
TAFSIR TEOLOGI MU’TAZILAH
Teologi, sebagaimana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar suatau agama.setiap orang. Setiap orang ingin mempelajari lebih dalam seluk-beluk dari agama yang dianutnya. Dengan belajar teologi seseorang akan lebih yakin dengan agamanya. Dalam istilah arab ajaran-ajaran dasar itu di sebut Usul al Din dan oleh karena itu buku yang membahas tenteng teologi dalam islam diberi nama kitab usul al din oleh para pengarangnya. Ajaran-ajaran dasar disebut juga ‘aqa’id (keyakinan), bukunya yang mengupas tentang keyakinan di beri judul al- ‘aqa’id seperti Al-‘aqa’id al-nasafiah dan al-‘aqa’idal-‘adudiyah.
Teologi dalam islam disebut juga ‘ilm al-tauhid (keesaan) dalam pandangan islam. Disebut juga ‘ilm al-kalam(kata-kata atau sabda tuhan), karena persoalan kalam pernah menimbulkan pertentantangan-pertentangan keras dikalangan umat islam pda abad IX dan X Masehi, sehingga terjadi penganiayaan dan pembunuhan terhadap sesama muslim pada waktu itu. Kalau yang dimaksut dengan kalam adalah kata-kata manusia, maka dalam teologi islam disebut ‘ilm al-kalam, karena kaum teolog islam bersilat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapatnya. Teolog dalam islam memang di beri nama mutakallim yaitu ahli debat yang pintar memakai kata-kata.
Kaum Mu’tazilah merupakan golongan yang membawa persoalan teologi yang lbih mendalam dan bersifat filosofis.Dalam pebahasannya, mereka banyak menggunakan akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis islam”.Berbagai analisis yang di majukan tentang pemberian nama mu’tazilah kepada mereka.Uraian yang biasa disebut buku ‘ilm al-kalam berpusat pada peristiwa yang terjadi antara wasil ibn ‘ata’ serta temannya ‘amr ibn ‘ubaid dan hasan al-basri di basrah. Wasil selalu mengikuti pelajaran yang diajarkan oleh hasan al-basri di masjid basrah. Pada suatu hari datang seseorang bertanya tentang orang yang berdosa besar, sebagaimana diketahui kaum khawarij memandang mereka kafir dan kaum murji’ah memandang mereka mukmin.Ketika hasan al-basri berfikir, wasil berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak mukmin dan tidak pula kafir , kemudian ia menjauhkan diri dari hasan al-basri pergi ke masjid lain dan disana dia mengulang kembali pendapatnya. Karena peristiwa tersebut hasan al-basri mengatakan wasil dan teman-temannya disebut kaum mu’tazilah.
Menurut al-baghdadi, wasil dan temannya di usir oleh hasan al-basri dari majlisnya karena adanya pertikaian dianatara mereka mengenai persoalan qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanaya menjauhkam diri dari hasan al-basri karena paham yang berbeda tentang orang yang berdosa besar.Demikian keteranagan al-baghdadi tenrang pemberian nama mu’tazilah kepada golongan itu. Menurut Al-mas’udi, mereka disebut kaum mu’tazilah, karena mereka berpendapat orang yang berdosa besar jauh dari golongan mu’min dan kafir. Sedangkan ahmad amin berpendapat bahwa nama mu’tazilah (i’tazala) sudah ada sebelum peristiwa wasil dan hasan al-basri, dalam arti orang yang tidak mau turut camp ur dalam pertikaian yang terjadi di zaman mereka. Mu’tazilah yang dibawa oleh wasil merupakan mu’tazilah yang kedua, yang mempunyai corak politik juga, karena mereka mengambil posisi di antara kedua posisi.Al-nasysyar selanjutnya berpenpat bahwa golongan mu’tazilah timbul dari orang-orang yang mengasingkan diri untuk ilmu pengetahuan dan ibadat, bukan dari golongan mu’tazilah yang dikatakan merupakan aliran politik.
Ajaran pertama yang dibawa wasil yaitu al-manzilahbain al- manziatain(posisi di antara dua posisi dalam arti menengah), Menurut pandangan Mu‟tazilah pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai mukmin secara mutlak karena iman menuntut adanya kepatuhan kepada Tuhan, tidak cukup hanya dengan pengakuan dan pembenaran. Ajaran yang kedua adalah paham qadariah yang di anjurkan oleh Ma’bad dan ghailan.Tuhan, bersifat bijaksana dan adil ,dia tidak bersipat jahat dan zalim, kata wasim.Tidak mungkin tuhan menghendaki manusia berbuat sesuatu yang bertentangan dengan perintahnya. Dengan demikian, manusialah yang mewujudkan perbuatan baik dan buruknya, patuh atau tidak patuhnya pada tuhan, atas perbuatannya itu dia akan mendapat balasan sesuai dengan apa yang mereka perbuat. Ajaran wasil yang ketiga peniadaan sifat-sifat tuhan,dalam arti apa yang disebut sifat tuhan yang sebenarnya bukanlah sifat yang mempunyai wujud tersendiri diluar zat tuhan, tetapi sifat yang merupakan esensi tuhan. Al-syahrastani mengatakan ajaran ini belum matang pemikiran wasil tetapi disempurnakan oleh pengikut-pengikutnya setelah mempelajari filsafat yunani.
Paham peniadaan sifat ini kelihatannya berasal dari jahm, karena jahm menurut al-syahrastani bahwa sifat yang ada pada manusia tidak ada pada tuhan, karena itu akan membawa kepada anthropomorphism yang di sebut dalam istilah arab al-tajassum atau al-tasybih. Tetapi ,kaum mu’tazilah berpendapat bahwa jahm masih memberi sifat bekuasa, berbuat dan mencipta kepada tuhan. Sebagai seorang penganut jabariah atau fatalisme, jahm melihat hanya tuhan yang berkuasa, bebuat, dan menciptakan. Manusia tak mampu untuk berbuat apa-apa.
Demikian ajaran-ajaran yang ditinggalkan wasil, duadari ajaran-ajaran tersebut yaitu posisi menengah dan peniadaan sifat-sifat tuhan, emudian merupakan bagian integral dari al-usul al-khamsah atau pancasila mu’zilah. Ketiga sila lainnya yaitu al-adl (keadilan tuhan), al-wa’d wa al-wa’id (janji baik dan ancaman tuhan), dan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar (perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat), wajib di jalan walaupun menggunakan kekerasan .
Menurut al-malatti, wasil mempunyai dua murid penting yaitu Bisyr ibn said dan Abu ‘usman al-za’farani. Dari kedua murid inilah pemimpin lainnya, abu al-Huzail al-‘alaf dan Bisyr ibn Mu’tamar yang menerima ajaran-ajaran wasil. Bisyr sendiri menjadi pemimpin mu’tazilah di baghdad. Abu al-Huzail tetap di basrah dan dan menjadi pemimpin setelah wasil. ia lahir pada tahun 135 H dan ditahun 235 H dan bamyak berhubungan dengan filsfat yunani. Pengetahuannya tentang filsafat membuat dia mudah menyusun dasar-dasar Mu’tazilah secara teratur. Pengetahuannya tentang logika membuat dia menjadi pendebat mahir dlm melawan golongan-golongan lain.
Abu al-huzail menjelaskan apa yg dimaksud peniadaan sifat tuhan. Menurut paham wasil,kepada tuhan tak mungkin diberikan sifat yang mempunyi wujud tersendiri dan kemudian melekat pada zat tuhan.Karna zat tuhan bersifat qadim, maka apa yang melekat pada zat itu bersifat qadim pula.Dengan demikiat sifat adalah bersifat qadim.Menurut wasil ini akan membawa akan adanya dua tuhan. Karna kalau ada sesuatu yang qodim, maka itu mestilah tuhan. Oleh karena itu ,untuk memelihara kemurnian tauhid dan keesaan tuhan,tuhan tidak bleh dikatakan mempunyai sifat seperti yang di atas.
Tetapi Tuhan menyebuktan diri-nya dalam al-Qur’an mempunyai sifat- sifat.Tuhan menurut Abu al-Huzail,betul mengetahui tetapi bukan dengan sifat,malahan mengetahui dengan pengetahuan-nya , pengetahuan-nya adalah zat-nya.Teks yang dipaka iAbu al-Huzail menurut al-Syahrastani adalah:
اناا لبرىى تعالى عا لم بعلم وعلمه ذاته
Demikianlah seterusnya dengan sifat-sifat lainnya. Tuhan maha kuasa degan kekuasaannya dan kekuasaannya adalah zatnya, tuhan maha bijaksana dengan kebijaksanaannya dan kebijaksanaannya adalah zatnya.
Dalam membahas keadilan tuhan, abu al-huzail berpendapat bahwa tuhan berkuasa untuk bersikap zalim, tetapi mustahil bagi tuhan untuk berbuat mustahil, karena itu membawa kepada kurang sempurnanya sifat tuhan. Mengenai mu’jizat ia berpendapat bahwa al-qur’an dalam gaya dan bahasa tidak merupakan mukjizat ,mukjizadnya hanya dalam isi.
Kaum mu’tazilah berpendapat bahwa al-qur’an yang dalam istilah teologi disebut kalam allah, bukan qadim atau kekal, tetapi hadis dalam arti baru dan diiptakan tuhan.
Al-usul al khamsah,sebagai dijelaskan oleh pemuka-pemuka mu’tazilah sendiri, diberi urutan menurut menurut pentignya kedudukann tiap dasaar, sebagai berikut: pertama, Tauhid (Pengesaan Allah). Kedua, Al-Adl. Ketiga, Al-Wa’d Wal Wa’id. Keempat, Al-Manzilah Bain Al-Manzilahtain. Kelima, Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa Al-Nahy ‘an Al-MUNKAR