupakan titik klimaks sebagai seorang muslim di hadapan Allah swt.

Jika mengacu pada pandangan Yusuf al-Qaradhawi dalam karyanya, ‘Madkhal Li Dirâsah Al-Syarî’ah Al-Islâmiyah’, yang menetapkan semua agama samawi memiliki hakikat pertalian yang satu secara ushul (pokok-pokok agama) dan aqidah (sistem kepercayaan), maka tidak dapat disangkal bahwa syariat puasa merupakan syariat kolektif seluruh agama samawi. Maka ketiga poin yang disebutkan Atabik Luthfi di atas mengeneralisasi semua kategori pemeluk agama samawi dalam hal pensyariatan puasa.

Pandangan al-Qaradhawi ini sejalan dengan pernyataan Syekh Mutawalli al-Sya’rawi (1911-1998); seorang Syaikh al-Akbar di al-Azhar Mesir dan merupakan mufasir terkemuka di dunia abad 21. Menurut al-Sya’rawi, apabila syariat puasa dilihat dalam konteks pembinaan (tarbiyah) umat, maka ia telah lama bereksistensi sebagai ‘ar-Rukn at-Ta’abbudi’ (pondasi peribadatan) umat beragama semenjak masa pra Islam. Pendapat serupa terdapat juga dalam Tafsir Marâh Labîd karya Syekh Nawawi al-Bantani. Dalam keterangannya, beliau menafsirkan kata ‘min qoblikum’ pada QS. [2]: 183; dengan para nabi-nabi terdahulu serta umat-umat dari zaman Adam a.s. Kemudian dalam al-Tafsîr al-Wasîth, Syekh Wahbah az-Zuhaili, juga menyebut ibadah puasa dengan ‘syariat kuno’. Yang diistilahkan Muhammad Asad dalam The Message-nya dengan, praktik ‘ubudiyah yang telah dijalankan banyak orang dalam sejarah religius umat manusia.

Untuk menemukan common platformnya, maka kita harus melihat persamaan praktik (ta’abbud) dan tujuan (maqâshid) ibadah puasa dalam semua agama samawi. Al-Thabari pernah meriwayatkan tentang syariat puasa Ramadhan yang diwajibkan bagi kaum Nasrani selama 30 hari. Demikian juga kaum Yahudi juga berpuasa pada Yom Kippur “Hari Tobat”. Yang merupakan salah satu hari tersuci dalam tradisi Yahudi. Sedangkan di kalangan umat Islam‒mengenai akar historis puasa Ramadhan‒ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama terutama Imam al-Qurthubi dan kalangan ulama Hanafiyah berpendapat, bahwa puasa yang pertama kali diwajibkan bagi kaum muslim adalah puasa tiga hari setiap bulan dan puasa Asyura. Yang kemudian syariat ini dinasakh setelah turun perintah puasa Ramadhan. Kendati demikian, jumhur ulama bersepakat, tidak ada kewajiban berpuasa sebelum datangnya Ramadhan berdasarkan hadis Nabi, “Barangsiapa yang ingin berpuasa (pada hari Asyura) berpuasalah, dan barangsiapa yang hendak berbuka, berbukalah.” (Bukhari/1862).

Terlepas dari aneka ragam aksentuasi peribadatan di atas, seluruh agama-agama samawi memiliki tujuan (maqâshid) yang sama dalam menjalani puasa Ramadhan. Terutama dalam konteks pembinaan dan perbaikan umat. Baik dari aspek spiritual maupun moralitas.

Wallohu A’lam… InsyaAllah bersambung…!

Referensi Bacaan:

Al-Bantani, Muhammad An-Nawawi, al-Tafsîr al-Munîr li Ma’âlim al-Tanzîl: Marâh Labîd, jilid I (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011)

Al-Qaradhawi, Yusuf, Membumikan Islam: Keluasan dan Keluwesan Syariat Islam untuk Manusia, (Bandung: Mizan Pustaka, 2018)

Asad, Muhammad, The Message of the Qur’an, jilid I (Bandung: Mizan Pustaka, 2017)

Ash-Shabuni, Muhammad Ali, Rawâi’ul Bayân Tafsîr Ayât al-Ahkâm min al-Qur’ân, jilid I  (Depok: Keira Publishing, 2016)

Az-Zuhaili, Wahbah, at-Tafsîr al-Wasîth, jilid I (Jakarta: Gema Insani, 2012)

Luthfi, Atabik, Tafsir Tazkiyah: Tadabbur Ayat-Ayat untuk Pencerahan & Penyucian Hati, (Jakarta: Gema Insani, 2009)

Sardar, Ziauddin, Ngaji Qur’an di Zaman Edan: Sebuah Tafsir untuk Menjawab Persoalan Mutakhir, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2014)

Ramadhani, Wali, Tafsir Sastrawi: Menelusuri Makna Puasa dalam al-Qur’an, (Bandung: Mizan Pustaka, 2014)

Zain bin Muhammad bin Husein Al-Idrus Bāa’lawi, Ittihāf al-Anām bi Ahkāmi al-Shiyām (Dâr al-Kutub al-Mishriyah, 2016)

One thought on “EKSISTENSI PUASA DAN GERBANG MEMAHAMI RAMADHAN

  1. Subhanallah…
    Luar biasa ust.
    Nisa memahami sahru ramadana dala eksistensi tersebut.
    Jangan lupa di samnungkan kembali geh.

    Salam sahabatmu dari
    Sekotong. Zainal abidin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *