Menyorot Orientalis Dan Banalitas Intelektualnya Terhadap Al-Qur’an
Nama :Muhammad Syafirin
NIM: 2018.119.340.281
UAS: MK Studi Orientalis dan Kajian Al-Qur’an
***************
Tulisan ini merupakan tugas Ujian Akhir Semester (UAS) pada Mata Kuliah (MK) Studi Orientalisme dan Kajian Al-Qur’an. UAS kali ini memiliki nuansa yang berbeda dari sebelumnya. Terdapat beberapa kebijakan baru dari para dosen, yang sebetulnya, tidak terlepas dari peranan MK Jurnalistik yang diluncurkan oleh kampus STAI sejak tahun 2020 kemarin. Dengan adanya Jurnalistik, mahasiswa mengalami perubahan kreativitas yang cukup signifikan, terutama dalam kepiawaiannya menulis dan menganalisis peristiwa di lapangan.
Tulisan-tulisan yang dihasilkan dari ide-ide maupun gagasan brilian mahasiswa itu, dirampung dalam satu wadah literasi mahasiswa bernama website Aliflam. Hal ini, banyak memicu kesadaran para dosen untuk meramaikan website tersebut. Salah satu jalan tempuhnya adalah dengan memberikan tugas kepada mahasiswa untuk menulis, kemudian diterbitkan di website Aliflam. Salah satu MK yang menerapkan langkah ini adalah MK ‘Studi Orientalisme dan Kajian Al-Qur’an’ yang diampu oleh salah satu dosen tercantik di STAI, Siti Asiyah M.Ag.
Baiklah, pada kesempatan ini, saya akan menulis sebuah sorotan terhadap orientalisme, terutama dalam kajiannya terhadap ilmu-ilmu keislaman, khususnya Al-Qur’an dan polemik sejarahnya. Saya sebagai seorang muslim dan yang mengakui keotentikan Al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan yang bebas dari rekayasa intelektual maupun jarahan ego moralitas manusia, merasa perlu ikut merespon pandangan-pandang miring yang dilontarkan para orientalis terhadap kitab suci yang‒selama ini‒saya imani dan saya amalkan. Meskipun sebetulnya, sorotan-sorotan terhadap orientalis ini telah banyak dilakukan oleh para sarjana muslim kontemporer seperti Fazlurrahman dalam bukunya Major Themes of the Quran; Mustafa Al-A’zami dalam bukunya The History of the Quranic Text: from Revelation to Compilation, tetapi setidaknya, hal ini menjadi jihad dan ijtihad serta peran saya sebagai masyarakat muslim untuk ikut serta dalam membela dan bersuara atas tuduhan negatif mereka terhadap Al-Qur’an.
Sebetulnya, istilah ‘orientalisme’ itu bukanlah berasal dari rahim Universitas manapun sebagai suatu mata kuliah tersendiri, dan bukan pula sebuah gelar yang kerap terpakai di dunia Barat. Penisbahan orientalisme hanyalah sebuah kebiasaan dalam konferensi Internasional, yang kerap dilaksanakan sekali dalam dua atau tiga tahun. Saya dapat memastikan bahwa, kegiatan-kegiatan orientalis ini merupakan sebuah serangan tajam bagi umat Islam. Dalam bahasa Arab, orientalis dikenal dengan istilah “mustasyriqun” dan “istisyraq”, karena mereka dianggap sebagai perajurit intelektual kolonialisme (dulu) atau neokolonialisme (sekarang). Artinya, para orientalis ini diperintahkan untuk menekuni studi ketimuran untuk menyuburkan perut politik bangsa Eropa di kawasan dunia Timur.
Selain itu, para pasukan orientalis merupakan segerombol elit intelektual yang secara halus dan samar hendak melakukan kristenisasi, atau sekurang-kurangnya melemahkan masyarakat Islam terhadap keyakinan yang mereka tanamkan selama ini, dan menjatuhkan muru’ah Islam sebagai agama. Namun, dapat kita saksikan sekarang, orientalisme bukan hanya mendapat kritik kecaman dari bangsa Timur, tetapi juga dari orang Barat sendiri. Pada tahun 1950-an, cukup banyak para sarjana, khususnya di Amerika dan Australia, memandang bahwa pendekatan tradisional kaum orientalis memiliki banyak kekurangan dan keterbatasan, dan mayoritas mereka hanya menitikberatkan dimensi sejarah dan dokumen-dokumen sastra saja.
Mengenai sejarah dan teks Al-Qur’an, kajian-kajian yang dilakukan orientalis mengalami perkembangan. Fazlurrahman, dalam artikel penelitian dan kajian yang ditulis oleh Moh. Khoeron, mengelompokkan ikhtiar para orientalis ini menjadi tiga bagian, antara lain:
Pertama, usaha dalam mencari pengaruh Yahudi-Kristen dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini, beberapa orientalis mampu melahirkan beberapa karya tulis, seperti ‘The Origin of Islam in its Christian Environment’ karya Richard Bell; ‘Was hat Mohammed aus dem Judenthume Aufgenommen’ karya Abraham Geiger; dan ‘Qur’anic Studies’ karya John Wansbrough. Terdapat beberapa lagi karya yang ditulis oleh orientalis lainnya, namun saya hanya menyebutkan apa yang telah saya dengar dan dapatkan dalam penjelasan dosen saya, Siti Asiyah M.Ag dalam MK Studi Orientalis dan Kajian Al-Qur’an.
Kedua, usaha dalam membuat rangkaian kronologis ayat-ayat Al-Qur’an. Hal ini dapat kita lihat dari upaya salah seorang dedengkot orientalis, Theodor Noldeke, dalam karyanya ‘Geschichte des Qorans’. Selain itu juga, A. Jeffery dan John Burton ikut serta dalam bagian ini, sehingga mereka melahirkan karya berjudul ‘Materials for the History of the Text of the Qur’an’, dan ‘The Collection of the Qur’an’.
Ketiga, usaha dalam menjelaskan keseluruhan atau aspek-aspek tertentu saja dalam Al-Qur’an. Seperti, karya salah seorang orientalis yang pernah menjadi bahan persentasi makalah saya, bernama Ignaz Goldziher, dengan judul ‘Die Richtungen der Islamischen Koranauslegung’. Di samping itu, ada juga karya dari Toshihiko Izutsu, berjudul ‘The Scructure of the Ethical Term in The Koran’ dan ‘God and Man in the Koran’. Kebetulan juga, saya pernah mempersentasikan pemikiran Izutsu ini dalam MK Kajian Semantik Al-Qur’an, dengan tema ‘Denotasi dan Distingsi Shalat dalam Al-Qur’an’. Adapun beberapa tulisan lainnya telah dimuat di website Aliflam dalam event Literasi Award 2020 kemarin.
Dari ketiga wilayah umum kajian orientalis di atas, kategori yang paling berpengaruh dalam proses dialektika yang cukup intens didiskusikan di kalangan orientalis dengan sarjana muslim yang concern terhadap kajian Al-Qur’an hanya berkisar pada konten pertama dan kedua.
Konten pertama, terkait tentang usaha orientalis mencari pengaruh Yahudi-Kristen dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini, kita dapat mempelajarinya dari pemikiran Wansbrough. Dia mencoba untuk membuktikan bahwa Al-Qur’an, sebetulnya, bukan kalam Tuhan sebagaimana yang diklaim Muhammad dari sejak pertama kali diterimanya di Gua Hira. Wansbrough mengatakan, bahwa Al-Qur’an itu adalah kitab sejenis tradition juive, karena tercipta dalam masa-masa hangat perdebatan antara sektarian Yahudi-Kristen. Kemudian selain itu, Al-Qur’an merupakan ‘perpaduan’ berbagai tradisi, sehingga pantas bila disebut sebagai sebuah karya cipta pasca Muhammad. Karena menurut Wansbrough, riwayat-riwayat mengenai Al-Qur’an versi Utsman adalah sebuah fiksi yang datang kemudian, dan merupakan hasil rekayasa komunitas muslim supaya semua orang percaya bahwa asal-muasal Al-Qur’an dapat dilacak ke Hijaz.
Selain Wansbrough, terdapat beberapa orientalis lainnya yang menyebut Al-Qur’an sebagai kitab berbahasa Arab yang terdoktrinisasi bahasa Asing seperti Ethiopia, Aramaik, Ibrani, Syiriak, Yunani Kuno, Persia, dan lainnya. Di sini, saya hanya menangkap dua tokoh sebagaimana yang telah dijelaskan oleh dosen saya, Siti Asiyah, yaitu Arthur Jeffery dan Christoph Luxenberg.
Tokoh pertama, menyebutkan adanya 275 kosa kata asing yang diadopsi Al-Qur’an (Foreign Vocabulary of the Quran), sedangkan tokoh kedua lebih ekstrem dari yang pertama. Ia menyimpulkan bahwa keseluruhan bahasa Al-Qur’an itu bukanlah Arab, melainkan berasal dari bahasa Syriac (Syro-Aramaik). Dan alasan komprehensif dari pendangan kedua tokoh ini dapat pembaca lihat lebih luas dalam tulisan Adnin Armas, berjudul ‘Orientalisme dan Teori Pengaruh Terhadap Islam’.
Adapun konten kedua dari kajian orientalis adalah tentang kronologi ayatAl-Qur’an. Pada kasus ini, tokoh yang tampil dalam mengkritisi Al-Qur’an adalah Richard Bell. Dari hasil kajiannya, Bell menyimpulkan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an telah banyak mengalami diskontinuitas. Rupanya, pandangan Bell ini seolah-olah ingin mengklaim kronologi ayat Al-Qur’an itu tidak terlepas dari status dan entitas Al-Qur’an yang tercipta pasca Muhammad, sebagaimana yang dikatakan Wansbrough sebelumnya.
Dua konten hangat dari kajian orientalis ini, rupanya mengundang reaksi keras batin saya. Dari beberapa pemikiran yang dilontarkan tokoh-tokoh di atas, saya ingin mengajukan dua pertanyaan mendasar kepada mereka. Sudah adilkah cara mereka melihat dan mengkaji Islam, lebih-lebih Al-Qur’an? Apa niat utama yang mereka tanamkan sehingga sedemikian jelas kebencian mereka terhadap Al-Qur’an?
Saya merasakan adanya ketidakadilan di sini. Bagaimana tidak, kajian tentang pengaruh Yahudi-Kristen dalam Al-Qur’an yang dilakukan oleh John Wansbrough, patut disayangkan. Dia memaksa sebuah realita berdasarkan ego personal untuk menentukan pondasi dalam melakukan kajiannya. Akibatnya, Wansbrough bersikeras untuk ‘membuktikan’ bahwa Al-Qur’an itu tidak lebih dari sekedar gema Yahudi (Kristen), sedangkan Muhammad hanyalah orang yang pernah menimba ilmu (murid) dari seorang Yahudi. Padahal, kajian tentang ada atau tidaknya ide-ide Yahudi-Kristen di antara populasi Arab di Makkah sebelum Islam tidak pernah tersentuh olehnya. Kemudian lebih dari itu, asumsi bahwa Al-Qur’an adalah perpaduan berbagai tradisi dan karenanya bersifat post profetik, merupakan sebuah kekonyolan dan keberutalan dalam berpikir. Mengapa demikian? Karena semua itu tidak didukung oleh data-data historis yang kuat tentang asal-usul, sifat, evaluasi, dan person-person yang terlibat dalam tradisi tersebut.
Kita patut menanyakan pendekatan yang digunakan Wansbrough di atas. Bagaimana bisa ia memisahkan signifikansi historis dan signifikansi eskatologis dalam pembahasan terminologi dalam Al-Qur’an, sementara di dalam Al-Qur’an sendiri, tidak ada pembahasan seperti itu.
Terkait dengan tuduhan Richard Bell tentang diskontinuitas ayat-ayat Al-Qur’an sebagai bentuk ketidakmampuan orang-orang yang menyalin ayat-ayat tersebut untuk membedakan mana yang di depan dan mana yang di belakang, saya dapat menegaskan bahwa, kronologi ayat demi ayat sebagaimana yang digagas oleh Bell adalah mustahil. Selain itu, gagasan tersebut bersifat subjektif karena hanya didasarkan pada perkembangan psikologi Nabi Muhammad.
Selain Bell, saya ingin menyentil pandangan Theodor Noldeke yang terlalu menyudutkan Al-Qur’an sebagai sebuah tindakan plagialisme terhadap kitab Yahudi serta kekeliruan yang terdapat dalam Al-Qur’an karena kebodohan Muhammad tentang sejarah awal agama Yahudi. Menurut saya, apa yang dilakukan oleh Noldeke itu merupakan tuduhan belaka. Dia ingin mengubah wajah Islam dengan menggunakan istilah orang lain. Seperti dalam studi kasus nama menteri Fir’aun, Haman, yang terdapat dalam Al-Qur’an. Noldeke mengatakan, orang Yahudi yang paling tolol sekalipun tidak akan pernah menyebut Haman (menteri Ahasuerus) sebagai menteri Fir’aun. Bukankah, berkesimpulan bahwa Fir’aun tidak mempunyai seorang menteri bernama Haman hanya karena tidak disebutkan pada kitab suci terdahulu misalnya, adalah sebuah kecerobohan metodologis? Maka, nampak jelas dari sikap Noldeke yang tidak mengedepankan objektivitas dalam melakukan sebuah kajian pemikiran.
Dan sebagai penutup, saya ingin berkata, pengkajian teks dan sejarah Al-Qur’an, bukan hanya dimaksudkan untuk mengungkap dimensi-dimensi tersembunyi yang selama ini tak terpikirkan oleh umat Islam, tapi juga merupakan modal intelektual untuk memahami kitab suci yang hingga hari ini terus menjadi sumber inspirasi hukum dan moral kaum muslimin. Dalam konteks inilah semestinya kita merespon khazanah orientalisme. Studi mereka tentang Al-Qur’an, Hadits, dan Sejarah Nabi merupakan bekal yang sangat berharga bagi kita untuk mengungkapkan misteri masa-masa awal sejarah Islam.
Referensi:
Al-A’zami, MM., Sejarak Teks Al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru (Jakarta: Gema Insani, 2005)
Amal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Al-Vabet, 2005)
Armas, Adnin, Orientalisme dan Teori Pengaruh terhadap Islam, dalam http://swaramuslim.net. Diunduh pada tanggal 18 Januari 2021.
Rahman, Fazlur, Tema Pokok Al-Qur’an (Major Themes of the Qur’an) Terj. Anas Mahyudin, (Bandung: Mizan Pustaka, 2017)
Sirry, Mun’im A, Rekonstruksi Sejarah Teks Al-Qur’an, dalam http://www.republika.co.id. Diunduh pada tanggal 18 Januari 2021.
Steembrink, Karel A., Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat (Yogyakarta: IAT Sunan Kalijaga, 1998)